Tuesday, 7 January 2014

Pelik kasus Kalkulator Matrik

Posted By: Unknown - 3:27 pm

Share

& Comment



Pelik Kasus Kalkulator Matrik

-kronologi hilangnya kalkulator matrik seharga satu juta-



Pagi itu langit nampak cerah. Lukisan awan meliuk liuk beraturan. Angin semilir berhembus di antara
celah dedaunan. Elok sekuntum bunga merah muda melengkapi suasana bak taman asri. Bukan di taman kota. Aku hanya berada di sebuah taman diantara dua jalan yang memisahkan kampus Hukum dan FIB.
Aku

Pagi itu aku belum sempat sarapan. Bukan jadwalku untuk makan sepagi itu. Ya, saat itu baru pukul tujuh. Disana aku sendiri, ditemani sebuah kotak besar warna kuning bertuliskan SOKKIA.

Di dalam-nya ada sebuah alat ukur Total Station, kami sering menyebutnya TS. Sebuah pita ukur warna orange aku taruh di atas kotak tersebut. Cukup lama aku menunggu. Sekira dua puluh menit.

Tak lama kemudian, Yessi datang dengan membawa sariroti, air minum dan beberapa makanan ringan. Baik banget cewek medan ini. Tapi dulu dia masih tomboy, nggak seanggun sekarang.

Yessi (dulu)

“akhirnya kamu dateng yes” ucapku. Yessi merespon, “uda lama nunggu bang?”. Sedikit bohong kujawab, “enggak kok yes, baru lima menit.” Saat itu kita berdua masih nunggu Dzaki Adzan, Heranda dan Chaca. Tak kunjung ada kabar. Kami berusaha menelfon mereka satu persatu.

Setengah jam kemudian, Heranda terlihat dari arah turunan widya puraya. Mantan petinggi angkatan tersebut datang mengendarai megapro warna hitam kesayangan-nya. Kami berdua maklum. Dia anak semarang bawah. Harus mengatasi macet-nya pasar Jatingaleh dan Gombel.

Heranda

Heranda orang-nya enak. Datang langsung senyum, walau telat cukup lama. Tinggal dua manusia yang masih kita nanti kedatangan-nya. Tanpa mereka berdua, kita nggak akan bisa ngukur, soalnya susah kalau nggak ada tenaga lokal –tenaga bantu–.

50 menit kita menunggu, hanya ngobrol santai sampil mempersiapkan sket denah lokasi pengukuran. Yang ditunggu akhirnya memberikan kejelasan. HP ku bergetar. Ada sms dari Dzaki, dia otw ke lokasi. Syukur lah.
Dzaki Adzan luph Statip clamanya

Sekarang tinggal satu onggok manusia yang belum jelas kabar keberadaannya. Nama-nya Charisma Parasandi Alfarizi. Nama yang indah. Namun ketahuilah, terkadang keindahan itu melalaikan. Bahkan terkadang menipu.

Chaca
Secara fisik dia gampang dikenali, hampir mirip Ikow Uwais, Vino G. Bastian, Reza Rahadian dan Mat Solar. Namun nama terakhir yang paling dominan. Mungkin kalau aku jadi pebisnis media entertainment, satu program unggulan yang akan kugarap adalah The Bajaj Bajuri Return. Chaca yang akan memerankan Mat solar muda.

Singkat cerita kami memulai pengukuran seperti biasa, Yessi nyatet, Aku, Heranda dan Dzaki bergantian pegang TS. Kita mulai dari titik pertama di tempat kami kumpul sampai ke belakang kampus FISIP, dan terakhir di perkampungan baskoro.

Perlahan rasa lelah mulai terasa. Air keringat mulai menembus celah kaos Chelsea yang aku pakai. Matahari terlihat sepenggal naik. Jarum jam di tangan kiri Yessi menunjuk pukul 10.  Chaca yang kita nanti belum juga dateng.

Bak buah manga dimusim rambutan. Dari balik sebuah pohon rindang, chaca yang memakai kaos inter tiba-tiba muncul dan mengagetkan kami. Mukanya masih lusuh, belum ada tanda telah teroles sabun pencuci muka.

Jaket dan celana jeans-nya compang – camping seadanya. Bahkan bentuk Bajuri beneran yang baru selesai narik terus dimarahi oneng dan di-rese-in sama ucup, masih lebih menarik dilihat daripada chaca saat itu. Menurutku dia baru bangun. Maklum, pola hidup-nya (tidur dini hari) berkebalikan dengan manusia normal.

“lu baru bangun cha?”. Tanyaku mengawali.

