Cartoon Content : War of Ideology
-Child and Mass Media-
(written by : Wahyu Nur Rohim)
Anak merupakan calon penerus bangsa,
maka, perlu di bentuk karakter dan akhlak mulia pada tiap diri anak Indonesia,
agar kita menjadi bangsa yang besar suatu saat. Dewasa ini banyak orang tua
yang sibuk dengan pekerjaannya, tak jarang, anak lebih sering bertemu televisi
dibanding orang tuanya. Dalam perkembangannya anak membutuhkan sosok orang tua,
selain untuk teman bermain, anak juga butuh sosok panutan dalam mengekspreikan
dirinya.
Media, apa yang disuguhkan tidak
semua berdampak positif bagi anak, banyak dampak negatif yang mengiringi. Di
usia muda, mereka belum mampu membedakan mana yang boleh di tonton dan mana
yang tidak. Tanpa pengawasan orang tua, tentu mereka akan menerima arus
informasi televisi secara membabi buta.
Sebagaimana usia anak – anak,
tayangan favorit tentu saja film kartun. Karena di dalamnya terdapat hiburan
dan mampu membimbing anak untuk berimajinasi. Imajinasi yang kuat akan
menghasilkan daya kreatifitas yang tinggi. Tetapi, bagaimana jika imajinasi
tersebut berlebihan?
Film kartun memang membantu
perkembangan imajinasi anak. Tetapi akan berlebihan dan berbahaya jika konten
film berisi imajinasi yang bersifat irasional. Secara keseluruhan, tontonan
diluar konteks rasionalitas manusia sangat tidak dianjurkan untuk dikonsumsi
oleh anak – anak, karena mereka cenderung akan berfikir irasional pula.
Kartun merupakan sarana bagus jika
dalam pemvisualisasiannya sesuai dengan realita. Misalkan domba yang berjalan
dengan empat kaki dan memakan rumput, bukan domba yang berjalan dengan dua kaki
dan memakan kue coklat. Sehingga, sebelum anak bertemu langsung dengan domba
dia sudah tahu kalau domba merupakan hewan yang berjalan dengan empat kaki dan
memakan rerumputan.
Berikut ulasan serial kartun beserta unsur
– unsur negatif yang terkandung didalamnya.
Doraemon
“Doraemon and GOD, Who Better?”
Siapa
yang tidak tahu Doraemon, kucing ajaib sahabat Nobita yang bisa mengabulkan
apapun yang diinginkannya. Kucing berjalan tegap asal jepang tersebut dapat menyediakan
apapun di dalam kantong ajaib. Jadi, Doraemon memainkan peran luar biasa karena
menyelesaikan permasalahan dengan kekuatan ajaib. Mudahnya, kalau meminta
sesuatu ke Doraemon saja bisa, kenapa harus meminta kepada Tuhan?
Masa
kanak – kanak adalah masa emas dimana social
and observation learning berlangsung. Anak akan mudah meniru dan
mengimitasi apa yang ia lihat di depan televisi, termasuk Nobita. Tokoh utama
berwatak malas yang tidak menaati perintah ibunya dan hanya mau menyelesaikan
permasalahannya secara instan melalui Doraemon dan kantong ajaibnya.
Kita harus tahu, ideologi atheis
–tidak bertuhan– secara sangat halus telah disisipkan. Tujuan utama tidaklah
menjadikan Doraemon sebagai tuhan, tetapi, untuk melemahkan kebutuhan anak
terhadap Tuhan. Anak akan mudah mempercayai hal yang bersifat mitos dan susah untuk
menerima realita dan kebenaran firman Tuhan. Jadi tidak untuk mengganti siapa
tuhannya, tetapi melemahkan kedudukan Tuhan yang sebenarnya di mata anak –
anak.
Tentu hal seperti ini mengingatkan
kita terhadap suatu permainan antara guru dan murid SD saat zaman PKI masih
eksis di tahun 60an. Dimana murid usia dini diajarkan faham komunis yang
atheis, alias tak mengakui adanya Tuhan.
Guru berkata “anak-anak, coba tutup mata
kalian. Terus kalian berdo’a kepada Tuhan.”.”Ya Tuhan ku, beri aku permen” Lalu
murid melakukan apa yang diperintah oleh guru. Lalu guru mengatakan kembali
“sekarang buka mata kalian”.
