Sunday 10 August 2014

Memilih Dua Pilihan

Posted By: Unknown - 9:44 am

Share

& Comment

(Masih) Tentang pengalaman hidup saya yang harus bertemu dan menghadapi tantangan dengan kepala tegak. Tantangan itu bernama Geofis. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita seharusnya mengutamakan kewajiban dan keharusan kita untuk tegas mengambil setiap keputusan. Dan kita tahu. Setiap keputusan pasti ada resiko. Begini ceritanya.

Semester satu sampai enam saya lalui seperti kebanyakan mahasiswa. Dimulai di Kost, mandi, terus ngampus, ndengerin dosen di dalem kelas, dateng rapat, ngerjain tugas dan tentunya, main PES. Hehe. Di semester 7 lebih terasa cukup berat bagi saya, walaupun saat itu saya hanya mengambil 2/3 dari total paket sks. Karena 1/3 nya telah saya ambil di semester awal. Tetapi, di semester akhir tersebut saya malah mengikuti empat organisasi sekaligus. Pers Teknik, Mapala Geodesi, Rohis dan BEM universitas. Disinilah titik permasalahan yang saya alami.

Sedikit saya ceritakan. Saat semester 7 tersebut saya ditunjuk menjadi salah satu hakim sidang di KPSP atau Komisi Penyelesai Sengketa Pemira (semacam MK) dalam proses PEMIRA Undip tahun 2013. PEMIRA singkatan dari pemilu raya, pesta politik pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa.

Siang hari di kantor polisi –sekretariat panitia PEMIRA– samping POM bensin Undip. Disaat proses sidang gugatan sedang berjalan, saya mendapat kabar dari seorang teman, kalau ada kelas tambahan matakuliah Geodesi Fisis (Geofis) untuk mengganti kekosongan pertemuan sebelumnya. Kondisi saat itu, saya telah absen 4 kali. Jadi, kalau saja saya absen lagi, sudah dipastikan nilai saya tidak keluar. Terus gimana? Saya juga bingung saat itu. Antara meninggalkan sidang atau titip absen –kebiasaan buruk yang secara perlahan saya coba tinggalkan–.

Kenapa saya berat untuk meninggalkan sidang?. Dalam peraturan sidang, harus dihadiri oleh beberapa hakim yang telah ditentukan. Dan jika saya tinggalkan, sidang akan cacat, karena keberadaan hakim tidak memenuhi ketentuan. Mau tidak mau saya harus disana. Disitulah saya sedikit mengerti kenapa DPR “berkeringat” saat membuat undang-undang. Setiap detil ketentuan UU harus ditulis dengan jelas. Bahkan disertai penjelasan per-pasal agar tidak menimbulkan multitafsir.

Dilain sisi. Kuliah adalah kewajiban saya. Dan memenuhi minimal 75% kehadiran kuliah adalah sebuah kewajiban. Celakanya, 4 kali sudah saya tak memenuhi kehadiran kelas. Sekali lagi tak hadir, saya sudah tak memenuhi syarat untuk mengikuti ujian akhir semester. Duh Gusti.

Sementara sidang istirahat. Saya mencoba sedikit bernegosiasi dengan hakim sidang lainnya. Pelan-pelan saya membujuk mereka untuk mengizinkan saya meninggalkan sidang. Dan sesuai dengan tebakan saya. Mereka menolak, terlebih hakim ketua, ia sedikit ngotot meminta saya untuk tetap di tempat. Saya rasa tak bisa ikut kelas Geofis (lagi).

Perasaan saya tak tenang. Fikir saya saat itu, kewajiban kuliah lebih besar daripada organisasi. Walau kontribusi di Pemira adalah kewajiban, sesuai amanah, namun ada kewajiban lebih besar yang harus saya dahulukan, yaitu belajar. Jadi saya putuskan lebih ngotot lagi untuk meminta izin meninggalkan sidang. Setelah perdebatan cukup lama, saya diizinkan keluar sidang. Alhamdulillah. Sidang berlanjut walau sesuai ketentuan “cacat” karena kuota hakim tak memenuhi. Namun, saya memakluminya, karena ini adalah dunia kampus, tempat kita belajar, kalau ada salah dan cacat ya wajar-wajar saja. Namanya juga belajar.

Setelah sampai kampus. Ternyata kelas sudah masuk cukup lama. Hampir 45 menit. Duh, galau lagi. Kalau masuk ada dua kemungkinan, pertama, disuruh keluar, kedua, boleh masuk tapi di”interogasi” terlebih dahulu, karena terlalu lama terlambat. Kenapa saya telat lama sekali?. Pertama, temen saya memberi tahu ketika dosen sudah masuk. Kedua, lumayan lama membujuk hakim untuk memberi izin. Ketiga, saat itu turun hujan, saya menunggu sedikit reda sebelum memutuskan “nekat” ngampus tanpa jas hujan.

Lima menit saya berfikir di luar kelas. Masuk atau enggak. Entah apa yang saya pikirkan saat itu. Saya memilih keputusan. Saya titip absen dan pulang. Dua hal saya dapatkan. Pertama, saya titip absen –bohong–. Kedua, saya meninggalkan sidang –berbohong lagi, karena ternyata nggak jadi masuk kelas–. Kedua kewajiban dan amanah saya tinggalkan. Hanya dapat basah kuyup dan capek. Bodoh kan?.

Kebodohan itulah yang membawa saya ketitik terendah. Diakhir cerita (baca cerita saya tentang geofis 1 2 3) saya mendapatkan nilai D. Untuk pertama kali dan itu terjadi di semester ketujuh. Perlu dicatat, Teknik Geodesi tidak mengenal sistim SP atau semester pendek. Dan satu lagi, pengumuman nilai keluar di akhir bulan februari, dua minggu sebelumnya saya sudah mengantongi judul skripsi.

Mungkin sebagian dari kita tidak menyadari, bahwa setiap keputusan kecil yang kita buat saat ini adalah investasi untuk sebuah hasil menakjubkan di kemudian hari. Mungkin pilihan saya untuk tak jadi masuk kelas saat itu adalah keputusan kecil. Pilihan saya untuk titip absen dan meninggalkan sidang adalah hal mudah yang saya lakukan saat itu. Namun, dampak besar terjadi dalam diri saya.

Akhirnya, saya merasakan nilai D. Dan target wisuda pertengahan tahun 2014 tertunda. Kondisi saya sekarang, semester 8 hanya mengambil sks Tugas Akhir dan di semester 9 hanya mengambil Tugas Akhir (lagi) dan Geodesi Fisis. Terimakasih atas pembelajarannya.


Setiap kesalahan tak selalu berujung dengan kesalahan selanjutnya. Yang terpenting, bagaimana kita mengubah dampak dari kesalahan tersebut menjadi suatu kebaikan yang tak kita duga sebelumnya. Tetap semangat. Tuhan bersama mereka yang mau memperbaiki kesalahan.   

About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

0 comments:

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.