“iya tun. Guwe capek banget”. Jawab chaca.

Dalam hati aku mikir, kok bisa ya pengangguran ngrasain capek. Padahal belajar enggak, punya cewek apalagi, trus capek ngapain?. Tidak tahu. Ah sudahlah.  Cukup berbasa-basinya.

Chaca yang uda sarapan langsung membantu kita pegang yalon, sebuah tongkat besi yang diatasnya dipasang prisma bulat sebagai pemantul sinar laser yang dipancarkan oleh TS. Saat itu aku yang dapat jatah pegang alat. Dan selama Chaca pegang yalon, fokusku terpecah.

Prinsip alat TS sederhana. Dari lensa pengamatan kita bisa melihat suatu obyek yang jaraknya cukup jauh dengan kenampakan yang cukup jelas. Hampir mirip dengan teropong bintang. Fungsinya adalah untuk memastikan sinar laser dari alat TS mengenai tepat di bagian tengah prisma yalon.

Jadi, saat aku hendak menepatkan sinar laser TS ke tengah prisa, wajah lusuh chaca selalu kelihatan dengan jelas, mau tertawa sungkan, mau ditahan juga penyakit. Cuma bisa senyam senyum aja. Hikmahnya, sejak saat itu aku makin menjadi orang yang bersyukur. Karena masih ada orang lain yang bernasib kurang beruntung.

Akhirnya kita sampai di tengah kampus FISIP, antara gedung dekanat dan gedung kuliah mahasiswa. Matahari uda hampir di atas kepala. Dan kami belum juga sarapan. Dengan senyum manis Yessi meminta tolong Chaca membelikan nasi untuk kami bertiga, Heranda masih kenyang.

Kuambil dompet warna biru gambar Chelsea di kantong celanaku. Kuambil beberapa uang. Pun dengan Yessi. Dzaki yang masih pegang alat minta tolong ke aku. “Tun, ambilin duit di dompet guwe.”. aku jawab, “dompet lu dimana?”. “ ada di dalem tas” kata dia. Aku tanya lagi, “tas lu dimana jek?”.

Dzaki yang sedari tadi sentring alat tiba-tiba berhenti. Dengan muka agak kesel menghampiriku dan bertanya, “tas guwe mana?”. “lhaah, nggak tau lah” jawabku. Yessi inget, “Tas kamu bukannya di tempat kita pertama kumpul tadi pagi itu ya?. Seingetku sih.”. Dzaki agak ngomel, mungkin karena kecapek-an, dengan suara lirih ia berkata “nggak dibawain?”.

ekspresi muka Dzaki
“Guwe ambilin jek, sementara pake duitku dulu, lu nembak­-pegang TS- aja.” Segera aku ngambilin tas Dzaki yang ketinggalan. Yessi dan Heranda ikut nglanjutin ngukur. Ekspresi Dzaki berubah agak kesel, ia merasa kurang diperhatiin sama kelompok. Suasana menjadi sunyi.

Setelah ambil tas Dzaki, motor ku parkir di parkiran belakang gedung dekanat FISIP. Disamping motor Heranda. Tas Dzaki aku taruh di bagian pijakan kaki, motorku metik, jadi ada tempat cukup buat naruh tas.  Menurutku sudah aman. Lantas aku menemui mereka.  

Aku lihat Chaca belum berangkat. “lu kok belum berangkat cha”.”gw mau pake motorlu aja tun, biar enak bawa-nya.” . Tanpa pikir panjang ku kasih kontak Yamaha ku ke dia. “lu cepetan ya, kita uda laper banget.”. Chaca mbales, “iya ganteng”.

Chaca nyari motorku di parkiran. Ia jumpai tas Dzaki ada disitu. Karena ingin bawa banyak barang bawaan, ia menyingkirkan tas Dzaki dan menggeletakkan di samping motor Heranda. Tas itu disandarkan di samping kiri motor Heranda.

Selesai beli semua-nya, Chaca balik dan markir motor tepat di tempat semula. Segera besi standar ia injak dan mesin motor ia matikan. Ia kunci stang motor dan mengambil seluruh barang bawaan. Satu hal yang ia lupa, tas Dzaki tak ia taruh kembali ke tempat semula, di pijakan kaki motorku.

Setelah makan, istirahat, dan sholat, kita nglanjutin ngukur sampai sore. Hingga temen-temen semua merasa kecapek-an. “uda selesai yuk tun” pinta Chaca. Dzaki yang mulai tenang, sambil senyum khas, ia menimpali, “lu dateng aja telat, pake ngajakin udahan segala.”.