Kemudian mereka membuka mata dan
melihat tangan mereka, ternyata kosong. Kemudian guru berujar “Sekarang kalian
lakukan hal yang sama, tetapi jangan meminta ke Tuhan, memintalah kepada ibu
guru”. Kemudian murid memejamkan mata dan berdoa’a.
“Aku pengen permen ibu guru”. Saat
mata mereka masih terpejam, diam - diam guru menaruh permen di tangan mereka.
Dan saat boleh membuka mata, mereka menemukan permen ditangan mereka.
Kemudian guru berkata, “ketika kalian
meminta kepada Tuhan, tuhan ngasih permen nggak?” serentak anak – anak berkata
“tidak”. Guru kembali berujar “ketika kalian minta ke ibu guru, kalian dapat
permen nggak?”. Serentak mereka menjawab “iya”. Guru menjelaskan “jadi, Tuhan
tidak ada di antara kita, tetapi, manusialah yang memenuhi kebutuhannya
sendiri”.
Sekecil apapun itu, akan sangat
berpengaruh kepada perkembangan psikologi anak. Hal tersebut tidak akan di
sadari betul oleh anak itu sendiri. Jadi, kewajiban orang tua lah yang harus
mengawasi dan membimbing segala hal yang di terima oleh anak. Serta memberikan
penjelasan mengenai sesuatu hal yang ia lihat di televisi.
One Piece
“One Piece or One Porn?”
One piece merupakan serial kartun yang mengisahkan Monkey
D. Luffy yang bercita – cita ingin menguasai sebuah harta karun legendaris.
Dalam perjalannya, Luffy dibantu oleh beberapa kawan perompaknya, salah satunya
Nami, sosok wanita cantik, tinggi dan berbadan ideal laiknya Angelina Jolie.
Celakanya, busana yang melekat ditubuhnya hanya rok pendek dan sebuah tanktop
tipis, tak ubahnya orang berbikini.
Konten dewasa yang ditonton oleh anak
– anak akan dipahami bahwa hal tersebut –berbikini– sebagai suatu hal yang wajar,
bukan suatu hal tabu. Sekalipun ia hidup di lingkungan berbudaya adat
ketimuran, yang menjunjung tinggi nilai – nilai norma kesopanan. Seperti halnya
pakaian you can see tahun 80an, mereka masuk ke budaya kita dan kita maklumi.
Apakah sekarang kita mau memaklumi bikini?
Ketika etika berpakaian tersebut kita
maklumi, efek domino yang akan ditimbulkan juga akan sangat besar. Perilaku sex
bebas, minuman keras dan narkoba menunggu untuk di maklumi. Tanpa di sadari,
sifat sosial kita juga mulai bergeser, dari kolektifitas menuju individualitas.
Kembali ke pokok masalah, konten
dewasa yang bukan konsumsi seharusnya di jauhkan dari anak – anak. Apalagi hal
tersebut belangsung secara terus menerus, anak akan cenderung berfikir bahwa
bikini adalah bagian dari kita. Begitu lah budaya kita sepemahaman mereka. Itu
terjadi karena begitu intensif dan kontinu mereka lihat di layar kaca.
Masa emas perkembangan memori otak
adalah masa kanak – kanak, terlebih terhadap visualisasi gambar, mereka
cenderung cepat mengingat dan bertahan lama di dalam memori otak. Jika bikini
tiap hari mereka saksikan, maka memori asusila akan terus melekat dan berdampak
pada psikologi anak yang cenderung asusila.
Kasus pemerkosaan maupun prostitusi
di bawah umur merupakan bentuk ekspresi diri secara nyata dari anak – anak yang
telah teracuni konten pornografi. Fenomena sex bebas yang terjadi saat ini juga
bermula dari pola fikir anak yang telah teracuni penyakit psikologi ini. Tentu
kita semua tidak ingin memiliki generasi yang tidak lagi menjunjung tinggi
nilai moral.
