Thursday 25 July 2013

Survei, salah satu sisi Geodet

Posted By: Unknown - 2:07 pm

Share

& Comment

(sebuah cerpen fiktif elegi ke-Geodesi-an) 


(Foto tak berdasar cerita, hanya sedikit narsis kami ketika dilapangan)
Siang itu suhu udara tak sepanas biasanya, posisi matahari sudah condong 60 derajat di katulistiwa, semilir angin berhembus dari arah selatan barat daya. Disebuah pos ronda semi permanen di pojok perempatan nampak dua anak sedang duduk menikmati angin. Beberapa saat kemudian, mereka nampak terpaku dengan raut wajah serius.

Perlahan nampak segerombol orang asing mengendarai motor berjalan mendekat menuju mereka. Perasaan mulai gusar, tak pernah ia melihat wajah orang – orang tersebut sebelumnya. Mereka bercelana panjang, bersepatu laiknya anak sekolahan dan memakai jaket seragam berwarna orange mencolok.

Salah satu dari mereka berbadan besar membawa dua buah tribach yang ujungnya masih diikat, satu orang berambut kribo membawa kotak besar warna kuning, seorang lagi laki-laki tinggi kurus membawa kotak merah yang ukurannya lebih kecil. Dua orang lagi perempuan membawa meteran dan yang satu lagi membawa plastik loreng berisi makanan ringan dan air minum.

Beberapa meter lagi gerombolan mendekati dua anak tersebut, setibanya dilokasi titik orde 4 samping pos ronda, motor mereka parkir persis disebelah kanan kedua anak tersebut. Salah satu dari mereka berkata “numpang istirahat ya dek”. Kedua anak tersebut tak menghiraukan, masih terdiam dan hanya membenahi posisi duduknya agak menepi. Ihsan dan Ardi mulanya canggung, tetapi lama – kelamaan mereka mulai nyaman berbagi tempat dengan orang – orang asing tersebut.

Singkat cerita mereka bertujuh saling bercerita di pos ronda beberapa saat, hingga novi –salah satu perempuan selain yesi– bertanya, “kalian cita-citanya pengen jadi apa?”. “pilot”, jawab ihsan. Sedangkan ardi dengan polos mengatakan “tentara”. Jawaban datar, tetapi luar biasa untuk anak kecil yang hidup di sebuah pedesaan bagian utara kabupaten Boyolali. Bagi mereka profesi pilot ataupun tentara dirasa lebih keren dibanding harus menjadi petani seperti kedua orang tuanya.

Setengah jam berlalu, rasa penasaran ihsan mulai terurai, ternyata segerombol orang tersebut ialah mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Mereka angkatan 2010, yang saat ini sudah menempuh hampir 6 semester perkuliahan. Mereka ingin membuat titik -patok- orde 4. Tak lupa, Ardi mengungkapkan apa yang ingin ia ketahui, “Mas, Geodesi ki opo? –Geodesi itu apa–“.

“Geodesi itu cabang ilmu pengetahuan kebumian yang lebih menitik beratkan pada sisi pengukuran dan pemetaan permukaan bumi” jawab Wahyu, lelaki berambut kribo yang sok pintar. Ihsan hanya melongo, sedang Ardi terus mengerutkan jidat. “anak SD mana ngerti bahasamu yu” kata Satya. Kemudian lelaki tinggi kurus itu menjelaskan apa itu Geodesi.

“Geodesi itu ilmu pemetaan. Kalian suka belajar ngga’?”. Serentak mereka berdua mengangguk. “Nahh, kalian suka baca peta athlas ngga’?” tanya Satya lagi. Mereka kembali mengangguk. “Jadi, kerjaan orang geodesi itu membuat peta” jelasnya. “Oowh, jadi peta athlas yang digunain bu Lina pas ngajar IPS itu buatan mas?” tanya ardi. “haha, iya di” jawab Satya. Selepas tawa, suasana makin dekat dan hangat.

Pukul 10 pagi, setelah semua persiapan selesai, pengukuran titik Orde 4 guna mempermudah petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam membuat peta bidang pada proses sertifikasi tanah dimulai. Karena di daerah pedesaan laiknya kabupaten Boyolali, jumlah orde 4 di daerah – daerah belum memenuhi jumlahnya, jadi masih perlu diperbanyak.

Dari titik tersebut juga, petugas ukur sertifikasi tanah dapat menggunakannya sebagai titik ikat –titik kontrol– untuk menjamin keakuratan koordinat jika dimasukkan ke dalam peta induk –Base Map– milik BPN. Karena, jika sampai bertampalan dengan bidang tanah tetangga, ditakutkan akan menimbulkan sengketa pertanahan. Dan petugas ukur maupun BPN bisa dituntut karena itu.

