*

*
Powered by Blogger.

Sunday 13 July 2014

Plus Minus Sahur On The Road

Posted By: Unknown - 8:25 am

Sahur on the road (SOTR), sebuah kegiatan sosial musiman ketika bulan suci Ramadhan tiba. Dalam perkembangan-nya, SOTR menuai pro kontra dari masyarakat. Ada yang mengatakan, SOTR sudah menjadi semacam lifestyle, sampai ada yang mengatakan hanya sebuah pencitraan. Menurut saya, ada beberapa hal yang mengiringi keberlangsungan SOTR selama ini.

Riya’

SOTR perlahan mendapatkan pandangan miring dari masyarakat umum. “Berbagi makanan sahur bareng anak-anak #SahurOnTheRoad”. Salah satu contoh status di media sosial yang dianggap Riya’ -menampakkan kebaikan/pamer/pencitraan- oleh pengguna sosmed lainnya. Kemudian, sesi dokumentasi berupa foto maupun video yang dirasa berlebihan juga menimbulkan persepsi negatif masyarakat.

Kurang Tepat Sasaran

Sasaran SOTR yang kebanyakan gelandangan, tukang becak, pengemis, pengamen pedagang asongan dipinggir jalan dianggap kurang tepat sasaran. Mengingat keberadaan mereka yang sebagian-nya tidak diinginkan oleh dinas tata kota. Masyarakat bertanya, kenapa tidak disalurkan ke yayasan amal, atau misalkan saja sahur bareng anak yatim di panti asuhan?.

Kurang Efisien

SOTR yang bersifat musiman, hanya satu bulan dalam satu tahun. Ini mengakibatkan animo masyarakat dalam berbagai komunitas untuk mengadakan SOTR. Kenyataan dilapangan, dalam satu hari terdapat beberapa komunitas yang membagi nasi bungkus. Alhasil, tak jarang sasaran menolak diberi makanan karena telah mendapat cukup banyak dari komunitas sebelumnya.

Setiap kegiatan pasti terdapat plus minus-nya. Menurut saya SOTR berarti berbagi kasih dan rejeki. Namun, yang membuat tak efisien dan kesan negatif adalah pelakunya. Bukan pada hakekat SOTR tersebut. Riya’ muncul karena pelaku SOTR mengumbar status, foto maupun dokumentasi lainnya secara berlebih. Tidak proporsional.

Walau dokumentasi itu penting, terlebih buat komunitas yang menggalang dana dari masyarakat umum. Maka itu hanya sebatas sebagai bukti pertanggung jawaban bahwa SOTR telah berlangsung. Jenis foto yang diambil-pun bertipe dokumentasi kegiatan, bukan narsis/selfie.

Kalau anggapan kurang tepat sasaran. Mungkin kurang tepat. Karena gelandangan, pengemis dan “penduduk” jalan lainnya juga membutuhkan bantuan dari kita. Mereka juga sama seperti kita, butuh makan, sandang dan papan. Namun, saya rasa memang kurang efisien jika SOTR hanya membagikan nasi bungkus saja.

Teringat akan cerita seorang relawan Berbagi Nasi Semarang. Ia bercerita dengan seorang tunawisma. Dari nya ia memperoleh fakta, bahwa mereka sebenernya tak terlalu mempermasalahkan urusan perut, karena mereka terbiasa makan seadanya. Mereka berandai, jikalau komunitas sosial ingin berbagi dengan mereka, mereka meminta bantuan dalam bentuk barang pakai seperti pakaian ataupun sarung/selimut. Itu lebih baik daripada nasi yang jika disimpan akan cepat basi, terlebih nasi bungkus yang didalamnya ada lauk sayur kuah.

Jadi, bukan SOTR yang salah. Namun perilaku pelaksana SOTR itulah yang menyebabkan SOTR dianggap sebelah mata orang masyarakat awam. Padahal niatnya berbagi. Niat yang sangat mulia. Namun, jangan-lah ketakutan terhadap adanya kemungkinan sikap Riya’ tersebut menghalangi kita untuk berbuat baik (SOTR). Lakukan saja asal itu kebaikan, jangan berfikir panjang, nanti malah nggak jadi berbuat baik. Siapa yang rugi?.

“Ketika kita hendak berbuat baik, pasti ada seratus kemungkinan buruk yang menyertainya. Tetapi, konsentrasi-lah pada satu niatan baik tersebut. Maka, engkau akan mendapatkan kebaikan. Tatkala hendak berbuat buruk, pasti ada seratus kemungkinan buruk yang menyertainya. Maka berkonsentrasilah pada seratus kemungkinan buruk tersebut. Maka engkau tidak akan mendapat keburukan.”


