ilustrasi : rakusnya koruptor. |
Korupsi,
sebuah kata yang sangat familiar dan bahkan akrab dengan telinga bangsa
indonesia sejak orde baru berkuasa sampai orde reformasi yang sampai sekarang
masih kita jalani. Penyakit moral dan sosial yang sudah sangat mengakar di
segenap elemen masyarakat, baik itu mereka yang berada diatas sampai yang
berada dibawah baik yang berdasi maupun tidak.
Korupsi
ada yang jelas – jelas terlihat baik cara, bentuk maupun nominalnya seperti
korupsi proyek hambalang, wisma atlet dan lain – lain. Namun ada juga korupsi yang
secara kamuflase, karena kita tidak menyadari bahwa yang dilakukan tersebut
ialah suatu bentuk korupsi. Seperti tukang parkir yang menambah daerah parkir
suatu tempat yang seharusnya dimanfaatkan untuk keperluan umum.
Kenyataan
lebih pahit lagi harus diterima oleh semua rakyat indonesia ketika menyaksikan
bahwa institusi yudikatif, eksekutif dan legislatif mereka ternyata tak ada
yang bebas korupsi.
Badan
legislatif adalah pilihan rakyat melalui metode pemilu yang ditelurkan oleh
sistem demokrasi yang bangsa indonesia anut. Jadi merekalah representatif dari
masyarakat masing – masing yang telah memilihnya, dan kepentingan masyarakat
tersebutlah yang menjadi prioritas utama. Begitulah demokrasi cetusan plato yang seharusnya, akan tetapi apakah seperti itu kenyataan yang ada dinegeri
kita? Bukan. Lalu demokrasi apakah yang sedang kita anut? Democrazy kah? Tentu
bukan juga.
Badan eksekutif merupakan
pemerintahan yang menjalankan roda pemerintahan sesuai amanat yang diberikan
oleh rakyat melalui badan legislatif. Seharusnya kebijakan yang pemerintah
tempuh sesuai undang - undang badan legislatif, yang logika-nya, harus pro
rakyat kecil. Tetapi tengok lah bagaimana roda pemerintahan berjalan, birokrasi
berbelit, kasus korupsi dimana - mana, pelayanan ke publik pas - pas an.
Badan yudikatif, suatu lembaga
yang mengontrol undang - undang dan ketentuan dalam bernegara. Negara butuh
suatu aturan pasti untuk berjalan dan berencana, terutama dalam pembangunan.
Yudikatif juga berwenang dalam proses pergantian jabatan pemerintahan.
Apa yang terjadi jika legislatif
tidur saat sidang, bolos paripurna. Pejabat eksekutif berguguran di tangan KPK.
Sedang yudikatif tengah krisis dewan kehormatan, benteng keadilan terakhir
tercoreng ulah sang nahkoda -Akil M- yang terjerat kasus sengketa pilkada.
Ibarat pohon, hanya tinggal akar
yang masih bertahan hidup. Sementara batang, ranting, daun dan buahnya telah
membusuk di permukaan tanah. Mungkin jika boleh ber andai, aku adalah seorang
presiden, akan ku ubah bangsaku dengan revolusi. Bukan dengan mengganti sistem
pemerintahan atau pemilu, tetapi lewat pemberian mata kuliah pendidikan moral
setiap hari dalam satu minggu hari aktif sekolah.
Setiap pesantren aku beri
bantuan, tempat ibadah aku hidupkan, agar jemaat-nya memiliki sifat baik sesuai
bimbingan agama. Karena aku tak butuh menteri dengan segudang prestasi, tetapi
aku lebih membutuhkan menteri dengan segudang hati nurani.
"Pendekatan Religi sangat
diperlukan, kita akan jongkok kalau terus mempertahankan sistem Sekulerisme
yang coba kita jalankan ini. Jangan sampai kita malah berjalan ke arah
Liberalisme yang jauh lebih mematikan dan mencekik rakyat kecil di negeriku
tercinta, Indonesia"
0 comments:
Post a Comment