(sebuah cerpen fiktif elegi ke-Geodesi-an)
Siang
itu suhu udara tak sepanas biasanya, posisi matahari sudah condong 60 derajat
di katulistiwa, semilir angin berhembus dari arah selatan barat daya. Disebuah
pos ronda semi permanen di pojok perempatan nampak dua anak sedang duduk menikmati
angin. Beberapa saat kemudian, mereka nampak terpaku dengan raut wajah serius.
Perlahan
nampak segerombol orang asing mengendarai motor berjalan mendekat menuju mereka.
Perasaan mulai gusar, tak pernah ia melihat wajah orang – orang tersebut sebelumnya.
Mereka bercelana panjang, bersepatu laiknya anak sekolahan dan memakai jaket
seragam berwarna orange mencolok.
Salah
satu dari mereka berbadan besar membawa dua buah tribach yang ujungnya masih diikat, satu orang berambut kribo
membawa kotak besar warna kuning, seorang lagi laki-laki tinggi kurus membawa
kotak merah yang ukurannya lebih kecil. Dua orang lagi perempuan membawa
meteran dan yang satu lagi membawa plastik loreng berisi makanan ringan dan air
minum.
Beberapa
meter lagi gerombolan mendekati dua anak tersebut, setibanya dilokasi titik
orde 4 samping pos ronda, motor mereka parkir persis disebelah kanan kedua anak
tersebut. Salah satu dari mereka berkata “numpang istirahat ya dek”. Kedua anak
tersebut tak menghiraukan, masih terdiam dan hanya membenahi posisi duduknya
agak menepi. Ihsan dan Ardi mulanya canggung, tetapi lama – kelamaan mereka
mulai nyaman berbagi tempat dengan orang – orang asing tersebut.
Singkat
cerita mereka bertujuh saling bercerita di pos ronda beberapa saat, hingga novi
–salah satu perempuan selain yesi– bertanya, “kalian cita-citanya pengen jadi
apa?”. “pilot”, jawab ihsan. Sedangkan ardi dengan polos mengatakan “tentara”.
Jawaban datar, tetapi luar biasa untuk anak kecil yang hidup di sebuah pedesaan
bagian utara kabupaten Boyolali. Bagi mereka profesi pilot ataupun tentara
dirasa lebih keren dibanding harus menjadi petani seperti kedua orang tuanya.
Setengah
jam berlalu, rasa penasaran ihsan mulai terurai, ternyata segerombol orang
tersebut ialah mahasiswa Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Mereka
angkatan 2010, yang saat ini sudah menempuh hampir 6 semester perkuliahan. Mereka
ingin membuat titik -patok- orde 4. Tak lupa, Ardi mengungkapkan apa yang ingin
ia ketahui, “Mas, Geodesi ki opo? –Geodesi itu apa–“.
“Geodesi
itu cabang ilmu pengetahuan kebumian yang lebih menitik beratkan pada sisi
pengukuran dan pemetaan permukaan bumi” jawab Wahyu, lelaki berambut kribo yang
sok pintar. Ihsan hanya melongo, sedang Ardi terus mengerutkan jidat. “anak SD
mana ngerti bahasamu yu” kata Satya. Kemudian lelaki tinggi kurus itu menjelaskan apa itu Geodesi.
“Geodesi
itu ilmu pemetaan. Kalian suka belajar ngga’?”. Serentak mereka berdua
mengangguk. “Nahh, kalian suka baca peta athlas ngga’?” tanya Satya lagi.
Mereka kembali mengangguk. “Jadi, kerjaan orang geodesi itu membuat peta”
jelasnya. “Oowh, jadi peta athlas yang digunain bu Lina pas ngajar IPS itu
buatan mas?” tanya ardi. “haha, iya di” jawab Satya. Selepas tawa, suasana
makin dekat dan hangat.
Pukul
10 pagi, setelah semua persiapan selesai, pengukuran titik Orde 4 guna
mempermudah petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam membuat peta bidang
pada proses sertifikasi tanah dimulai. Karena di daerah pedesaan laiknya
kabupaten Boyolali, jumlah orde 4 di daerah – daerah belum memenuhi jumlahnya,
jadi masih perlu diperbanyak.
Dari
titik tersebut juga, petugas ukur sertifikasi tanah dapat menggunakannya
sebagai titik ikat –titik kontrol– untuk menjamin keakuratan koordinat jika
dimasukkan ke dalam peta induk –Base Map–
milik BPN. Karena, jika sampai bertampalan dengan bidang tanah tetangga, ditakutkan
akan menimbulkan sengketa pertanahan. Dan petugas ukur maupun BPN bisa dituntut
karena itu.
