*

*
Powered by Blogger.

Sunday 23 February 2014

Geodet Mengajar

Posted By: Unknown - 6:00 pm
Tanggal 10 November 2010, bertepatan dengan hari pahlawan, Anies Baswedan melepas pengajar muda angkatan pertama di bandara Soekarno-Hatta. Di bandara bernama bapak pendiri bangsa itulah, pemuda pemudi terbaik secara nyata memenuhi sebuah janji pengabdian. Melalui Indonesia Mengajar, pengajar muda berjuang selama satu tahun mendidik anak bangsa di berbagai pelosok nusantara.

Tak terasa empat tahun berlalu, sekarang pengajar muda angkatan ketujuh sudah mengabdikan diri di berbagai pelosok negeri. Mereka yang rela melepas pekerjaan, maupun yang baru selesai menempuh sarjana, sama saja. Hanya ketulusan dan kesadaran yang membawa mereka. “relawan tidak dinilai bukan karena tak berharga, namun tak ternilai” Anies Baswedan –Rektor termuda Indonesia–.

Mendidik adalah kewajiban setiap mereka yang terdidik. Sudah menjadi tanggung jawab kita dalam mencerdaskan seluruh anak bangsa, tanpa kecuali. Medan berat bukan halangan, namun tantangan yang hanya mampu dihadapi oleh mereka yang terpilih. Mereka adalah orang terdidik, dan orang terdidik itu adalah kita.

Beranjak dari semangat Indonesia Mengajar, sudah sewajarnya Geodet muda mampu memberikan lebih dari sekedar predikat orang terdidik. Saatnya kita memberikan sedikit dari apa yang telah kita miliki. Ilmu adalah suatu hal yang berharga, sekecil apapun itu, tapi ilmu akan menjaga diri kita. Masih ingat lagu bagimu negeri? Bagimu negeri kami mengabdi. Berhenti hanya berfikir, mulai dari sekarang saatnya kita bertindak nyata.

Kita harus mengajar ke daerah pelosok batang, pekalongan, atau kabupaten terpencil lainnya! Enggak. Ini bukan kuliah kerja nyata ya. Yang akan kita lakukan hanya simpel. Sesimpel berbagi nasi kah? Iya. Tak harus satu tahun kita mengabdi di daerah pelosok. Mungkin bisa kita mulai dari hal kecil. Kalau harus ada judul, mungkin akan berbunyi “Belajar Bersama”.

Apa itu “Belajar Bersama”?. Belajar bersama merupakan suatu kegiatan belajar bersama yang diikuti oleh beberapa anak-anak, bisa PAUD, SD, SMP, maupun SMA. Kegiatan berlangsung selama satu hari dalam satu minggu dan tempatnya pun menyesuaikan, bisa di rumah kades, lurah, balai desa, ataupun rumah warga yang memiliki space cukup luas. Disanalah Geodet Muda berperan laiknya Pengajar Muda dalam program Indonesia Mengajar.

Secara teknis semua bisa diatur. Karena kemudahan akan diberikan kepada mereka yang memiliki kemauan. Apalagi bernilai suatu kebaikan, bahkan, mungkin saja akan membuka kebaikan yang selama ini masih belum diperlihatkan oleh Tuhan yang maha Esa. Mari kita mulai secepatnya. Oke. Pertengahan bulan Maret mungkin bisa kita mulai. Sasaran bisa kita mulai dari sekitar Tembalang. Mengingat akses dan jarak yang tak terlampau jauh.

Hanya satu hari dalam satu minggu. Tiga jam dalam 168 jam waktu kita. Kita luangkan waktu rehat kita untuk menemani adik-adik manis yang masih semangat belajar. Hanya mengajar saja, tidak usah kita melihat IPK. Kadang tak hanya ilmu alam yang mereka butuhkan, ingat!, pemahaman mental dan emosi turut menentukan maju tidaknya sebuah generasi.


Tuhan tidak menciptakan kita untuk menjadi seorang Sarjana, itu hanya sarana kita untuk melakukan kebaikan, esensi dari diciptakannya kita oleh-Nya. Jadilah seperti Habibie, seorang ber-integritas di mata bangsa, murni karena ketulusan jiwa, bukan dibeli oleh kedudukan dan harta. Beliau juara rakyat, lebih dari sekedar peraih medali emas.

Dokumentasi Indonesia Mengajar

Ayah... (Buya Hamka)

Posted By: Unknown - 10:11 am
Sebuah buku memoar seorang negarawan, ulama, sastrawan, dan ayah bagi seorang Irfan Hamka, anak keempat Buya. Irfan –penulis– saat ini berusia 70 tahun, sedang sang ayah sudah meninggal ditahun 1981 lalu. Walau sudah tiada, karya beliau masih mampu kita rasakan sampai saat ini. Beberapa buku Buya telah dicetak ulang dan beberapa bahkan telah diangkat kelayar kaca, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Dia bukan hanya seorang sastrawan, dia juga seorang ulama terhormat di tanah Minang pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Saat dipenjara selama 2 tahun 4 bulan oleh Soekarno, ia menyelesaikan buku Tafsir Al Qur’an Al Azhar sebanyak 30 Juz. Di kampung halamannya ia juga dikenal sebagai seorang pesilat handal.

