Sunday 23 February 2014

Ayah... (Buya Hamka)

Posted By: Unknown - 10:11 am

Share

& Comment

Sebuah buku memoar seorang negarawan, ulama, sastrawan, dan ayah bagi seorang Irfan Hamka, anak keempat Buya. Irfan –penulis– saat ini berusia 70 tahun, sedang sang ayah sudah meninggal ditahun 1981 lalu. Walau sudah tiada, karya beliau masih mampu kita rasakan sampai saat ini. Beberapa buku Buya telah dicetak ulang dan beberapa bahkan telah diangkat kelayar kaca, seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.

Dia bukan hanya seorang sastrawan, dia juga seorang ulama terhormat di tanah Minang pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Saat dipenjara selama 2 tahun 4 bulan oleh Soekarno, ia menyelesaikan buku Tafsir Al Qur’an Al Azhar sebanyak 30 Juz. Di kampung halamannya ia juga dikenal sebagai seorang pesilat handal.

Dia juga seorang cendikiawan, mendapatkan gelar Doktor Honouris dari Universitas Al Azhar Mesir, Buya juga menjadi ketua MUI pertama, bahkan selama dua periode. Mantan petinggi partai Masyumi era orde lama ini juga pernah menjabat sebagai pendiri dan pengasuh yayasan pesantren Indonesia –YPI– yang melahirkan sekolah islam terpadu Al Azhar.

Nama kecil Buya –kyai/ulama dalam budaya Minang– Hamka adalah Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir disebuah desa di Maninjau, Bukittinggi dari seorang ayah bernama Syech DR. Abdul Karim Amrullah, seorang ulama Minang dan Ibu bernama Siti Shafiah. Beliau menghabiskan masa kecil dilingkungan terhormat dan penuh akan nilai-nilai agama islam.

Buya muda tidak mampu menuntaskan sekolah rakyat dan pesantren dengan baik, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca dan belajar berbagai hal secara otodidak. Hingga ia merasa kurang akan ilmu yang dimilikinya dan meminta izin kepada orang tua untuk menuntut ilmu ke tanah jawa di usia yang masih muda.

Beberapa waktu setelah ia lama tinggal di jawa, seorang utusan dari Maninjau meminta Buya untuk pulang kampung dan mengamalkan filsafat Muhammadiyah yang telah ia dapatkan kepada masyarakat Minang. Tak berapa lama kemudian, Buya pulang dan memutuskan untuk menikahi seorang gadis cantik nan bersahaja bernama Siti Raham Rasul binti Rasul St. Redjo Endah, seorang ulama Minang.

Jadilah Buya seorang anak ulama yang menikahi seorang putri ulama Minang pula. Diusia 19 tahun ia menikah dan Siti Raham berusia 16 tahun, suatu hal wajar di saat Belanda masih bercokol. Setelah berkeluarga, Buya muda memutuskan menunaikan haji dan menuntut ilmu untuk beberapa waktu di Arab Saudi. Setelah kembali, jadilah Buya seorang pandai agama, silat dan berdakwah.

Kemampuannya tersebut membawa Buya sebagai pemimpin perang gerilya diakhir tahun 1940an. Ia mampu menghimpun kekuatan masyarakat Minang untuk mematikan kekejaman tentara Belanda. Selama perang geriliya, Buya keluar masuk hutan Sumatra yang masih perawan, tak jarang ia jumpai suara Harimau dan ditempeli lintah ganas. Semua itu Buya lakukan demi satu tujuan, belanda keluar dari bumi Indonesia.

Kabar mundurnya Belanda dan kalahnya Jepang oleh sekutu beberapa waktu kemudian memberikan senyum lebar seorang Buya. Apa yang ia lakukan ternyata berbuah manis, hingga akhirnya Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Beberapa saat kemudian, Buya mendapat surat dari Soekarno untuk bersedia menjadi pejabat tinggi di kementerian agama RI.

Buya dan keluarga memulai babak hidup baru di Jakarta. Jiwa negarawan Buya semakin kuat setelah masuk panggung politik pemerintahan. Ia turut merumuskan dasar negara bersama negarawan lain seperti Adam Malik, Soekarno, Hatta, M. Natsir, Moh Yamin, dan lainnya. Buya dan partai Masyumi bercorak Islam berusaha memasang pondasi nilai agama dalam tata negara.