Novi dan Yesi sudah bersiap, payung di dalam tas dikeluarkan dan dibuka Novi. “Kok bawa payung mbak? Kan ndak ujan?” Ardi heran. Novi coba menjelaskan “Ni payung buat nutupin alat dek, alatnya mahal, kalau alat rusak karena kepanasan nanti pak Bambang –Kepala Jurusan– marah”.”Owhh…” jawab Ardi. Alat yang digunakan saat itu ialah Total Station Topcon GTS 102 N dengan ketelitian sudut 2” –dua detik– dengan pembesaran lensa yang mencapai 30 kali. “Harganya 53 jutaan lho dik” tambah Yesi. Kontan mereka berdua kaget, Ihsan tak berani lagi memegang kotak alat survei tersebut, Ardi apalagi, mereka takut kalau alatnya rusak.

Lekas saja kotak besar dibuka Wahyu, Rendy yang berbadan besar masih bermalas – malasan, “bangun ren, ini pos ronda bukan hotel” celetuk wahyu. Bergegas rendi bangun dan memasang satu tribach diatas patok segi empat berwarna biru yang ditengahnya terdapat titik menyerupai paku namun lebih besar ukurannya. Rupanya itu patok orde 4 milik BPN yang telah diketahui koordinatnya. Sementara wahyu membuka kotak, lalu mengambil alat untuk kemudian menyentering-nya hingga gelembung nivo bulat dan nivo tabung berada di tengah. Serta posisi tengah alat dengan titik tengah patok sudah sejajar.

Setelah sentering, kemudian input data koordinat patok orde 4 tersebut untuk dijadikan BM –Benck Mark–, sementara rendy kembali rebahan ditenda yang berjarak 5 meter dari patok. Lain Rendy, Satya membawa satu tribach dan alat sejauh 160 meter dari patok samping pos ronda dengan sepeda motor matic miliknya. Setibanya, ia langsung memasng tribach dan alat berupa prisma dengan cara serupa di salah satu diantara 3 titik Orde 4 yang ingin diukur koordinatnya.

Prisma tersebut berfungsi untuk memantulkan kembali sinar laser kepada alat Total Station untuk kemudian didapat jarak optis serta besaran sudut yang dibentuk antara kedua patok terhadap azimuth. Nanti akan dapat dihitung berapa jarak dan koordinat patok baru tersebut.

Patok Satya berbeda dengan yang dilihat Wahyu, patok yang didirikan alat oleh Satya masih berwarna putih. Baru akan diwarnai jika koordinatnya sudah dikoreksi dengan catatan jarak antar patok tersebut, sekurang – kurang nya 150 meter sesuai peraturan menteri agrarian/kepala badan pertanahan nasional nomor 2 tahun 1996.

Menurut permen diatas, kita diperbolehkan membuat titik dasar orde 4 tanpa mengikatkan dengan orde 3 terlebih dahulu. Kita bisa menggunakan sistem koordinat lokal dimana dikemudian hari harus di transformasikan ke dalam sistem transformasi nasional.

Setelah prisma ditembak oleh alat Total Station, data kemudian direkam. Setelah selesai, Satya lalu mengubah posisi prisma ke dua titik selanjutnya. Setelah selesai titik terakhir, semua alat dimasukkan kembali ke tempat penyimpanannya.

Sambil membangunkan Rendy yang tertidur, Wahyu, Satya, Yesi dan Novi berkemas untuk melanjutkan survei ke lokasi selanjutnya. Tak lupa ia berpamitan dengan Ihsan dan Ardi. “Ardi, Ihsan, Kami balik dulu ya! Jangan malas belajar. Biar jadi anak pinter. Kalau sudah pinter kuliah di Teknik Geodesi Undip. Biar sukses!” kata wahyu.

”Iya mas, siap 86!!. Mas-mas sama mbak-mbak hati-hati di jalan ya. Besok ngukur disini lagi ya!” jawab mereka kompak.

”Jangan laah dek, masak ngukur ulang?. capeek -_-.” batin Wahyu. “tu adek ngga’ tau panasnya kalau ngukur!”bisik novi.

Salah satu pekerjaan Geodet ialah pemetaan, salah satu metode nya dengan survei lapangan atau “ngukur”, walau terjun ke lapangan bukan pekerjaan utama Geodet strata satu -sarjana-, lebih untuk vokasi atau diploma mungkin, tetapi bagi mahasiswa Teknik Geodesi Undip kebanyakan, itulah salah satu hal yang sangat mengesankan. Mungkin akan diingat hingga tua nanti, setidaknya oleh kelima orang tersebut.


(Wahyu Nur Rohim ~ Geodet nol sepuluh Undip)

About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

0 comments:

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.