*

*
Powered by Blogger.

Friday, 15 August 2014

Filsafat Mahasiswa

Posted By: Unknown - 9:48 pm


Kamis, 7 Agustus 2014.

Mungkin tanggal di atas akan menjadi sangat spesial bagi lima teman saya. (dari kiri-berdiri) I'ik, Kenyo. Ayu, Ayu Aha dan Nasrul. Resmi sudah mereka menamatkan studi selama kurang lebih empat tahun lamanya. Waah, senengnya. Kapan ya kami menyusul. Semoga tak lama lagi.

I'ik, Ayu dan Nasrul temen satu jurusan saya. Kenyo dan Ayu Aha temen satu desa sewaktu KKN di desa Genting, Kabupaten Semarang. Selagi lagi, selamat buat kalian berlima. Kalian memang hebat. Terlebih selendang kuning yang tersemat di pundak kalian. Hanya sekian mahasiswa yang mampu memperolehnya. Hanya mahasiswa rajin, berkemauan dan berkemampuan yang mungkin mampu meraih predikat cumlaude.

Barusan saya membaca sebuah artikel dari Anies Baswedan, berisi beberapa nasihat penting untuk seorang mahasiswa dan bagaimana keadaan dunia nyata (kerja). Pada intinya, ia ingin mengatakan kepada seluruh mahasiswa, jika dunia kerja, dunia nyata, tak akan senyaman bangku sekolah. Tidak se-sistematis dan tak seruntun rumus di dalam buku pelajaran.

Jika kelas di analogikan sebagai kolam renang dan dunia kerja sebagai lautan bebas. Dan anda adalah seorang yang ingin belajar renang, maka, tempat mana yang akan anda pilih untuk berlatih renang?. Apakah kolam renang yang airnya tenang dan mampu diukur kedalaman serta tekanannya. Ataukah anda memilih lautan bebas yang penuh tekanan, kedalaman tak terhitung dalamnya dan ada pula resiko ombak yang bisa saja datang!.

Idealnya. Mahasiswa seharusnya tekun belajar disaat masih kuliah. Setelah cukup bekal, lautan bebas pun tak menjadi suatu medan yang tak mungkin untuk ditaklukkan. Bukan sebaliknya, bersantai dan ber leha-leha disaat kuliah dan akhirnya tak memiliki mental dan bekal yang cukup untuk mengarungi dunia kerja yang penuh tekanan.

Tentu, belajar tak seharusnya hanya di dalam ruangan. Anda akan menyesal jika hanya membekali diri anda dengan ilmu yang telah tersetting dan tersusun secara sistematis sebagai bahan pembelajaran. Padahal, banyak hal yang akan anda peroleh jika berani memecahkan persoalan yang banyak terdapat diluar ruang kelas. Persoalan tanpa settingan dan tak ter-sistematis. Saran saya, ikut-lah organisasi kampus. Anda akan diajarkan bagaimana menghadapi masalah dan belajar bagaimana bersikap bak seorang problem solver.

***
Hanya segelintir ilmu di buku pembelajaran yang mampu diterapkan di dunia kerja. Saya tidak menyampingkan cara belajar di dalam ruang. Namun, inti dari pembelajaran di kampus bukanlah tentang berapa IPK anda. Poin intinya adalah apakah seorang mahasiswa mampu memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah, memiliki kemauan untuk belajar tentang hal tertentu, atau tidak.

Jadi, jika anda merasa antusias untuk belajar dan terus belajar. Anda mampu menganalisa dan menyelesaikan suatu permasalahan. Maka anda sudah memiliki ruh dari kualitas filsafat seorang mahasiswa.

Maaf, bukannya saya kurang ajar memberi nasihat kepada kalian yang telah meraih prestasi lebih tinggi dari saya. Namun, semoga tulisan saya mampu sedikit banyak memperbaharui pola pikir temen-temen semua. Semoga bisa mengambil manfaat dari apa yang saya utarakan.

***
Buat kelima teman saya. Saya percaya kalian telah memiliki lebih dari nilai seorang mahasiswa. Selamat menempuh jalan baru. Pesan saya, bukan IPK yang seharusnya kalian banggakan. Namun, kemampuan kalian dalam menganalisa, menyelesaikan masalah dan kemampuan kalian dalam mempelajari hal-hal baru di dunia kerja-lah yang harus kalian banggakan. Dan hal itu-lah yang akan membawa kalian kepada kesuksesan.