Novi
dan Yesi sudah bersiap, payung di dalam tas dikeluarkan dan dibuka Novi. “Kok
bawa payung mbak? Kan ndak ujan?” Ardi heran. Novi coba menjelaskan “Ni payung
buat nutupin alat dek, alatnya mahal, kalau alat rusak karena kepanasan nanti
pak Bambang –Kepala Jurusan– marah”.”Owhh…” jawab Ardi. Alat yang digunakan
saat itu ialah Total Station Topcon GTS 102 N dengan ketelitian sudut 2” –dua
detik– dengan pembesaran lensa yang mencapai 30 kali. “Harganya 53 jutaan lho
dik” tambah Yesi. Kontan mereka berdua kaget, Ihsan tak berani lagi memegang
kotak alat survei tersebut, Ardi apalagi, mereka takut kalau alatnya rusak.
Lekas
saja kotak besar dibuka Wahyu, Rendy yang berbadan besar masih bermalas –
malasan, “bangun ren, ini pos ronda bukan hotel” celetuk wahyu. Bergegas rendi
bangun dan memasang satu tribach diatas
patok segi empat berwarna biru yang ditengahnya terdapat titik menyerupai paku
namun lebih besar ukurannya. Rupanya itu patok orde 4 milik BPN yang telah
diketahui koordinatnya. Sementara wahyu membuka kotak, lalu mengambil alat
untuk kemudian menyentering-nya hingga gelembung nivo bulat dan nivo tabung
berada di tengah. Serta posisi tengah alat dengan titik tengah patok sudah
sejajar.
Setelah
sentering, kemudian input data koordinat patok orde 4 tersebut untuk dijadikan
BM –Benck Mark–, sementara rendy
kembali rebahan ditenda yang berjarak 5 meter dari patok. Lain Rendy, Satya membawa
satu tribach dan alat sejauh 160 meter dari patok samping pos ronda dengan
sepeda motor matic miliknya. Setibanya,
ia langsung memasng tribach dan alat
berupa prisma dengan cara serupa di salah satu diantara 3 titik Orde 4 yang
ingin diukur koordinatnya.
Prisma
tersebut berfungsi untuk memantulkan kembali sinar laser kepada alat Total
Station untuk kemudian didapat jarak optis serta besaran sudut yang dibentuk
antara kedua patok terhadap azimuth. Nanti akan dapat dihitung berapa jarak dan
koordinat patok baru tersebut.
Patok
Satya berbeda dengan yang dilihat Wahyu, patok yang didirikan alat oleh Satya
masih berwarna putih. Baru akan diwarnai jika koordinatnya sudah dikoreksi
dengan catatan jarak antar patok tersebut, sekurang – kurang nya 150 meter
sesuai peraturan menteri agrarian/kepala badan pertanahan nasional nomor 2
tahun 1996.
Menurut
permen diatas, kita diperbolehkan membuat titik dasar orde 4 tanpa mengikatkan
dengan orde 3 terlebih dahulu. Kita bisa menggunakan sistem koordinat lokal
dimana dikemudian hari harus di transformasikan ke dalam sistem transformasi
nasional.
Setelah
prisma ditembak oleh alat Total Station, data kemudian direkam. Setelah
selesai, Satya lalu mengubah posisi prisma ke dua titik selanjutnya. Setelah
selesai titik terakhir, semua alat dimasukkan kembali ke tempat penyimpanannya.
Sambil
membangunkan Rendy yang tertidur, Wahyu, Satya, Yesi dan Novi berkemas untuk
melanjutkan survei ke lokasi selanjutnya. Tak lupa ia berpamitan dengan Ihsan
dan Ardi. “Ardi, Ihsan, Kami balik dulu ya! Jangan malas belajar. Biar jadi
anak pinter. Kalau sudah pinter kuliah di Teknik Geodesi Undip. Biar sukses!”
kata wahyu.
”Iya
mas, siap 86!!. Mas-mas sama mbak-mbak hati-hati di jalan ya. Besok ngukur
disini lagi ya!” jawab mereka kompak.
”Jangan
laah dek, masak ngukur ulang?. capeek -_-.” batin Wahyu. “tu adek ngga’ tau
panasnya kalau ngukur!”bisik novi.
Salah
satu pekerjaan Geodet ialah pemetaan, salah satu metode nya dengan survei lapangan
atau “ngukur”, walau terjun ke lapangan bukan pekerjaan utama Geodet strata
satu -sarjana-, lebih untuk vokasi atau diploma mungkin, tetapi bagi mahasiswa
Teknik Geodesi Undip kebanyakan, itulah salah satu hal yang sangat mengesankan.
Mungkin akan diingat hingga tua nanti, setidaknya oleh kelima orang tersebut.
(Wahyu
Nur Rohim ~ Geodet nol sepuluh Undip)
0 comments:
Post a Comment