Gaza, dosa seorang Jurnalis

Posted By: Unknown - 7:14 am

Beberapa hari ini militer Zionis melakukan serangan secara besar-besaran ke Gaza, Palestina. Mereka berdalih ingin melumpuhkan pergerakan pejuang HAMAS. Namun, kenyataannya hampir kesemua korban adalah anak-anak dan perempuan. Kejadian ini-pun mendapat kecaman keras dari berbagai pihak.

Hingga perdana menteri Palestina, Ismail Haniya berujar “Israel hendak menghapus bangsa palestina.” Aneh. Praktek genosida didunia modern. Disaat United Nation –PBB– menggelorakan semangat Human Right –HAM– ke seluruh masyarakat dunia. Ternyata. Tak berlaku untuk bangsa Palestina.

Idealnya, suatu pertempuran bisa disebut “perang” atau “war” apabila di kedua belah pihak sama-sama memiliki kekuatan militer. Seperti, perang antara Inggris vs Jerman. Namun, pertempuran antara apache, pesawat drone, tank merkava, snipper, nuklir Zionis melawan kepalan tangan, lemparan batu dan rudal balistik jarak dekat pejuang Palestina, tidak lah seimbang, dan itu tak bisa disebut sebagai perang, itu adalah pembunuhan atau “murder”. Dan dunia mengutuk hal tersebut.

Gempuran beberapa hari ini hanya-lah sebuah puncak penderitaan. Taukah kita, sebelum gempuran agresi tersebut berlangsung, penderitaan mereka juga tak kalah menyedihkan. Kebutuhan pokok seperti air dan listrik mereka masih belum mampu mandiri. Blokade dalam beberapa tahun telah menyiksa mereka. Satu-satunya pintu terhadap dunia luar, yaitu Rafah,  tak jarang ditutup oleh militer mesir.

Jutaan kisah masih tersimpan dibumi Palestina.

Namun, jika melihat jauh kebelakang, ternyata “kesuksesan” Zionis mendirikan negara kuat bernama Israel tak sesebentar yang kita sangka-kan. Bermula di akhir tahun 1896. Saat seorang jurnalis koran yang berbasis di Vienna, Austria, yaitu Vienna Neue Freie Presse, Theodor Herzl, membuat sebuah pamplet berjudul Der Judenstadt (Negara Yahudi). Ini-lah pijakan awal dari terbentuknya sebuah negara khusus Yahudi.

Theodor Herzl

Untuk menguatkan gagasan tersebut, Herzl secara masif menggalang dukungan dan menyerukan-nya kepada segenap penganut Yahudi yang hidup diberbagai negara terutama dibenua Eropa. Herzl juga  yang pertama-tama memprakarsai berdirinya organisasi-organisasi rahasia bawah tanah –underground- yang bertujuan memuluskan ambisi pembentukan negeri Yahudi.

Walau belum terlalu mendapatkan respon positif pada awal perjalanannya. Setahun berselang, sebuah momentum menentukan terjadi. Pada 1897, melalui sebuah kongres di Basel, Swiss, berdirilah organisasi Zionisme Internasional. Dan melahirkan sebuah skenario besar yang termaklumat dalam sebuah dokumen rahasia bernama Protocol of Zion. Dalam Protocol tersebut terdapat sebuah poin penting, yaitu pendirian negara Yahudi di bumi Palestina.

Pada saat itu, Palestina masih dibawah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman). Sehingga untuk mewujudkan negara Yahudi di tanah Palestina, Zionisme Internasional mencoba melobi Sultan Abdul Hamid II –khalifah Ottoman– dengan mengiming-imingi sultan harta benda, emas dan pelunasan hutang. Namun, Sultan menolak dengan mengatakan, “Palestina bukan milik Ottoman. Palestina adalah tanah suci milik umat islam. Jadi, tak mungkin bagi saya untuk menjualnya.”

Wafat

Herzl wafat diusia 44 tahun pada 3 Juli 1904. Ia meninggal sebelum menyaksikan terwujudnya cita-cita Herzl untuk mendirikan negara Yahudi, yang baru terealisasikan pada 1949. Melalui perjanjian Balfour yang dibuat oleh Britania Raya, selaku penjajah Palestina usai perang dunia II.

Itulah sedikit cerita dari Theodor Herzl, seorang jurnalis perumus dan pemprakarsa organisasi Zionisme dan yang pertama-tama aktif secara langsung. Lihatlah. Bagaimana cerdas-nya seorang jurnalis. Memang terkesan sepele, hanya tulisan. Tetapi Herzl mampu mengajarkan kepada kita bahwa tulisan seorang yang memiliki cita-cita dan kemauan, ternyata itulah yang mengawali suatu perubahan besar dalam peta geopolitik di timur tengah.

Ternyata, konflik berkepanjangan antara Palestina dan Israel dengan bumbu-bumbu politik, ekonomi, kemanusiaan bahkan corak agama, itu semua berpijak pada sebuah karya seorang jurnalis. Maka, perlu kehati-hatian dalam merumuskan sebuah pemikiran.



Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.