***
Semilir angin
berhembus sejuk. Menyelinap dalam sunyi senyap kota Fallujah. Hingga terdengar
suara yang begitu nyaring. Menghentak telinga siapa yang mendengar.
“Dooorrr
dorrrr dorrrr” suara AK-47 mengaung ke seantero kota.
Mata Kamal
terperanjat mendengar suara keras tersebut. Ia mulai terbangun dari tidur. Cekatan
ia beranjak dari alas tidur. “Mama,” kata pertama yang terlontar dari mulut kecil
kamal. Saking takutnya, ia terus memanggil-manggil nama sang malaikat mulia itu.
Siang itu situasi
kota sedang kacau. Baku tembak terjadi dimana-mana. Bahkan dinding ruko tempat
ia berlindung pun kini sudah berlubang-lubang sebesar ukuran peluru. Saking
banyaknya, hingga nampak bak sebuah etalase.
Sejenak
suara itu tak lagi terdengar. Dalam benaknya, sepertinya kota sudah mulai aman.
Kamal memilih bersender dibalik tembok dan meluruskan kaki kanannya. Ternyata
ia salah. Tak lama kemudian, lagi-lagi telinga kecilnya mendengar suara
selongsong peluru berhamburan jatuh ketanah.
Suara itu
terdengar lagi. Bahkan terdengar lebih keras. Sangat jelas terdengar dari
ruko pasar Al Amin.
“dooorrrrr,
dooorrrr, dooorrrr”. Kamal semakin ketakutan.
Suara kali
ini disertai oleh jeritan seorang wanita tua setengah baya. Sepertinya kamal
mengenal suara itu. Ingin sekali ia mendatangi arah suara tersebut. Tapi ia
masih ragu untuk keluar dari tempat perlindungan.
“Hasbiyallahu…
Hasbiyallahu… Hasbiyallahu”
Kamal terus
mengucapkannya dengan penuh kekhusyukan.
Ia mencoba
meyakinkan dirinya sendiri. Bahwa tidak ada suatu apapun yang mampu menolong
dirinya, kecuali Dia, yang selalu ia rindu sehari lima waktu.
Perlahan
kalimat – kalimat tersebut mampu menguatkan jiwa Kamal. Rasa penasaran mampu
mengalihkannya dari perasaan takut. Dengan penuh ketenangan, ia raih kusen tepi
jendela dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya memegang sebuah kursi
untuk membantunya berdiri.
Kamal
berhasil berdiri walau cukup tertatih. Ia tak berdiri tegap, karena ia tak mampu.
Selamanya ia tak akan mampu berdiri tegap seperti satu bulan yang lalu. Saat beberapa
peluru nyasar tentara Amerika belum menembus tulang paha kirinya.
Dibalik kaca
jendela, ia hanya menampakkan sedikit bagian kepala dan seksama memperhatikan
keadaan sekitar. Ia menerka darimana suara tadi berasal. Apa benar itu suara
Ummi. Jika iya, ingin rasa menjumpainya, gumam Kamal dalam hati.
Saat arah
pandangan berada di sudut sebelah kanan. Terlihat seorang wanita berpakaian longgar
dan memakai kerudung serba hitam menutup seluruh bagian tubuhnya. Hanya menampakkan
wajah dan telapak tangan. Pakaian khas masyarakat sunni Irak.
Wanita berbadan
gemuk itu meronta. Sebisa mungkin menangkis setiap pukulan yang ia terima.
Pukulan dari seorang pengecut. Kenapa tidak berkelahi dengan sesama lelaki? Atau
di atas ring? Kenapa harus dengan wanita setengah baya. Sebuah pertanyaan dalam
hati.
Kamal
mencoba memfokuskan mata. Sedikit susah. Jarak pandang yang terlampau jauh juga
terbatasi oleh efek fatamorgana iklim gurun. Kamal sedikit mengernyitkan dahi.
Setumpuk debu bergerak tak beraturan bak sebuah badai gurun. Dari arah yang
sama nampak beberapa rentetan kendaraan perang dengan formasi yang sangat rapi.
Konvoi
tersebut melewati tentara dan wanita setengah baya tersebut. Tentara sebentar
menghentikan pukulan. Bergegas bersiap badan dan mengayuhkan telapak tangan ke atas
pelipis mata sebelah kanan. Sebuah tanda hormat. Sedang ia membiarkan wanita
tersebut menahan rasa sakit. Sebelum ini, jarang ia memperoleh pukulan. Bahkan dari
suami sekalipun.
Tentara Amerika
masih terjaga posisi hormat. Sekalipun kendaraan terakhir sudah terlewat.
Sekarang mereka menuju ke arah Kamal. Mengetahui hal itu. Kembali ia merebahkan
badan disamping tembok yang penuh lubang. Ia hanya berani mengintip dari salah
satu lubang sebesar selongsong peluru.
Dengan jelas
ia mampu melihat dan mengejanya, “U.S. ARMY”. Mereka adalah tentara “perdamaian”
yang dikirim oleh pemerintah Amerika Serikat semasa presiden Bush jr. Mereka
datang ke Irak dengan mengatasnamakan perdamaian dan isu terorisme. Konspirasi
yang belum mampu dipahami oleh seorang bocah seusia Kamal.
Perlahan ia
mulai mengatur nafas. Bermunajat untuk menghilangkan semua ketakutan.Setelah
semuanya terkontrol, ia kembali melihat wanita setengah baya dan tentara
tersebut dari tempat yang sama. Terrnyata tentara sudah memegang kuat-kuat tangan
wanita tersebut. Ia memaksanya berjalan menuju suatu tempat dekat tempat Kamal
sekarang.
Wajah wanita
setengah baya tersebut perlahan mulai tergambar. Ia bukan Ummi. Ia ibu Sarah.
Tetangga jauh dari keluarga Abdul, ayah Kamal. Sementara wajah Ummi Hafsa masih
terimajinasi dengan indah. Kamal begitu rindu Ummi. Satu minggu sudah mereka
saling berpisah.
Dengan
hati-hati Kamal mengamati apa yang hendak diperbuat oleh tentara tersebut.
Setelah sampai di depan sebuah ruko. 10 meter dari tempat Kamal. Ia menodongkan
moncong senjata tepat di tengah dahi wanita tersebut. Intonasinya semakin keras
sejalan dengan diamnya mulut ibu Sarah.
Dari apa
yang Kamal dengar. Tentara tersebut rupanya mencari suami ibu Sarah, yaitu bapak
Hamid. Ia salah satu tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh di Fallujah.
Menurut tentara tersebut, bapak Hamid telah mengupayakan serangan bom ke
kantong pertahanan tentara Amerika.
Padahal, tak
ada pedang yang keluar melainkan telah ada pedang milik lawan yang dikeluarkan terlebih
dahulu. Serangan dari kelompok bapak Hamid tak akan terjadi jika tentara
Amerika tak menginjakkan kakinya di
negeri ladang minyak tersebut. Itu hanya wujud penolakan atas kepongahan negara
adidaya.