Goodluck!!!

Sunday, 10 August 2014

Berbagi Tapi Takut Riya'?

Posted By: Unknown - 2:06 pm
Perhatikan foto dibawah ini :

( Relawan geodet berbagi sedang membagi nasi ke seorang bapak-bapak)
***
Foto diatas adalah hasil dokumentasi komunitas Geodet Berbagi. Wajah wajah diatas kadang muncul di akun official Geodet Berbagi baik Facebook maupun Twitter. Dan dilihat oleh banyak teman ataupun follower. Terkadang, ada saja yang mengatakan,

“aku sebenernya pengen ikutan berbagi nasi, tapi aku takut riya’ kalo difoto-foto.”

Simpel aja sih, kalau misalnya takut riya’ mungkin bisa meminta seksi dokumentasi untuk tidak me-share foto yang menampakkan dirinya sedang membagi nasi. Simpel. Tapi masih bisa ikutan kan! Hehe.

Pertanyaannya, bagi “model” Geodet Berbagi, bagaimana caranya untuk mengatasi sifat Riya’ tersebut? Padahal mereka “dipaksa” tampil di depan layar agar kegiatan Geodet Berbagi mampu dilihat, dipantau dan syukur-syukur mampu menginspirasi orang banyak. Berikut pendapat saya.

Sebelumnya, Riya’, suatu sifat/niat dalam hati untuk melakukan sesuatu kebaikan dengan maksud agar ia dipuji oleh orang lain. Agar ia disanjung dan agar memperoleh kedudukan. Dalam perspektif agama islam, baik tidaknya perbuatan dihitung berdasarkan niat. Innamal A’malu Binniat. Jika niat kita untuk memperoleh balasan dariNya, maka itu dianjurkan. Namun, jika kita mengharapkan selain balasanNya. Maka itu disebut Riya’.

Dan Riya’ adalah termasuk Syirik kecil. Wow, Riya’ hampir setara Syirik (menduakan Tuhan), dosa yang sangat besar yang tak akan diampuni olehNya. Wajar saja kalau banyak orang yang mewaspadai diri agar tak terjangkiti Riya’. Celakanya orang-orang terlalu takut terhadap Riya’ sehingga menghalanginya untuk berbuat baik. Padahal, berbuat baik adalah suatu kewajiban.

“Kalian harus mewaspadai Riya’. Tapi jangan sampai itu menghalangi kalian dari berbuat baik.”

Jadi, kita tidak boleh menunda keinginan untuk berbuat baik karena takut Riya’. Riya’ adalah sifat manusia yang sangat susah untuk dihilangkan. Bahkan, ulama pun tak lepas dari sifat tersebut. Namun, ukuran besar kecilnya mungkin tak sebesar yang kita miliki.

Bukan hanya sebelum berbuat, ketika berbuat atau bahkan ketika selesai berbuat baik pun Riya’ akan selalu menghinggapi hati kita. Saran ulama adalah lakukan saja perbuatan baik anda. Jika setiap kapan saja anda takut Riya’, maka ingatlah Allah. Allah pasti tak mensia-siakan amal manusia. Berbaik sangka-lah terhadapNya, maka ia akan berbaik sangka pula dengan kita.

Jadi, lakukan saja perbuatan baik anda, jika kapan saja anda merasa terjangkiti Riya’, maka langsung saja anda mengingat Allah, Insha Allah Ia akan membimbing hati anda terhadap kemantapan. Dan yang terpenting adalah jangan sampai perasaan takut Riya’ mampu mengalahkan niatan baik anda untuk berbuat baik.

Maaf kalau ada salah kata.

Masih belum yakin?

Ada tips menarik dari Alim Ulama.

Lakukan sedekah dengan diam-diam (tak terlihat seorangpun). Dengan kadar lebih besar daripada sedekah yang anda perlihatkan (terang-terangan). Jadi, bagi kalian, para “model” komunitas sosial apapun. Ketika anda di foto dan di share dimana-mana, padahal anda sedang berbuat baik, janganlah takut, itu bukan Riya’ insha allah. Jika niat anda adalah benar-benar karenaNya, agar mampu menginspirasi orang lain atau sebagai sebuah ajakan kepada orang lain untuk berbuat baik. 
Kindness is fun.    