Dia juga seorang cendikiawan, mendapatkan gelar Doktor Honouris dari Universitas Al Azhar Mesir, Buya juga menjadi ketua MUI pertama, bahkan selama dua periode. Mantan petinggi partai Masyumi era orde lama ini juga pernah menjabat sebagai pendiri dan pengasuh yayasan pesantren Indonesia –YPI– yang melahirkan sekolah islam terpadu Al Azhar.

Nama kecil Buya –kyai/ulama dalam budaya Minang– Hamka adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir disebuah desa di Maninjau, Bukittinggi dari seorang ayah bernama Syech DR. Abdul Karim Amrullah, seorang ulama Minang dan Ibu bernama Siti Shafiah. Beliau menghabiskan masa kecil dilingkungan terhormat dan penuh akan nilai-nilai agama islam.

Buya muda tidak mampu menuntaskan sekolah rakyat dan pesantren dengan baik, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca dan belajar berbagai hal secara otodidak. Hingga ia merasa kurang akan ilmu yang dimilikinya dan meminta izin kepada orang tua untuk menuntut ilmu ke tanah jawa di usia yang masih muda.

Beberapa waktu setelah ia lama tinggal di jawa, seorang utusan dari Maninjau meminta Buya untuk pulang kampung dan mengamalkan filsafat Muhammadiyah yang telah ia dapatkan kepada masyarakat Minang. Tak berapa lama kemudian, Buya pulang dan memutuskan untuk menikahi seorang gadis cantik nan bersahaja bernama Siti Raham Rasul binti Rasul St. Redjo Endah, seorang ulama Minang.

Jadilah Buya seorang anak ulama yang menikahi seorang putri ulama Minang pula. Diusia 19 tahun ia menikah dan Siti Raham berusia 16 tahun, suatu hal wajar di saat Belanda masih bercokol. Setelah berkeluarga, Buya muda memutuskan menunaikan haji dan menuntut ilmu untuk beberapa waktu di Arab Saudi. Setelah kembali, jadilah Buya seorang pandai agama, silat dan berdakwah.

Kemampuannya tersebut membawa Buya sebagai pemimpin perang gerilya diakhir tahun 1940an. Ia mampu menghimpun kekuatan masyarakat Minang untuk mematikan kekejaman tentara Belanda. Selama perang geriliya, Buya keluar masuk hutan Sumatra yang masih perawan, tak jarang ia jumpai suara Harimau dan ditempeli lintah ganas. Semua itu Buya lakukan demi satu tujuan, belanda keluar dari bumi Indonesia.

Kabar mundurnya Belanda dan kalahnya Jepang oleh sekutu beberapa waktu kemudian memberikan senyum lebar seorang Buya. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah manis, hingga akhirnya Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Beberapa saat kemudian, Buya mendapat surat dari Soekarno untuk bersedia menjadi pejabat tinggi di kementerian agama RI.

Buya dan keluarga memulai babak hidup baru di Jakarta. Jiwa negarawan Buya semakin kuat setelah masuk panggung politik pemerintahan. Ia turut merumuskan dasar negara bersama negarawan lain seperti Adam Malik, Soekarno, Hatta, M. Natsir, Moh Yamin, dan lainnya. Buya dan partai Masyumi bercorak Islam berusaha memasang pondasi nilai agama dalam tata negara.

Buya adalah seorang nasionalis, namun ketika berbicara tentang akidah –pokok– agama, ia tak mau bergeming sedikitpun. Saat menjabat menjadi ketua MUI di periode kedua, ia membuat fatwa tegas yaitu umat islam dilarang merayakan natal. Hal yang menimbulkan kerenggangan hubungannya dengan presiden terpimpin Soekarno. Presiden ingin fatwa tersebut dicabut, karena ia merasa akan mengganggu prinsip nasionalisme, namun Buya tetap bergeming dan lebih memilih mundur dari jabatannya.

Melihat kedudukan Buya sebagai seorang negarawan, ulama, dan sastrawan, banyak suara-suara sumbang yang memojokkan beliau semasa PKI berkuasa di kancah perpolitikan. Melalui koran Harian Rakjat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti, seorang tokoh PKI, Pramoedya Ananta Toer menuduh Buya sebagai seorang Plagiat. Hingga puncaknya Buya dipenjara tanpa peradilan oleh pemerintah orde lama atas tuduhan terlibat dalam upaya pembunuhan presiden Soekarno.

Dua tahun setelahnya, Buya dibebaskan oleh presiden penerima mandat MPRS, Soeharto. MPR Sementara menentukan Soeharto sebagai presiden terpilih melalui sidang luar biasa beberapa saat usai orde lama menunjukkan kemunduran dan terjadi upaya kudeta paksa yang dilakukan oleh PKI. Setelah Buya bebas, semua PKI, Lekra, koran dan segala hal berbau PKI dibubarkan sampai ke akar oleh pemerintah orde baru.
Buya seorang pemaaf. Dijebloskan ke penjara tanpa peradilan oleh Soekarno tak membuatnya sakit hati. 