Crayon Shin Chan
“Bad Punishment”
Crayon Shin Chan merupakan salah satu
dari sekian banyak serial kartun jepang yang menemani anak Indonesia, terutama
di hari minggu dan hari libur. Karakter shincan di gambarkan sebagai seorang
anak kecil yang nakal dan berfikir lebih dewasa dari usianya. Ia berkarakter
lucu, tetapi ia suka menggoda wanita.
Adegan – adegan kekerasan juga sering
ditampilkan, contoh saat ibu menjitak kepala Shin Chan sampai benjol. Itu
dilakukan setelah Shin Chan melakukan tindakan nakal. Adegan tersebut memang di
gambarkan dengan lucu, sehingga mengundang gelak tawa. Sadar atau tidak, anak –
anak telah dibimbing untuk menertawakan suatu tindakan kekerasan.
Apa yang anak lihat dalam kurun waktu
yang lama dan secara kontinu, maka akan menjadi suatu pembiasaan dan
pembenaran, walaupun perilaku tersebut salah. Jadi, perkelahian yang di pertontonkan akan membuat
anak cenderung berfikir untuk mewajarkan perkelahian itu sendiri. Efek yang
lebih berbahaya ialah ketika anak kita cenderung menikmati dan membiarkan suatu
tindakan kekerasan yang terjadi di depan matanya.
Ideologi kekerasan dan penertawaan terhadap
suatu tindakan kekerasan merupakan salah satu efek buruk serial film kartun
ini. Walau efek yang dirasakan tak secepat ketika menonton Smackdown, tapi
ideologi ini akan melekat di dalam memori alam bawah sadar anak. Sebuah modal
dalam pergerakan awal menuju pewajaran dan penikmatan tindakan kekerasan.
Kalau kita bijak, seharusnya menghukum
anak tidak dengan pendekatan kekerasan. Tetapi nasihati dan berikanlah contoh
perilaku taat hukum kepada anak, termasuk ajakan untuk menjauhi tindakan
kekerasan. Karena kekerasan akan menimbulkan kekerasan lanjutan.
Yang perlu diketahui bahwa serial
kartun Shin Chan ini telah dilarang di tonton oleh anak – anak di jepang.
Karena kartun ini memang ditujukan untuk orang dewasa. Anehnya, di Indonesia
film kartun ini malah ditayangkan, lebih parah lagi ditayangkan di waktu ideal.
Baik hari minggu, maupun hari libur sekolah.
Naruto
“Myth,
Morality, and Battle”
Kejadian unik saya alami saat saya
beibadah, dari dalam masjid terdengar suara anak kecil sedikit berteriak,
“Rasengaaaannnnn!!!”. Lalu terdengar, “bruuk (pelan)”. Dua anak kecil sedang
menirukan pertempuran Naruto yang memiliki jurus Rasengan melawan Sasuke
Uchida. Itulah anak kecil. Meniru apa yang ia lihat, walau itu hal irasional.
Setelah ulasan ketiga film kartun
diatas (Doraemon, One Piece dan Shin Chan), terakhir coba kita melihat Naruto.
Film anak yang mengandung unsur mitos, bahaya moral, serta kekerasan.
Pertama, film ini mengajak anak – anak
untuk berimajinasi secara bebas. Bagaimana ditampilkan jurus – jurus
supranatural serta kekuatan abadi pada serigala ekor Sembilan milik Naruto. Tak
ubahnya penanaman faham takut terhadap pocong, kuntilanak, dan makhluk abstrak
lainnya. Keduanya tidak bagus untuk perkembangan karakter dan ideology anak.
Kedua, bahaya moral. Di sini
ditampilkan beberapa trik jahat yang dilakukan oleh musuh untuk merebut konoha,
kota yang dihuni oleh ninja – ninja sakti. Busana masing – masing tokoh juga
perlu diperhatikan, terutama tokoh wanitanya. Seperti Sakura Haruno, Tsunade,
Ino Yamanaka, dan lainnya. Seperti yang diutarakan dalam bahasan serial one
piece, perlu diperhatikan bagaimana mereka berbusana.
Ketiga, kekerasan. Ini yang terlihat
paling menonjol, bagaimana pertarungan dipertontonkan di setiap episodenya.
Pertarungan bertambah seru ketika jurus – jurus dengan kekuatan ajaib di
visualisasikan dengan sangat baik sehingga menarik ditonton.
