Beda Ahmadiyah beda pula Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama dan sebagainya, pun perlakuannya juga harus berbeda.
Muhammadiyah identik dengan moderat yang memiliki tokoh Din Syamsudin, Nahdatul
Ulama identik dengan tradisional yang memiliki tokoh sekelas Alm. Gus Dur,
sedang Ahmadiyah identik dengan Mirza Ghulam Ahmad.
Dalam Islam mengenal istilah aqidah, dan salah
satu isinya ialah syahadat, Ashadualla illahaillalloh Wa’ashaduanna
Muhammadurrasulalloh, aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan aku
bersaksi, bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Hal tersebut tak bisa ditoleransi
penafsirannya. Semua umat Islam tidak ada perselisihan tentangnya.
Kalimat Tauhid-lah yang menjadi
persamaan antara Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan sebagainya. Itulah islam,
walau dalam pelaksanaan dan penafsiran Alqur’an dan Hadist berbeda, tak menjadi
masalah, selama tidak menyalahi Aqidah. Dalam Islam, perbedaan tersebut biasa
disebut Khilafiyah.
Apa yang terjadi jika ada sekelompok jama’ah yang
mengatasnamakan Islam, beribadah laiknya kebanyakan orang Islam, Sholat di
masjid, membaca Alqur’an, merayakan hari Idul Fitri, ber Zakat, akan tetapi
mengucapkan syahadat Ashadualla illahaillalloh Wa’ashaduanna Mirza Ghulam
Ahmadrasulalloh?
Astaghfirullah, sebagai orang Islam saya
pribadi merasa dilecehkan, syariat itu suatu hal yang tidak bisa ditoleransi
dalam pemahaman. Ibarat orang katolik yang tidak mengakui Jesus sebagai salah
satu manisfestasi Tuhan dalam konsep Trinitas, ibarat orang Protestan yang
mengagungkan Martin Luther sebagai perantara do’a, ibarat masyarakat Hindu yang
mengkultuskan Ngurah Rai sebagai pengganti Dewa Wisnu –pemelihara dan
pelindung– dalam konsep Trimurti yang meng-Esa-kan Brahman.
Dalam perspektif Islam, seseorang yang
mengaku bahwa dia adalah seorang Rasul dan menyebarkan agama seluas – luasnya
termasuk orang murtad. Padahal sudah jelas, Muhammad adalah nabi terakhir.
Bahkan derajat mereka lebih rendah dari pada golongan kafir dzimmi. Di
Indonesia eksistensi jama’ah Ahmadiyah masih terjaga, fatwa MUI –yang mulai
kehilangan kepercayaan masyarakat– hanya sebatas gertak sambal mengatasi
masalah aliran sesat.
Menilik sejarah masa lalu, ketika Musailamah al-Kazzab dan Sajjah Binti
al-Harits mengaku sebagai nabi, ia memberikan cuti sholat Ashar kepada
jama’ahnya. Apa yang dilakukan Abu Bakar saat menjadi khalifah? Ia memberikan
pemahaman dan mengajak mereka kembali ke jalan yang lurus. Karena ditolak,
pecahlah perang Yarmuk –perang memerangi pe-Murtad-an– yang menewaskan
Musailamah. Sedang Sajjah di akhir hayatnya kembali ke jalan Islam yang lurus.
Awal abad ke 12 masehi,
terjadi perang salib Albigensian di selatan perancis. Tepat pada tahun 1209, di
kota Bezire lebih dari 15.000 orang yang terdiri dari lelaki, perempuan, dan
anak – anak kecil terbunuh oleh tentara vatikan yang berjumlah 30.000 tentara.
Pelaku perang tersebut ialah Kristen Formal –Vatikan– melawan Kristiani Gnostis
yang cenderung liberal. Vatikan menganggap Kristiani Gnostis sebagai aliran
sesat –heresy atau bid’ah– karena tidak mau tunduk kepada gereja Vatikan.
Mereka percaya bahwa cara untuk mendekatkan diri dengan Yesus seharusnya
sederhana dan tanpa perantara, bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Gereja
Vatikan.
Terbaru, masyarakat
dunia yang beragama kristiani dihebohkan dengan keberadaan novel fiktif
karangan Dan Brown yang berjudul Davinci Code. Meskipun fiktif, akan tetapi
masyarakat kristiani merasa terganggu karena isi novel tersebut mengobrak -
abrik keyakinan pokok karena mempertanyakan ketuhanan Yesus dalam konsep
Trinitas. Jika itu hanya sebuah novel, bagaimana jika ia berwujud riil dalam
dunia nyata?
Saya rasa semua agama memiliki persamaan
benang merah kisah sejarah masa lampau dalam memandang suatu pelecehan agama,
pandangan mereka terhadap golongan sesat pun sama, kembali ke jalan yang lurus
atau perang, tanpa ada toleransi. Jadi, apakah salah jika mereka yang
melecehkan agama kita perangi? Saya rasa tidak. Wallahua’lam.
Memandang kondisi golongan Ahmadiyah di
Indonesia, yang masyarakatnya majemuk baik itu agamanya, dengan hukum warisan
kolonial barat dan pembuatan perundangan yang memandang produk hukum amerika,
rasanya tidak mudah untuk memerangi-nya walaupun perbedaan yang terjadi sudah
saya analogikan diatas. Tetapi kebanyakan masyarakat apalagi yang berbeda agama
kurang mampu memahaminya.
Solusi paling masuk akal dibanding melakukan
penyerangan –yang malah merusak citra Islam– ialah melakukan diplomasi. Mereka
lebih memilih kembali ke jalan lurus, yang sesuai syariat Islam atau mendirikan
agama sendiri dengan memisahkan diri dari agama Islam. Dengan begitu HAK
masyarakat muslim di Indonesia untuk keterjaminan beragama dapat dipenuhi.
Alloh maha adil, maha Bijaksana, semoga kita
semuanya mampu memahami segala jalan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Khilafiyah
merupakan hal yang lumrah, 14 abad merupakan waktu yang sangat panjang untuk
menolak perbedaan penafsiran Kitab dan Hikmah. Akan tetapi, sampai berjuta –
juta abad yang akan datang –kiamat, InsyaAlloh– sampai matahari terbit dari
barat, tidak aka ada kata “Toleransi” terhadap perbedaan Aqidah. Alloh itu
satu, Muhammad itu utusan terakhir Alloh. Selain itu, ia bukan termasuk
golongan Rasul Muhammad SAW-Islam-.
0 comments:
Post a Comment