Beberapa saat sebelum wafat, Soekarno meminta Buya bersedia menjadi imam sholat jenazah ketika ia wafat. Tokoh nasionalis lain seperti Moh Yamin diakhir hayat juga meminta Buya untuk menemani jasadnya ke Minang, ia takut jenazahnya di tolak oleh masyarakat adat Minang. Dengan adanya Buya, Moh Yamin berharap masyarakat Minang mau memaafkannya.

Cerita menarik dilakukan oleh Pram –sapaan Pramoedya– setelah PKI dan Koran yang diasuhnya dipangkas Soeharto. Pram adalah seorang beragama islam, begitu juga anak perempuannya. Ketika anak Pram ingin menikah dengan seorang Kristen keturunan tionghoa, ia berkata kepada calon menantunya, “Temuilah Buya Hamka. Sesungguhnya aku ingin anakku dinikahi oleh orang seagama.  Belajarlah agama dari Buya. Karena aku percaya Buya mampu mengislamkan kamu dengan benar.” Suatu pesan permohonan maaf  dari hati Pram kepada Buya atas apa yang dahulu ia lakukan.  

Itu hanya sebagian dari beberapa kisah dan sisi lain seorang Buya Hamka. Saya suka sejarah dan politik, maka hanya sudut pandang itulah yang saya sampaikan. Sebenarnya masih ada banyak yang belum tertuliskan, baik Buya sebagai seorang ayah teladan, kehidupan rumah tangga, pengalaman diujung maut, ia seorang sufi, ilmu tassawuf, seorang diplomat, dan lain sebagainya.

Buku ini sangat cocok bagi kalian yang rindu akan sosok negarawan yang nasionalis religius dalam berbagai aspek kehidupannya. Bahasa yang dituliskan Irfan sangat mengalir bak bercerita dengan teman hangat. Hingga tak terasa waktu sudah bergulir dan perut belum terisi makanan saat asyik membacanya.
Buku ini tersedia di Gramedia seluruh Indonesia –InshaAllah– dan diterbitkan oleh penerbit Republika. Terakhir dari saya. Selamat Membaca. 

(Bisa beli sendiri atau meminjam ke saya juga bisa).



Saturday 22 February 2014

Selagi Mampu Menyesal

Posted By: Unknown - 10:01 pm
Sebuah Renungan Islami.

Penyesalan memang menyakitkan. Itu aku rasakan setelah menerima kenyataan pertama kali mendapat nilai D sepanjang kuliah di kampus Geodesi Undip. Mau tak mau harus perbaikan di semester 9. Karena ada syarat yang tidak memperbolehkan sidang skripsi sebelum semua mata kuliah wajib diselesaikan, maka sidang hasil skripsi baru bisa aku lakukan di semester 10, lebih dua semester dari yang telah aku perkirakan.

Sebenernya segala usaha sudah ditempuh. Dosen sudah kita bujuk untuk memberikan remidi UAS ataupun nilai tugas. Hingga keinginan kami disampaikan saat sidang yudisium, pihak jurusan sepakat untuk menolak permohonan kami. Mendengar hal tersebut, lantas kami meminta maaf kepada orang tua kami masing-masing.

Sedih. Pasti. Menyerah. Tidak. Karena masih ada 1000 jalan menuju Roma. Masih ada kisah 1001 malam yang harus kita lewati. Jalan menuju kesuksesan bercabang begitu banyak, walau berujung pada satu tujuan. Buntu di salah satu jalan, melompat ke sisi yang lain. Dan setiap jalan memiliki keunikan kisah masing-masing.

Ingat!. Kita hanya perencana, sedang Tuhan adalah penentu. Yang menurut kita baik, belum tentu baik pula menurut-Nya. Tidak jarang, apa yang tidak kita sukai, justru itulah yang terbaik untuk kita. Selama matahari belum terbit dari barat dan nyawa masih menempel di kerongkongan, selama itu pula harapan akan tetap mengalir bersandingan disetiap usaha.

Yang sempat terbersit didalam benak saya adalah, bagaimana kalau penyesalan yang saya rasakan ini saya rasakan kembali di suatu masa ketika harapan itu tak lagi ada. Setiap kesempatan sudah kembali kepangkuan ilahi.  Hingga tak lagi tersisa, meskipun satu puing kesempatan.

Disana tiada tempat bernaung, tidak ada lagi tempat untuk berlari, apalagi bersembunyi, dan tak seorangpun mampu menolong kita. Sapi tak lagi menyusui anaknya, emas permata ditanggalkan, bahkan seorang istri tak lagi memikirkan suaminya. Semua orang sibuk terhadap urusan masing-masing.

Saat itu tak adalagi rerumputan hijau, padi menguning, bukit, bahkan gundukan tanah pun tak ada. Semuanya datar bak sebuah lembar kertas bercorak padang pasir yang terbentang jauh sepanjang mata memandang. Kata orang bijak, tempat itu bernama padang mahsyar. Tempat umat manusia pertama sampai terakhir dibangkitkan.