Buya adalah seorang nasionalis, namun ketika berbicara tentang akidah –pokok– agama, ia tak mau bergeming sedikitpun. Saat menjabat menjadi ketua MUI di periode kedua, ia membuat fatwa tegas yaitu umat islam dilarang merayakan natal. Hal yang menimbulkan kerenggangan hubungannya dengan presiden terpimpin Soekarno. Presiden ingin fatwa tersebut dicabut, karena ia merasa akan mengganggu prinsip nasionalisme, namun Buya tetap bergeming dan lebih memilih mundur dari jabatannya.

Melihat kedudukan Buya sebagai seorang negarawan, ulama, dan sastrawan, banyak suara-suara sumbang yang memojokkan beliau semasa PKI berkuasa di kancah perpolitikan. Melalui koran Harian Rakjat, Bintang Timur, dan Warta Bhakti, seorang tokoh PKI, Pramoedya Ananta Toer menuduh Buya sebagai seorang Plagiat. Hingga puncaknya Buya dipenjara tanpa peradilan oleh pemerintah orde lama atas tuduhan terlibat dalam upaya pembunuhan presiden Soekarno.

Dua tahun setelahnya, Buya dibebaskan oleh presiden penerima mandat MPRS, Soeharto. MPR Sementara menentukan Soeharto sebagai presiden terpilih melalui sidang luar biasa beberapa saat usai orde lama menunjukkan kemunduran dan terjadi upaya kudeta paksa yang dilakukan oleh PKI. Setelah Buya bebas, semua PKI, Lekra, koran dan segala hal berbau PKI dibubarkan sampai ke akar oleh pemerintah orde baru.
Buya seorang pemaaf. Dijebloskan ke penjara tanpa peradilan oleh Soekarno tak membuatnya sakit hati. 

Beberapa saat sebelum wafat, Soekarno meminta Buya bersedia menjadi imam sholat jenazah ketika ia wafat. Tokoh nasionalis lain seperti Moh Yamin diakhir hayat juga meminta Buya untuk menemani jasadnya ke Minang, ia takut jenazahnya di tolak oleh masyarakat adat Minang. Dengan adanya Buya, Moh Yamin berharap masyarakat Minang mau memaafkannya.

Cerita menarik dilakukan oleh Pram –sapaan Pramoedya– setelah PKI dan Koran yang diasuhnya dipangkas Soeharto. Pram adalah seorang beragama islam, begitu juga anak perempuannya. Ketika anak Pram ingin menikah dengan seorang Kristen keturunan tionghoa, ia berkata kepada calon menantunya, “Temuilah Buya Hamka. Sesungguhnya aku ingin anakku dinikahi oleh orang seagama.  Belajarlah agama dari Buya. Karena aku percaya Buya mampu mengislamkan kamu dengan benar.” Suatu pesan permohonan maaf  dari hati Pram kepada Buya atas apa yang dahulu ia lakukan.  

Itu hanya sebagian dari beberapa kisah dan sisi lain seorang Buya Hamka. Saya suka sejarah dan politik, maka hanya sudut pandang itulah yang saya sampaikan. Sebenarnya masih ada banyak yang belum tertuliskan, baik Buya sebagai seorang ayah teladan, kehidupan rumah tangga, pengalaman diujung maut, ia seorang sufi, ilmu tassawuf, seorang diplomat, dan lain sebagainya.

Buku ini sangat cocok bagi kalian yang rindu akan sosok negarawan yang nasionalis religius dalam berbagai aspek kehidupannya. Bahasa yang dituliskan Irfan sangat mengalir bak bercerita dengan teman hangat. Hingga tak terasa waktu sudah bergulir dan perut belum terisi makanan saat asyik membacanya.
Buku ini tersedia di Gramedia seluruh Indonesia –InshaAllah– dan diterbitkan oleh penerbit Republika. Terakhir dari saya. Selamat Membaca. 

(Bisa beli sendiri atau meminjam ke saya juga bisa).



About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

0 comments:

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.