Friday, 31 May 2013

Khilafiyah oke, Tidak untuk Aqidah

Posted By: Unknown - 12:05 am

Share

& Comment

     Beda Ahmadiyah beda pula Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan sebagainya, pun perlakuannya juga harus berbeda. Muhammadiyah identik dengan moderat yang memiliki tokoh Din Syamsudin, Nahdatul Ulama identik dengan tradisional yang memiliki tokoh sekelas Alm. Gus Dur, sedang Ahmadiyah identik dengan Mirza Ghulam Ahmad.  
Dalam Islam mengenal istilah aqidah, dan salah satu isinya ialah syahadat, Ashadualla illahaillalloh Wa’ashaduanna Muhammadurrasulalloh, aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Alloh, dan aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah utusan Alloh. Hal tersebut tak bisa ditoleransi penafsirannya. Semua umat Islam tidak ada perselisihan tentangnya.
 Kalimat Tauhid-lah yang menjadi persamaan antara Muhammadiyah, Nahdatul Ulama dan sebagainya. Itulah islam, walau dalam pelaksanaan dan penafsiran Alqur’an dan Hadist berbeda, tak menjadi masalah, selama tidak menyalahi Aqidah. Dalam Islam, perbedaan tersebut biasa disebut Khilafiyah.
Apa yang terjadi jika ada sekelompok jama’ah yang mengatasnamakan Islam, beribadah laiknya kebanyakan orang Islam, Sholat di masjid, membaca Alqur’an, merayakan hari Idul Fitri, ber Zakat, akan tetapi mengucapkan syahadat Ashadualla illahaillalloh Wa’ashaduanna Mirza Ghulam Ahmadrasulalloh?
 Astaghfirullah, sebagai orang Islam saya pribadi merasa dilecehkan, syariat itu suatu hal yang tidak bisa ditoleransi dalam pemahaman. Ibarat orang katolik yang tidak mengakui Jesus sebagai salah satu manisfestasi Tuhan dalam konsep Trinitas, ibarat orang Protestan yang mengagungkan Martin Luther sebagai perantara do’a, ibarat masyarakat Hindu yang mengkultuskan Ngurah Rai sebagai pengganti Dewa Wisnu –pemelihara dan pelindung– dalam konsep Trimurti yang meng-Esa-kan Brahman.
    Dalam perspektif Islam, seseorang yang mengaku bahwa dia adalah seorang Rasul dan menyebarkan agama seluas – luasnya termasuk orang murtad. Padahal sudah jelas, Muhammad adalah nabi terakhir. Bahkan derajat mereka lebih rendah dari pada golongan kafir dzimmi. Di Indonesia eksistensi jama’ah Ahmadiyah masih terjaga, fatwa MUI –yang mulai kehilangan kepercayaan masyarakat– hanya sebatas gertak sambal mengatasi masalah aliran sesat.
     Menilik sejarah masa lalu, ketika Musailamah al-Kazzab dan Sajjah Binti al-Harits mengaku sebagai nabi, ia memberikan cuti sholat Ashar kepada jama’ahnya. Apa yang dilakukan Abu Bakar saat menjadi khalifah? Ia memberikan pemahaman dan mengajak mereka kembali ke jalan yang lurus. Karena ditolak, pecahlah perang Yarmuk –perang memerangi pe-Murtad-an– yang menewaskan Musailamah. Sedang Sajjah di akhir hayatnya kembali ke jalan Islam yang lurus.
    Awal abad ke 12 masehi, terjadi perang salib Albigensian di selatan perancis. Tepat pada tahun 1209, di kota Bezire lebih dari 15.000 orang yang terdiri dari lelaki, perempuan, dan anak – anak kecil terbunuh oleh tentara vatikan yang berjumlah 30.000 tentara. Pelaku perang tersebut ialah Kristen Formal –Vatikan– melawan Kristiani Gnostis yang cenderung liberal. Vatikan menganggap Kristiani Gnostis sebagai aliran sesat –heresy atau bid’ah– karena tidak mau tunduk kepada gereja Vatikan. Mereka percaya bahwa cara untuk mendekatkan diri dengan Yesus seharusnya sederhana dan tanpa perantara, bertolak belakang dengan apa yang terjadi di Gereja Vatikan.
     Terbaru, masyarakat dunia yang beragama kristiani dihebohkan dengan keberadaan novel fiktif karangan Dan Brown yang berjudul Davinci Code. Meskipun fiktif, akan tetapi masyarakat kristiani merasa terganggu karena isi novel tersebut mengobrak - abrik keyakinan pokok karena mempertanyakan ketuhanan Yesus dalam konsep Trinitas. Jika itu hanya sebuah novel, bagaimana jika ia berwujud riil dalam dunia nyata?
    Saya rasa semua agama memiliki persamaan benang merah kisah sejarah masa lampau dalam memandang suatu pelecehan agama, pandangan mereka terhadap golongan sesat pun sama, kembali ke jalan yang lurus atau perang, tanpa ada toleransi. Jadi, apakah salah jika mereka yang melecehkan agama kita perangi? Saya rasa tidak. Wallahua’lam.
    Memandang kondisi golongan Ahmadiyah di Indonesia, yang masyarakatnya majemuk baik itu agamanya, dengan hukum warisan kolonial barat dan pembuatan perundangan yang memandang produk hukum amerika, rasanya tidak mudah untuk memerangi-nya walaupun perbedaan yang terjadi sudah saya analogikan diatas. Tetapi kebanyakan masyarakat apalagi yang berbeda agama kurang mampu memahaminya.
   Solusi paling masuk akal dibanding melakukan penyerangan –yang malah merusak citra Islam– ialah melakukan diplomasi. Mereka lebih memilih kembali ke jalan lurus, yang sesuai syariat Islam atau mendirikan agama sendiri dengan memisahkan diri dari agama Islam. Dengan begitu HAK masyarakat muslim di Indonesia untuk keterjaminan beragama dapat dipenuhi.

 Alloh maha adil, maha Bijaksana, semoga kita semuanya mampu memahami segala jalan yang telah ditetapkan oleh-Nya. Khilafiyah merupakan hal yang lumrah, 14 abad merupakan waktu yang sangat panjang untuk menolak perbedaan penafsiran Kitab dan Hikmah. Akan tetapi, sampai berjuta – juta abad yang akan datang –kiamat, InsyaAlloh– sampai matahari terbit dari barat, tidak aka ada kata “Toleransi” terhadap perbedaan Aqidah. Alloh itu satu, Muhammad itu utusan terakhir Alloh. Selain itu, ia bukan termasuk golongan Rasul Muhammad SAW-Islam-.


About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

0 comments:

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.