Nuh berkumpul dengan ummat satu bahtera, begitu pula dengan Ibrahim, dan Yakub beserta bani Israil, hingga sebuah bendera hijau milik Muhammad beserta ummatnya. Ketika nabi berseru kepada ummat, hanya mereka yang di dunia mengindahkan suara panggilan (baca: Adzan) yang mampu mendengar seruannya. Saat itulah semua yang kita lakukan didunia akan di tampakkan. Hanya mereka yang pandai menjaga aib orang lain semasa di dunia yang akan dijaga aibnya.

Saat itu tak ada lagi penangguhan. Kita sudah tidak ditanya tentang dosa kita, tapi langsung dibalas setimpal tanpa sedikitpun dirugikan, sebagaimana firmanNya dalam surah Ar-Rahman, surah ke 55. Yang kita dapati hanya yang telah kita usahakan di dunia. Bagaimana kita harus menghadapinya? Kalau jelek, apakah ada remidi? Jawabannya tentu tidak ada, karena di sana adalah akhirat, air mata tak ada guna.

Jika penyesalan di dunia saja sudah menyesakkan hati. Itupun masih ada harapan dan waktu serta kesempatan untuk memperbaikinya. Bagaimana kalau waktu kesempatan itu sudah ditutup? Tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menerima apa yang telah kita usahakan. Oke kalau baik, kalau ternyata buruk? Tentu menjadi pertanyaan besar buat kita.

Jika tidak ingin menyesalinya, maka berfikir jernih lah mulai dari sekarang. Berfikir lah tentang kebaikan sepanjang umur singkat yang diberikan-Nya untuk kita. Bukan menakuti, hanya memperingatkan. Bukan mengarang, namun menyampaikan. Karena itu memang  benar adanya.

Harapan masih ada! Imam Mahdi masih kita tunggu kehadirannya, bukan untuk menindas kaum lain agama, namun hanya menegakkan kebenaran dibumi Allah. Tak ada paksaan dalam beragama, namun kebenaran perlu dipaksakan.

Tetap berfikir jernih! Dan begitu seterusnya!

Ingat! Berfikir jernih!

Berfikir jernih!

Jernih!

Jernih!


Jannah…


Jujur, Lima Huruf Sejuta Makna

Posted By: Unknown - 9:17 pm
Di hari sabtu pagi yang cukup cerah, aku duduk di sebuah bangku setinggi lutut. Kursi tersebut terbuat dari besi ringan dan beralaskan empuk berwarna hitam. Kursi itu dilengkapi dengan sebuah alas untuk menulis, teksturnya halus karena dilapisi triplek berwarna putih.

Aku duduk agak di belakang, empat dari belakang dan dua dari kiri. Samping kiriku duduk Ener, sebelah kanan Tyo, depan ada Vauzul dan belakang ada Novita –kalau nggak salah–. Kita sedang mengikuti ujian mata kuliah Geofis saat itu.

Kurasakan dahiku mulai berkeringat, perasaan menjadi gusar, sedang hatiku bergejolak tajam. Setan dan malaikat tak ubah seorang penjual yang menjajahkan barang dagangan disampingku. Semua hal menyenangkan dari kebaikan dan keburukan sudah terbayang di benakku.

Malaikat berkata, “Jangan kamu bertanya. Jujur itu lebih gentle –kece– dari pada curang,”

Iblis tak mau kalah, dengan sigap ia berbalas kata, “Kalau sedikit mah gapapa, daripada kamu nanti dapet nilai jelek! Mau?”. Kurasakan syaraf menuntunku membelokkan mata ke kanan dan ke kiri.

“Jangan lah tun, di peraturan kan nggak dibolehkan bekerja sama, walau kamu sudah tidak lagi menyontek, tapi bekerjasama dalam suatu “kejahatan” kan tidak baik juga, masuk kategori dosa malahan.” Malaikat kembali menawarkan janji kebaikan.

Iblis mengebiri dan mempertegas “Aduuh, nggak papa lah, kan nggak sering – sering juga. Dari pada kamu nanti dapat D!”

Segera aku putuskan, aku memang tak pernah lagi menyontek, tapi godaan untuk sekedar memasang telinga berharap ada yang berbicara sedikit keras perihal jawaban tak mampu aku elak. Sesekali mata melirik ke kanan, kiri dan samping, walau tak bertanya jawaban secara langsung, tapi niat tetap ada.

Beberapa waktu kemudian, nilai D muncul di kolom nilai hasil studi semester tujuh. Beberapa hal menjadi catatan tersendiri dalam hidupku. Pertama, jika kita mau berkeringat saat persiapan, tentu kita tak perlu berdarah-darah saat pertandingan. Kedua, sekecil apapun, keburukan pasti akan kembali kepada pelakunya. Ketiga, kejujuran adalah sebuah nilai yang teramat mahal, bukan hanya karena efek terhadap pelakunya, tetapi karena sangat sukar juga diperolehnya. Keempat, penyesalan memang menyakitkan.

