mahasiswi |
Karena tak cukup dingin, sering jendela disamping barat ruangan dibuka lebar agar angin bisa keluar masuk membawa suhu panas ruangan, dengan resiko sedikit terdengar suara motor dari parkiran yang berada di samping gedung.
Disana terdapat sebuah papan tulis berwarna putih menghadap ke arah utara. Berhadapan dengan 40an bangku besi mahasiswa yang memiliki alas dari kayu dengan lapisan triplek warna putih diatasnya. Hanya bangku milik dosen yang tidak beralas, namun terdapat meja besar persegi panjang warna coklat didepannya. Letaknya diantara bangku mahasiswa dan papantulis, namun tak saling menutupi.
Kala
itu merupakan pertemuan pertama seusai uts, laiknya disemua jurusan, terjadi
pergantian dosen pengampu pada mata kuliah tersebut tiap tengah semester. Yang
disampaikan pun sebatas pengenalan materi dan hal apa saja yang akan kita
lakukan selama sisa semester ini.
Pada
awalnya kelas berjalan seperti biasa, dosen datang, duduk dan mempersiapkan
materi yang hendak disampaikan. Mahasiswa di baris depan mulai terlihat sibuk
mempersiapkan buku dan alat tulis, hal yang tidak terlalu nampak di baris tengah
maupun belakang. Yang duduk paling belakang, di baris ke empat, lebih suka
berbincang atau bermain HP, dibaris itulah saya duduk saat pertemuan tersebut.
Tak ada hal yang spesial, semua berjalan seperti biasa, saya telat dan duduk di bangku belakang. Hingga pukul 8.15, salah satu teman, Wardana namanya, ia masuk ruangan dengan santai padahal waktu masuk perkuliahan 25 menit yang lalu. Pembawaannya yang kalem, sedikit senyum, dan tenang, sehingga tak membuat kegaduhan di dalam ruangan.
Tak ada hal yang spesial, semua berjalan seperti biasa, saya telat dan duduk di bangku belakang. Hingga pukul 8.15, salah satu teman, Wardana namanya, ia masuk ruangan dengan santai padahal waktu masuk perkuliahan 25 menit yang lalu. Pembawaannya yang kalem, sedikit senyum, dan tenang, sehingga tak membuat kegaduhan di dalam ruangan.
Malang juga bagi dia, bangku yang ada sudah terisi penuh.
Baru membuka pintu, teman kelas memberitahu Dana –sapaan akrab– tuk mencari
bangku. Bergegas ia keluar kembali tuk
mencari bangku di kelas sebelah. Ketika pintu kelas kembali ia buka dari dalam,
dosen yang sudah dari tadi memulai materi mengeluarkan kata peringatan, “mas,
di luar saja, kasian yang sudah datang dari tadi” kata dosen berbadan gempal
tersebut melihat mahasiswa yang sudah terlalu lama terlambat dan mengganggu
suasana kelas yang kondusif.
Wajar
memang, toleransi keterlambatan hanya 15 menit. Dan rupanya Dana sudah
menyadari betul apa yang diinginkan dosen tersebut, ia tak kembali ke kelas,
walaupun susah tetapi paling tidak bisa coba tuk meminta maaf terlebih dahulu. Ia
memilih tak mengikuti perkuliahan.
Kelas
kembali normal setelah Dana keluar. Beberapa waktu berselang, kejadian serupa kembali
terulang, namun kali ini pelakunya ialah Santi, salah satu mahasiswi cantik di
jurusan tersebut. Rupanya beda gender beda perlakuan. Dana yang terlambat tidak
diperkenankan masuk kelas, sedang Santi yang 5 menit lebih terlambat dari Dana
tidak disambut dengan raut muka kesal apalagi kata peringatan. Melainkan ia diajak
bercanda dan ngobrol laiknya teman sejawat.
Santi
memang mempesona, wajahnya khas kembang desa dengan rambut lurus sedikit ikal
diujung dan berwarna hitam dengan panjang sedada. Pakaian sederhana tanpa
perhiasan mahal yang berarti tak mampu memudarkan aura pesona alaminya. Mungkin
itu yang membuat dosen luluh dan melupakan pelanggaran kedisiplinan yang telah
ia perbuat.
ilustrasi yakali kampus geodesi bagus gitu |
Dengan manisnya ia bertanya “kamu kenapa terlambat?” “Bangun kesiangan?”. Dengan Mimik wajah ceria, senang dan suara yang sedikit manja, seolah tak mempermasalahkan sedikit pun keterlambatan Santi tersebut. Kontan dalam hati kecil saya langsung mengalami pergolakan, ada apa ini? Kenapa mereka yang cantik secara fisik seolah – seolah “kebal” hukum kedisiplinan.
Dana
datang dan diam, tak menggaduhkan kelas, sedang Santi membuat suasana kelas
menjadi ramai. Ditambah pertanyaan dosen yang sedikit memanja makin meramaikan
kelas. Apalagi bangku mahasiswa yang dipergunakan sebagai tempat LCD proyektor
dipakai sebagai tempat ia duduk. Yang pasti, proses perkuliahan akan terganggu,
karena proyektor dipindah – pindah, apalagi dosen tersebut tak biasa mengajar
dengan mencatat di papan tulis.
Dosen
sebagai tiang pembangunan ilmu dan sumber daya manusia harusnya memberikan
contoh yang bagus kepada semua anak didiknya. Tak pandang bulu apapun latar
belakang dan jenis kelaminnya. Baik itu laki – laki atau perempuan, entah itu
cantik ataupun tidak. Harusnya semua mendapat perlakuan yang sama, jangan
sampai "beda gender beda perlakuan".
4 comments:
Dosennya perempuan apa laki-laki nih?
Eh tulisan ini ada korelasi contoh sama tulisan yang aku posting,
coba cek deh: http://elyviainayah.blogspot.com/2013/05/gender-dan-media.html
Laki el,
Ok!!
Hahahaa.. Tun tun..
lhoo, kok ono kwe ran? padahal niat e blogku ngga' tk share disik, men okeh tulisane nembe tk share, eee malah konangan sik, haha, sorry ya kwe tak tulis
Post a Comment