Chaca sok bijak beralibi, “kita ini bukan robot jek. Adakalanya untuk istirahat ketika kita mencapai di suatu titik kepenatan.”. kita yang mendengarkan hanya bisa tertawa. Sedang terjadi percakapan antar sesama uncatalogued men.

Akhirnya ngukur kami cukupkan, karena waktu uda menginjak sore hari. Ketika berkemas, Dzaki bertanya, “lha tas guwe mana?”. Aku jawab, “ada di motor gw jek, tenang.”.”owhh, yauda”. Berlima kita berjalan ke tempat parkir.

Setibanya disana, aku dikejutkan dengan kosongnya pijakan kaki motorku. Mana tas si Dzaki?. “Cha, tadi lu liat tas item punyak e Dzaki di motor gw?”. Chaca, “Iya tadi ada, gw taruh disamping motor Heranda.”. Aku, “lha ini motor Heranda di samping motor gw, nggak ada apa-apa.” Situasi berubah panik.

Dzaki ngambek

Yessi coba menengahi, “lha tadi pas kamu balik abis beli makan masih nggak?”. Dengan ekspresi sedikit panik, takut dan nggak enak, chaca menjawab ”kagak tau gw”. Dzaki menggerutu dan duduk diatas sebuah batu. Heranda nanya, “tu isinya apa aja jek?”. “Kalkulator metrik sama catetan”.

Kalkulator metrik itu harganya hampir satu juta, Dzaki cukup merasa kehilangan. Apalagi ia membelinya dari hasil jerih payah selama satu bulan magang di BPN Jambi. Sedari awal ngukur ia banyak cerita pengalaman magang di BPN Jambi. Dari cara ia menyampaikan cerita, kita tahu betapa berharganya kalkulator tersebut.

Suasana agak tenang beberapa saat. Kemudian datang seorang satpam kampus. Chaca mendekat dan bertanya, “Pak, tadi liat tas item di samping motor megapro warna item itu nggak pak”. Satpam menggelengkan kepala, “lha tas-nya kok nggak dibawa?” tanya satpam. Kita hanya diam.

“Gimana jek?”tanya Chaca. “satpam nya aja nggak tau tas lu dimana.” imbuh Chaca. Dzaki masih terdiam dan pasang muka sedih nan kecewa. Dzaki berucap “Mau gimana lagi”. Tanpa ada kata lagi, Dzaki langsung cabut. Di susul kita berempat. Jadilah kami menutup survey hari itu dengan sebuah kehilangan.

Masih untung dompet nggak ikut hilang. Dompet ternyata nggak ada di tas. Keesokan hari-nya, kita memulai survey seperti biasa. Semua dateng agak tepat waktu, terakhir Dzaki yang susah dihubungi, uda agak lama dia belum dateng. Kita mulai cemas.

Kita takut kalau Dzaki ngambek. Ternyata kami salah. Dzaki berangkat walau agak telat. Muka-nya masih cemberut dan sedikit bicara. Segala macam pendekatan kita lakukan dan memuji-muji kepinteran Dzaki supaya merasa terhibur. Dia masih berduka karena insiden kemaren.

Sempat aku ngomong ke Chaca, “apa kita iuran buat ngganti ya Cha?”. Chaca ngomong, “nggak usa sih tun”. Chaca menambahkan, sebenernya kemarin salah si Dzaki juga, kenapa tas ia tinggal di tempat pertama kali kita kumpul. Padahal yang lain dibawa masing-masing.

Terus aku juga, kalau menolong cuman setengah doang. Kenapa tas Dzaki aku taruh di parkiran, bukan di satukan dengan tas yang lain. Kalau yang lain dibawa mengikuti arah pengukuran. Pasti lebih aman. Heranda nggak ngerti apa-apa. Yessi uda coba membantu. Sebenernya kalau disalahkan, siapa yang salah? Dzaki, Aku, Chaca, atau satpam?

Ini cuman kenangan ketika praktikum survey rekayasa satu. Sebuah kecerobohan yang berujung pada hilangnya sebuah kalkulator metrik. Sekarang, Dzaki uda jauh lebih tenang. Kenangan buruk itu malah mengingatkan ia tentang kami. Semoga mengingatkan ia tentang suatu kebaikan. Bukan sebaliknya. Maaf Dzaki Adzan.

Dzaki uda baikan












About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

2 comments:

Unknown said...

hahahaha kenangan banget ini ceritanya

Unknown said...

iye cha, guwe aja masih inget setiap jengkal momen yang kemaren, Fisip penuh kenangan cha, termasuk cewek inspirasi gw itu. haahaha

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.