Perempuan Tanpa Nominal

Bicara kejujuran membawa ingatan saya kembali ke sebuah memori hampir empat tahun silam. Waktu yang cukup lama untuk memahami suatu perkara, namun selamanya akan tetap terpatri dalam sanubari. Saat itu kami sedang merayakan kelulusan ujian nasional SMA N 3 Boyolali, sekolah masa remaja saya. Namun masih ada yang kurang kami rasakan, saat itu, ada satu teman kami yang belum beruntung (baca: tidak lulus) dan harus mengikuti ujian nasional susulan.

Kelas IPA II sebagai kelas murid berpredikat 1, 2 dan 3 besar tak seramai kelas lainnya. Kita tak mungkin bersuka ria tatkala masih ada teman yang masih tertinggal. Semangat dan do’a terus kita berikan, walau sekadar untaian kata semangat kita untuk dia yang masih harus berjuang lagi.

Kabar burung yang mengemuka mengatakan, bahwa ia belum bisa lulus karena saat ujian sedang berlangsung, saat semua teman menoleh kesemua arah, berbisik, menunggu sms jawaban dari bocoran soal, entah mereka yang masuk kategori pemalas atau rajin sekalipun, hal berbeda justru ia lakukan. Tak sekalipun ia bergeming memalingkan muka dari lembar soal dan jawaban miliknya.

Ia adalah cucu dari guru agama di SMA kami. Tangan hangat beliau-lah yang mendidiknya menjadi pribadi yang taat, terutama taat kepada Tuhan yang maha Esa, dan semua itu tercermin dalam ketaatannya kepada orang tua, guru, bahkan terhadap peraturan hukum yang berlaku. Jika memang di dalam ujian dilarang bekerjasama, tak sekalipun ia melanggarnya.

Walau semua yang ia lakukan berbuntut panjang, ia tetap memilih jalan kejujuran, walau ia sendirian, ia tak mengkuti semua orang, walau terkesan “aneh”. Saya saat itupun berfikiran sama, “aneh”. Perlu sekedar pemahaman nilai kebaikan agama untuk melakukannya. Mereka yang berani melakukannya bukan hanya membaca, namun memahami dan menanamkannya dengan hati – hati di tiap langkah yang ia tapaki.
Sungguh wanita “aneh” yang banyak dicari, dipuji, dan dikagumi, bukan oleh kebanyakan manusia saat ini, tetapi oleh Dia dan manusia yang banyak berbuat kebaikan. 

Ia termasuk sebaik – baik golongan wanita. Do’a untuk dirinya, semoga menjadi jauh lebih baik lagi saat ini, dipertemukan dengan penunjuk jalan yang baik pula, walau sudah jarang berjumpa, namun teman selamanya teman, kalau berjumpa Alhamdulillah, semoga kita masih bisa saling berucap “salam”, baik di surga dunia maupun akhirat. Aamiin.




     

Sunday 9 February 2014

Kenapa kita harus Turun Tangan?

Posted By: Unknown - 9:46 pm
Saya seperti mahasiswa kebanyakan. Sedih tiap lihat televisi hanya berisikan berita kasus korupsi yang dilakukan oleh beberapa wakil rakyat. Mereka yang seharusnya menjadi perwakilan aspirasi, keinginan dan hak kita, malah berlaku seperti maling yang tak berperasaan. Sudah terlampau banyak rupiah yang mereka rampas.

Saya juga seperti mahasiswa kebanyakan. Hanya mampu mengutuk mereka dan berdiam diri, sekedar membincang dan mencaci mereka bersama kawan sejawat. Dan bisa ditebak, hanya berujung caci maki tak bertuan, sedang yang bersangkutan tak mungkin mendengar. Lebih parah, hal itu tak mengubah korupsi sedikitpun.

Mulai dari itu, sedikit waktu saya berfikir. Cukup kah hanya diam saja? Mencaci maki dan bersumpah serapah?, tentu tidak. Perlu sedikit gerakan untuk menggeser posisi sebuah meja, pun dengan korupsi, perlu sedikit gerakan untuk menggesernya, atau bahkan menyingkirkan-nya.

Awalnya saya mulai dari diri sendiri, karena ada orang bijak berkata, jika kita mampu mengubah diri kita menjadi jauh lebih baik, maka secara bersamaan kita telah mengubah sebuah masyarakat –negara– untuk menjadi lebih baik. 

Saya memulai dengan menghilangkan kata mencontek atau kerjasama ketika ujian. Mengurangi kebiasaan titip absen ketika ada jadwal kuliah. Mengerjakan tugas kelompok sesuai bagian saya. Sampai perihal waktu keberangkatan, sebisa mungkin mendahului dosen sampai di kelas.

Namun, saya rasa masih ada banyak hal yang kurang selama ini. Rasa-rasanya kok nggak adil kalau hal ini hanya dilakukan oleh segelintir mahasiswa. Bagaimana bisa mengubah sebuah negara besar jika kebaikan tak dirasakan oleh semua orang?. Aku baru teringat,

“Kebaikan yang tak terorganisasi, akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi. Walaupun kita semua tahu, bahwa kebaikan pasti akan mengalahkan kejahahatan. Maka, sebaik-baik kebaikan adalah yang terorganisasi dengan baik.”

