Sahur on the road (SOTR), sebuah kegiatan sosial musiman
ketika bulan suci Ramadhan tiba. Dalam perkembangan-nya, SOTR menuai pro kontra
dari masyarakat. Ada yang mengatakan, SOTR sudah menjadi semacam lifestyle,
sampai ada yang mengatakan hanya sebuah pencitraan. Menurut saya, ada beberapa
hal yang mengiringi keberlangsungan SOTR selama ini.
Riya’
SOTR perlahan mendapatkan pandangan miring dari masyarakat
umum. “Berbagi makanan sahur bareng anak-anak #SahurOnTheRoad”. Salah satu
contoh status di media sosial yang dianggap Riya’ -menampakkan kebaikan/pamer/pencitraan- oleh
pengguna sosmed lainnya. Kemudian, sesi dokumentasi berupa foto maupun video
yang dirasa berlebihan juga menimbulkan persepsi negatif masyarakat.
Kurang Tepat Sasaran
Sasaran SOTR yang kebanyakan gelandangan, tukang becak,
pengemis, pengamen pedagang asongan dipinggir jalan dianggap kurang tepat
sasaran. Mengingat keberadaan mereka yang sebagian-nya tidak diinginkan oleh
dinas tata kota. Masyarakat bertanya, kenapa tidak disalurkan ke yayasan amal,
atau misalkan saja sahur bareng anak yatim di panti asuhan?.
Kurang Efisien
SOTR yang bersifat musiman, hanya satu bulan dalam satu
tahun. Ini mengakibatkan animo masyarakat dalam berbagai komunitas untuk
mengadakan SOTR. Kenyataan dilapangan, dalam satu hari terdapat beberapa
komunitas yang membagi nasi bungkus. Alhasil, tak jarang sasaran menolak diberi
makanan karena telah mendapat cukup banyak dari komunitas sebelumnya.
Setiap kegiatan pasti terdapat plus minus-nya. Menurut saya SOTR
berarti berbagi kasih dan rejeki. Namun, yang membuat tak efisien dan kesan negatif
adalah pelakunya. Bukan pada hakekat SOTR tersebut. Riya’ muncul karena pelaku
SOTR mengumbar status, foto maupun dokumentasi lainnya secara berlebih. Tidak proporsional.
Walau dokumentasi itu penting, terlebih buat komunitas yang
menggalang dana dari masyarakat umum. Maka itu hanya sebatas sebagai bukti
pertanggung jawaban bahwa SOTR telah berlangsung. Jenis foto yang diambil-pun
bertipe dokumentasi kegiatan, bukan narsis/selfie.
Kalau anggapan kurang tepat sasaran. Mungkin kurang tepat.
Karena gelandangan, pengemis dan “penduduk” jalan lainnya juga membutuhkan
bantuan dari kita. Mereka juga sama seperti kita, butuh makan, sandang dan
papan. Namun, saya rasa memang kurang efisien jika SOTR hanya membagikan nasi
bungkus saja.
Teringat akan cerita seorang relawan Berbagi Nasi Semarang. Ia
bercerita dengan seorang tunawisma. Dari nya ia memperoleh fakta, bahwa mereka
sebenernya tak terlalu mempermasalahkan urusan perut, karena mereka terbiasa
makan seadanya. Mereka berandai, jikalau komunitas sosial ingin berbagi dengan
mereka, mereka meminta bantuan dalam bentuk barang pakai seperti pakaian
ataupun sarung/selimut. Itu lebih baik daripada nasi yang jika disimpan akan
cepat basi, terlebih nasi bungkus yang didalamnya ada lauk sayur kuah.
Jadi, bukan SOTR yang salah. Namun perilaku pelaksana SOTR
itulah yang menyebabkan SOTR dianggap sebelah mata orang masyarakat awam. Padahal
niatnya berbagi. Niat yang sangat mulia. Namun, jangan-lah ketakutan terhadap
adanya kemungkinan sikap Riya’ tersebut menghalangi kita untuk berbuat baik
(SOTR). Lakukan saja asal itu kebaikan, jangan berfikir panjang, nanti malah
nggak jadi berbuat baik. Siapa yang rugi?.
“Ketika kita hendak
berbuat baik, pasti ada seratus kemungkinan buruk yang menyertainya. Tetapi,
konsentrasi-lah pada satu niatan baik tersebut. Maka, engkau akan mendapatkan
kebaikan. Tatkala hendak berbuat buruk, pasti ada seratus kemungkinan buruk yang
menyertainya. Maka berkonsentrasilah pada seratus kemungkinan buruk tersebut. Maka
engkau tidak akan mendapat keburukan.”