Paling parah ialah ketika pertarungan
tersebut melibatkan senjata tajam, seperti saat pertarungan antara Hokage dan Orochimaru.
Akhir pertempuran terlihat pedang menusuk bagian perut Hokage yang membuat ia
meninggal. Dan fatalnya, adegan tersebut tidak di sensor sedikit pun, seutuhnya
di telan oleh anak – anak.
Peran
serta orang tua
Lakukan pendampingan ketika anak
sedang menonton tayangan di televisi. Berilah pemahaman tentang apa yang ia
tonton. Pilih waktu dan tayangan yang sesuai dengan masanya. Masa anak – anak
adalah masa di mana ia mencari sesosok tokoh idola, maka, berilah contoh
perilaku yang baik kepada anak, agar figur orang tua lah yang menjadi idolanya.
Perbanyak waktu bersama dengan anak,
gunakan waktu emas tersebut untuk mengajarkan nilai – nilai moral, agama dan
nasionalisme secara langsung dan nyata, buat anak merasa nyaman dengan
lingkungannya, sehingga mengurangi ketergantungan anak terhadap hiburan depan
layar.
Peran serta pemerintah
Pemerintah yang memiliki wewenang
mengatur rakyatnya harus bersikap lebih tegas lagi. Melalui komisi penyiaran
Indonesia atau KPI, pemerintah harus tegas menindak media yang menampilkan
serial kartun berbahaya. Bagaimana film Shin Chan yang berlabel dewasa di
jepang, di Indonesia malah bebas di tayangkan.
Belajar lah dari Negara asal – usul
media, Amerika Serikat. Mereka membentuk sebuah komisi yang bertugas untuk
mengawasi media dan acara yang disiarkan. Komisi tersebut bernama National
Comission on the Causes and Prevention of Violence yang diiringi dengan
Scientific Advisory Committee on Television and Social Behavior. Jika
investigasi menemukan sebuah acara di media sosial beresiko mencederai nilai –
nilai moral, maka ia merekomendasikan kepada Bupati maupun Gubernur untuk di
tindak lanjuti.
Good Cartoon
“Upin dan Ipin”
Salah satu serial kartun yang
direkomendasikan ialah Upin & Ipin. Kartun simpel yang mengisahkan dua anak
kembar beserta keluarga dan teman – temannya. Tokoh dan alur cerita pun di
kemas ringan namun berbobot, karena memberikan informasi pendidikan yang begitu
kuat dan merupakan representasi masyarakat melayu.
Terlebih, penggambaran dan alur
cerita yang disuguhkan memang sebuah realita. Sebagaimana anak kecil yang
bermain, diajarkan beribadah, sopan santun, nilai adat ketimuran. Jauh dari
kesan imajinatif irasional macam kekuatan supranatural yang membahayakan iman
dan melanggengkan mitos di benak anak.
Kehadiran tokoh Opah, nenek Upin dan
Ipin yang selalu memberikan nasihat dan meluruskan suatu hal yang tidak sesuai
dengan nilai masyarakat melayu. Bagi orang tua, mereka juga mendapatkan manfaat
tersendiri, setidaknya mereka tahu bagaimana cara mendidik dan menasehati
seusia anak – anak.
Si Unyil
“Kartun merah putih”
Saat ini tentu kita sangat merindukan
sosok kartun yang merepresentasikan budaya dan moral masyarakat Indonesia.
Kartun yang menceritakan keraton, ondel – ondel dan senyum Indonesia.
Berbusanakan kebaya, bercorakkan batik dan berirama gamelan. Untuk menanamkan
nilai kecintaan anak terhadap bangsa dan budaya luhurnya.
Kita membutuhkan kartun semacam Si
Unyil yang mampu merepresentasikan Indonesia seutuhnya. Bangsa yang
terlambangkan burung garuda, yang seluas sabang sampai merauke, yang berkulit
hitam, putih, sampai berambut lurus dan kriting. Bangsa yang kaya darat dan
lautnya, bangsa yang memiliki harapan untuk besar dan berkuasa di masa mendatang.
Bukan hanya harapan penulis, tetapi harapan setiap manusia yang darah dan
tulangnya berwarna merah dan putih.
0 comments:
Post a Comment