Sudah saatnya kita mewadahkan kebaikan tersebut kedalam suatu wadah pergerakan yang mampu mengajak orang untuk bersama – sama memperbaiki diri dan negara. Bersama-sama menghilangkan hobi korupsi dari benak anak bangsa. Dan sampai saat ini, pilihan saya jatuh kepada Turun Tangan.

Kenapa Turun Tangan?

Turun Tangan tak hanya mengajak kita untuk sekedar berfikir, namun mengajak kita untuk turun langsung menghadapi berbagai masalah yang sedang dialami bangsa kita, termasuk korupsi. Sekarang bukan saatnya kita hanya berdiam diri!

Berikut ada beberapa poin mengenai Turun Tangan :

Non profit. Ya, Turun tangan bersifat sukarela, tak ada iuran wajib diantara para relawan. Donatur pun bersifat individual orang yang peduli dengan turun tangan dan nasib bangsa, bukan institusi yang mengharapkan timbal balik dibelakangnya.

Profesional. Komunitas Turun Tangan memiliki kantor pusat di Jakarta dan beberapa koordinator wilayah - korwil -di tiap kota besar di Indonesia. Jadi, secara jaringan mereka sudah profesional. Mereka juga memiliki pusat layanan informasi mandiri dan media penyebar semangat turun tangan.

Variatif. Kegiatan yang diadakan oleh komunitas Turun Tangan sangat beragam, kita tak terbatas oleh isu tertentu, misal pangan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Jadi bagi kalian yang punya bakat apapun bisa gabung ke kita, hanya saja, ada satu syarat mutlak, kalian peduli dan mau meng-“Hadapi” apapun tantangan kita didepan.

Bukan alat politik. Turun Tangan memang identik dengan seorang Anies Baswedan –salah satu peserta konvensi partai Demokrat– yang juga penggagas gerakan Indonesia Mengajar (IM). Faktanya, Anies turut mencantumkan nama Turun Tangan.

Ini sebuah pertanyaan besar. Sudah dari awal saya katakana dalam hati, saya akan berpartisipasi dalam kegiatan sosial, bukan politik. “karena saya mengagumi Anies bukan dalam kapasitas sebagai politisi, namun tokoh pendidikan”. Jawaban yang saya cari akhirnya terjawab saat acara pembekalan relawan oleh tim Turun Tangan pusat kepada seluruh relawan Turun Tangan Semarang di hari sabtu, 8 Februari 2014.

Mbak Juwita –anggota Turun Tangan pusat– bercerita, jika Turun Tangan telah ada sebelum Anies Baswedan diundang sebagai salah satu peserta konvensi. Dan Anies Baswedan merupakan salah satu penggagasnya. Jadi, Turun Tangan bukan produk maupun alat politik dalam rangka pencalonan Anies Baswedan.

Namun, mengapa Anies Baswedan mencantumkan nama Turun Tangan dalam agenda promosi integritas?. Turun Tangan menjawab, “kita hanya mendukung orang baik, dan pak Anies merupakan orang baik. Selama pak Anies Baswedan baik, kami akan selalu mendukungnya. Karena yang terpenting adalah tercapainya cita-cita kita, Indonesia yang lebih baik”.

Owh gitu ya. Sekarang saya bertanya, BAIK-nya seorang Anies Baswedan itu seperti apa?. Ternyata banyak, yang paling saya suka diluar penggagas Indonesia Mengajar dan Rektor termuda di Indonesia, saya lebih kagum pada sifat kejujuran Anies Baswedan.

Sejauh ini dia masih bebas korupsi. Lahir di dalam keluarga bersih dan berpendidikan menjadikan Anies Baswedan seorang yang bersikap jujur. Dia juga dijadikan sebagai ketua komite KPK saat menghadapi prahara cicak vs buaya. Tentu KPK –lembaga anti korupsi– lebih mengtahui integritas “kebersihan” seseorang. Dan Anies Baswedan terpilih sebagai ketua, mengepalai orang-orang hebat yang usianya jauh diatas-nya.

Dan satu hal yang membuat saya lega. Ketika tim Turun Tangan pusat berkata, “jika Anies Baswedan kalah. Maka Turun Tangan akan tetap ada, bukan bergantung pada hasil perhitungan suara. Karena pada dasarnya kita mendukung orang baik, maka kita akan tetap mendukung Anies Baswedan, selama dia menjadi orang baik.

Sekarang, saya hanya bisa berkata, 

“Saya bukan pendukung Anies Baswedan, tetapi saya pendukung orang baik. Selama Anies Baswedan baik, maka saya akan mendukungnya.”

"Sekarang saatnya kita (T)urun (T)angan, bukan sekedar urun angan."

Semoga bermanfaat.








Monday 3 February 2014

Geofis : Spesies Pemakan Masa Depan

Posted By: Unknown - 9:34 pm

“geofis,,geofis,,” 

tulis salah satu teman di grup jejaring sosial WhatsAp milik angkatan, Geodet 2010, pukul 13.16 hari ini, senin, 3 februari 2014. Yang lain langsung bersahutan, “geofis uda keluar?”,”cek SIA”,“semoga beruntung”.

