(Masih) Tentang pengalaman hidup saya yang harus bertemu dan
menghadapi tantangan dengan kepala tegak. Tantangan itu bernama Geofis. Pesan
yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita seharusnya mengutamakan
kewajiban dan keharusan kita untuk tegas mengambil setiap keputusan. Dan kita
tahu. Setiap keputusan pasti ada resiko. Begini ceritanya.
Semester satu sampai enam saya lalui seperti kebanyakan
mahasiswa. Dimulai di Kost, mandi, terus ngampus, ndengerin dosen di dalem
kelas, dateng rapat, ngerjain tugas dan tentunya, main PES. Hehe. Di semester 7
lebih terasa cukup berat bagi saya, walaupun saat itu saya hanya mengambil 2/3
dari total paket sks. Karena 1/3 nya telah saya ambil di semester awal. Tetapi,
di semester akhir tersebut saya malah mengikuti empat organisasi sekaligus.
Pers Teknik, Mapala Geodesi, Rohis dan BEM universitas. Disinilah titik
permasalahan yang saya alami.
Sedikit saya ceritakan. Saat semester 7 tersebut saya
ditunjuk menjadi salah satu hakim sidang di KPSP atau Komisi Penyelesai
Sengketa Pemira (semacam MK) dalam proses PEMIRA Undip tahun 2013. PEMIRA
singkatan dari pemilu raya, pesta politik pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Badan Eksekutif Mahasiswa.
Siang hari di kantor polisi –sekretariat panitia PEMIRA–
samping POM bensin Undip. Disaat proses sidang gugatan sedang berjalan, saya
mendapat kabar dari seorang teman, kalau ada kelas tambahan matakuliah Geodesi
Fisis (Geofis) untuk mengganti kekosongan pertemuan sebelumnya. Kondisi saat
itu, saya telah absen 4 kali. Jadi, kalau saja saya absen lagi, sudah
dipastikan nilai saya tidak keluar. Terus gimana? Saya juga bingung saat itu.
Antara meninggalkan sidang atau titip absen –kebiasaan buruk yang secara
perlahan saya coba tinggalkan–.
Kenapa saya berat untuk meninggalkan sidang?. Dalam
peraturan sidang, harus dihadiri oleh beberapa hakim yang telah ditentukan. Dan
jika saya tinggalkan, sidang akan cacat, karena keberadaan hakim tidak memenuhi
ketentuan. Mau tidak mau saya harus disana. Disitulah saya sedikit mengerti
kenapa DPR “berkeringat” saat membuat undang-undang. Setiap detil ketentuan UU
harus ditulis dengan jelas. Bahkan disertai penjelasan per-pasal agar tidak
menimbulkan multitafsir.
Dilain sisi. Kuliah adalah kewajiban saya. Dan memenuhi
minimal 75% kehadiran kuliah adalah sebuah kewajiban. Celakanya, 4 kali sudah
saya tak memenuhi kehadiran kelas. Sekali lagi tak hadir, saya sudah tak
memenuhi syarat untuk mengikuti ujian akhir semester. Duh Gusti.
Sementara sidang istirahat. Saya mencoba sedikit
bernegosiasi dengan hakim sidang lainnya. Pelan-pelan saya membujuk mereka
untuk mengizinkan saya meninggalkan sidang. Dan sesuai dengan tebakan saya.
Mereka menolak, terlebih hakim ketua, ia sedikit ngotot meminta saya untuk tetap
di tempat. Saya rasa tak bisa ikut kelas Geofis (lagi).
Perasaan saya tak tenang. Fikir saya saat itu, kewajiban
kuliah lebih besar daripada organisasi. Walau kontribusi di Pemira adalah
kewajiban, sesuai amanah, namun ada kewajiban lebih besar yang harus saya
dahulukan, yaitu belajar. Jadi saya putuskan lebih ngotot lagi untuk meminta
izin meninggalkan sidang. Setelah perdebatan cukup lama, saya diizinkan keluar
sidang. Alhamdulillah. Sidang berlanjut walau sesuai ketentuan “cacat” karena
kuota hakim tak memenuhi. Namun, saya memakluminya, karena ini adalah dunia
kampus, tempat kita belajar, kalau ada salah dan cacat ya wajar-wajar saja.
Namanya juga belajar.
Setelah sampai kampus. Ternyata kelas sudah masuk cukup
lama. Hampir 45 menit. Duh, galau lagi. Kalau masuk ada dua kemungkinan,
pertama, disuruh keluar, kedua, boleh masuk tapi di”interogasi” terlebih
dahulu, karena terlalu lama terlambat. Kenapa saya telat lama sekali?. Pertama,
temen saya memberi tahu ketika dosen sudah masuk. Kedua, lumayan lama membujuk
hakim untuk memberi izin. Ketiga, saat itu turun hujan, saya menunggu sedikit
reda sebelum memutuskan “nekat” ngampus tanpa jas hujan.
Lima menit saya berfikir di luar kelas. Masuk atau enggak.
Entah apa yang saya pikirkan saat itu. Saya memilih keputusan. Saya titip absen
dan pulang. Dua hal saya dapatkan. Pertama, saya titip absen –bohong–. Kedua,
saya meninggalkan sidang –berbohong lagi, karena ternyata nggak jadi masuk
kelas–. Kedua kewajiban dan amanah saya tinggalkan. Hanya dapat basah kuyup dan
capek. Bodoh kan?.
Kebodohan itulah yang membawa saya ketitik terendah. Diakhir
cerita (baca cerita saya tentang geofis 1 2 3) saya mendapatkan nilai D. Untuk
pertama kali dan itu terjadi di semester ketujuh. Perlu dicatat, Teknik Geodesi
tidak mengenal sistim SP atau semester pendek. Dan satu lagi, pengumuman nilai
keluar di akhir bulan februari, dua minggu sebelumnya saya sudah mengantongi
judul skripsi.
Mungkin sebagian dari kita tidak menyadari, bahwa setiap
keputusan kecil yang kita buat saat ini adalah investasi untuk sebuah hasil
menakjubkan di kemudian hari. Mungkin pilihan saya untuk tak jadi masuk kelas
saat itu adalah keputusan kecil. Pilihan saya untuk titip absen dan
meninggalkan sidang adalah hal mudah yang saya lakukan saat itu. Namun, dampak
besar terjadi dalam diri saya.
Akhirnya, saya merasakan nilai D. Dan target wisuda
pertengahan tahun 2014 tertunda. Kondisi saya sekarang, semester 8 hanya
mengambil sks Tugas Akhir dan di semester 9 hanya mengambil Tugas Akhir (lagi)
dan Geodesi Fisis. Terimakasih atas pembelajarannya.
Setiap kesalahan tak selalu berujung dengan kesalahan
selanjutnya. Yang terpenting, bagaimana kita mengubah dampak dari kesalahan
tersebut menjadi suatu kebaikan yang tak kita duga sebelumnya. Tetap semangat.
Tuhan bersama mereka yang mau memperbaiki kesalahan.
0 comments:
Post a Comment