Tiba-tiba, perasaan enggak enak yang aku rasa beberapa hari belakangan perlahan mulai menghilang. Entah mengapa. Mendadak jadi orang bingung. Harus gimana? senang atau sedih, atau mungkin biasa aja, mau liat atau enggak. Serba salah.

Ya mau nggak mau harus lihat, apapun hasilnya. Bismillah, ku ketik alamat SIA di kolom Link address Google Chrome. Ku masukkan ID dan password, dan kulihat nilai KHS semester ini.

Teeereeeettt.teettt. teettttt.

Telur yang selama ini aku jaga akhirnya dipecahkan juga oleh babi hijau serial Angry Bird. Perasaanku aneh. Sekarang baru aku sadari, bagaimana rasanya mendapat nilai D itu. Sediiiih bingit tentunya. Kalau di umpamakan, begini analoginya.

Kalian tau kisah David and Goliath?. Saat ini, bagiku Goliath tidak lebih menakutkan daripada Geofis. Geofis itu lebih besar, hitam dan kasar. Tentu David akan berfikir dua kali jika masih saja memakai ketapel untuk melawan-nya.

Kalian tau Raja Ozai? Raja api dalam serial avatar. Ketahuilah, mereka hanya mengacaukan tiga elemen lainnya, udara, air dan bumi, sedang Geofis mengacau semua elemen masa depanku, mulai dari rencana wisuda tahun 2014, lebaran bergelar sarjana, sampai achievement pribadi yang Cleanshet dari nilai D.

Kalian tau Soekarno?. Dulu, dia hanya ingin meng-“ganyang” Malaysia, dan itupun tak jadi ia lakukan. Tetapi Geofis, ia telah meng-“ganyang” rencana skripsi-ku di tahun ini. Dia lebih berbahaya dari konspirasi negara boneka Malaysia di periode 60an.

Kalian tau Hitler? Masih beruntung Geofis hidup di zaman sekarang, jika ia hidup di zaman Hitler, pasti dia sudah diburu sama tentara Nazi Jerman. Karena Geofis jauh lebih berbahaya daripada Yahudi. Bagi saya Anti-Geofis itu lebih penting daripada Anti-Semit.

Spesies Baru
Seperti itu-lah Geofis. Salah satu spesies yang baru beberapa tahun ini ditemukan. Dan baru tahun ini teridentifikasi sebagai mata kuliah wajib di prodi Geodesi Undip. Nama ilmiah dari spesies ini belum bisa ditentukan, masih menunggu penelitian lanjut di laboratorium ITB dan IPB. Yang jelas, dia adalah spesies pemakan masa depan.

Statistik di hasil akhir nilai Geofis, kaum reguler 1 menunjukkan, setidaknya ada 11 anak yang mendapat nilai D (13.41%). Dan 31 (37.8%) anak mendapat nilai C. Sisanya B dan sedikit A. Dari reguler 2 tak jauh beda, 4 orang  memperoleh nilai D. Dan yang mendapat nilai C mencapai 28 orang, atau sekitar 60.87% dari total mahasiswa. Hanya 4 orang bernilai A dan 9 orang bernilai B.    

Sejauh ini, semua sks sudah aku ambil. Sejauh itupula, hanya Geofis yang berhuruf D di kolom nilai. Bukan-nya apa-apa, hanya saja ini terjadi di semester ketujuh dan di saat aku sudah mempersiapkan segala sesuatu tentang seminar proposal. Jadi, mau nggak mau harus memperbaiki nilai D tersebut di semester sembilan.

Dan syarat sidang akhir adalah terpenuhinya semua nilai sks (tanpa ada nilai D). Asumsi terbaik adalah Geofis aku mendapat nilai C dan nilai keluar bulan januari 2015. Aku masih harus menunggu jadwal sidang akhir baru kemudian wisuda.

Jadi, wisuda bulan april tahun depan adalah jalan yang paling baik. Padahal, semester delapan sudah tak ada sks, pun semester 9 hanya Geofis dan TA. Sungguh, satu tahun yang berat. Mau ngapain kalau satu tahun nganggur? Masuk Momentum lagi? Owhh God.

Apalagi IPK kurasa sudah cukup, hanya dua matakuliah yang masih dapat C, dan itupun tak akan aku perbaiki karena bukan ilmu inti Geodesi dan yang satu lagi sudah pernah aku perbaiki. Walau tetep dapet C, setidak-nya ilmu yang bapak Chulaemi sampaikan sudah mampu aku cerna.

***

Ada beberapa kata yang cukup miris jika aku bayangkan, begini cerita-nya.

Di kos 7D. Saat pagi mulai menyingsing, Aku mengetok pintu rumah bapak Kos, “Pak , ini uang bulanan sampai april 2015 ya pak, saya nggak jadi wisuda tahun ini, hehe” walau agak tertawa, tapi sebenernya sedih juga. -_-.

Di kampus, ruang B.301. Saat kuliah Geofis kedua kali-nya, di bulan September 2014. Seorang anak 2011 berbicara dalam hati, “Ya Allah, semoga aku Geofis dapat nilai A. Aku nggak mau kayak mas 2010 yang keriting itu, jangan sampai diriku kuliah Geofis lagi tahun depan. Aamiin.”. What the ....

***

Apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur. Faktanya, hanya di FTV sebuah nilai D bisa berubah jadi A. Udah gitu, mahasiswi-nya langsung jadian sama dosen. Bukan bukan, aku bukan penikmat roman khayal murahan, aku masih manusia realistik, sedikit lebih pintar di atas FTV.

Sekarang, hanya solusi yang harus aku fikirkan. Pertama, tentu kepada diriku sendiri. Sibuk? itu bukan alasan, toh kalau itu sebuah alasan, itu hanya untuk pecundang, bukan untuk seorang petarung. Kerja lebih keras lagi! pastinya. Nilai jelek adalah buah dari apa yang kita usahakan, kalau jelek, berarti kurang persiapan.

Kedua, tanggung jawab kepada orang tua dan keluarga. Mau nggak mau harus menundukkan badan ketika pulang kampung. Sebuah kesalahan pasti berbuntut kekecewaan. Walau aku yakin, pasti mereka akan terus mendukungku, namun nurani terasa berat ketika harus mengecewakan mereka.

Maaf ya Pak, Bu, Dek, Semua-nya. Ya sekarang tinggal ngejalanin apa yang uda terjadi. Kalau kata Amri, setiap pilihan itu pasti ada konsekuensi-nya. Bener banget bos Unique Loundry ini, mungkin ini konsekuensi dari apa yang aku pilih di semester lalu.

Sebuah nasihat dari Indra, sesaat setelah tau kabar buruk Geofis, “semangat ya tun. yang penting, satu tahun kedepan kamu isi dengan berbagai hal yang bermanfaat. bahkan yang lebih besar dari TA sekalipun. Semangat semangat.”

Aku hanya bisa berkata, “Siaappp!” 

Harapan Baru...







  

Sunday 2 February 2014

Ini Alasan Konflik di Timur Tengah

Posted By: Unknown - 10:33 am
Siang cukup terik di Tembalang pada hari itu. Seorang anak muda berbadan tinggi agak kurus berjalan bersama seorang warga negara Libya bernama Wanis. Kaki Wanis dan Randy melangkah di sepanjang jalan trotoar kampus. Gerak verbal tubuh mereka mengisyaratkan pembicaraan yang cukup serius.

Didepan mereka ada seorang perempuan berdiri di pinggir jalan depan gedung dekanat fakultas teknik, ia terlihat tengah menunggu angkot. Ia berdiri tepat disamping rambu berbentuk lingkaran dan berwarna kuning, bertanda huruf s dengan sebuah garis hitam menyilang. Tanda tak seorangpun boleh berhenti di area tersebut.

Melihat hal tersebut. Wanis, langsung menghampiri dan menegur-nya. “What are you doing here. Can you see this (rambu)?.” Bla bla bla. Panjang lebar Wanis menasihati perempuan tersebut. Intinya, ia menasehati perempuan tersebut agar melihat tanda rambu dilarang berhenti dan lebih patuh pada peraturan yang berlaku.

Perempuan itu hanya diam dan sedikit ketakutan. Ia sangat faham maksud gerak tangan Wanis, namun tidak memahami kesemua perkataan-nya. Dengan perasaan kesal, Wanis meninggalkan Randy dan perempuan tersebut.

Sementara itu, Randy yang cukup mengerti bahasa Inggris,  mencoba menerjemahkan apa yang dikatakan oleh Wanis. Randy dan perempuan tersebut memulai pembicaraan. Cukup panjang lebar Randy menjelaskan hal tersebut.

Tak diduga oleh Randy sebelumnya, Wanis yang sudah berjalan dahulu tiba-tiba kembali dan malah berbalik memarahinya. Seketika ia terkejut dan kaget. Berfikir ia dalam hati, “kenapa dia marah-marah?”. Randy masih saja bingung.

Sejenak Randy menenangkan fikiran. Perlahan ia mulai memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Rupanya, Wanis mengira jika Randy yang sedari tadi berbicara panjang lebar dengan perempuan tersebut, dengan bahasa yang tak dimengerti oleh Wanis tentunya, yang sebenarnya bermaksud untuk menerjemahkan nasehat-nya, malah dianggap sedang membicarakan diri-nya dibelakang.

Sebagai seorang muslim, Wanis tentu paham kalau membicarakan orang lain itu dosa. Namun, Wanis terlalu terburu-buru untuk mengambil kesimpulan jika Randy dan perempuan tersebut tengah membicarakan diri-nya. Padahal Randy hanya ingin menyampaikan nasehat bijak Wanis kepada perempuan tersebut, agar lebih mudah dipahami.

Randy hanya berfikir dalam hati “semua ini salah paham. enggak ada yang salah. mungkin tak ada yang salah juga dalam konflik di timur tengah. semua-nya hanya salah paham. hanya kurang komunikasi dan musyawarah mufakat.”



Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.