How To Change Skripshit into a Skripsweet

Posted By: Unknown - 11:52 am
Halo kawan, saya mau sedikit berbagi kisah yang saya alami beberapa waktu belakangan. Saya seorang mahasiswa semester akhir di Undip, Semarang. Tentunya, semester akhir sangat identik dengan yang namanya Skripsi. Atau kami anak teknik (engineer) menyebutnya Tugas Akhir (TA). Sama saja, intinya, syarat mutlak untuk mendapatkan gelar sarjana.

Nah. Kan kalian sudah pada tahu. Faktanya. Hidup ini tak semulus ketek Sabina Altynbekova (lihat profilnya). Tidak juga semanis kata-kata Mario Teguh. Kita pasti mengalami pasang surut, tinggi rendah, manis pahit dan suka duka. Kalau hanya lurus, mulus, kita musti waspada, apakah kita benar-benar hidup?. That’s the question.

“Bagi seorang mahasiswa, salah satu momen yang paling potensial mengalami lika-liku diatas adalah saat harus berhadapan dengan Tugas Akhir/Skripsi.”

Dalam dunia nyata. Mengerjakan TA tak semulus rencana yang telah dibuat. Kondisi kurang mengenakkan model A-Z pasti akan dialami oleh mahasiswa tingkat akhir. Dengan predikat “maha”siswa seharusnya kita mampu mengatasi hal tersebut dengan mudah. Namun, kembali lagi, tak semua mahasiswa memiliki kemampuan/kompetensi laiknya “maha”siswa.

Dari sekian model tersebut jika ditarik benang merah akan berujung pada satu kata, malas. Malas bisa berasal dari berbagai alasan dan kondisi. Tak cukup kalau saya perjelas satu persatu. Karena beda mahasiswa beda alasan dan kondisinya.

Berikut saya mau membagi tips menjinakkan kondisi “malas” tersebut:

1.      Save file “skripsi” di directory paling depan di laptop anda.
Contoh: D/Skripsi/

2.      Rename nama folder dengan kata-kata motivasi.
Contoh: “SkripsiBismillah” atau “Skripsweet” atau “KerjakanSkripsiAtauTelatNikah”

3.      Sering-sering pergi ke kampus.
Untuk menjaga mentalitas dan pola fikir kita agar selalu dekat dengan dunia kampus.

4.      Inget baik-baik orang-orang yang bertanya, “udah kerja?”, “kapan wisuda?” dan sejenisnya.
Bayangkan anda memegang jilid skripsi anda yang sudah acc, kemudian anda lemparkan ke muka orang yang bertanya tersebut.

5.      Sering-sering dateng ke wisuda temen satu angkatan.
Kebahagiaan mereka bersama orang tua masing-masing dapat meningkatkan motivasi anda untuk menyusul mereka.

6.      Buka Facebook dan liatin Foto Profil temen-temen kalian yang memasang foto wisuda dengan berbagai model gayanya. Dan bayangkan jika yang ada difoto tersebut adalah anda.

Selamat mengerjakan skripsi (Tugas Akhir).

   

Memilih Dua Pilihan

Posted By: Unknown - 9:44 am
(Masih) Tentang pengalaman hidup saya yang harus bertemu dan menghadapi tantangan dengan kepala tegak. Tantangan itu bernama Geofis. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah bagaimana kita seharusnya mengutamakan kewajiban dan keharusan kita untuk tegas mengambil setiap keputusan. Dan kita tahu. Setiap keputusan pasti ada resiko. Begini ceritanya.

Semester satu sampai enam saya lalui seperti kebanyakan mahasiswa. Dimulai di Kost, mandi, terus ngampus, ndengerin dosen di dalem kelas, dateng rapat, ngerjain tugas dan tentunya, main PES. Hehe. Di semester 7 lebih terasa cukup berat bagi saya, walaupun saat itu saya hanya mengambil 2/3 dari total paket sks. Karena 1/3 nya telah saya ambil di semester awal. Tetapi, di semester akhir tersebut saya malah mengikuti empat organisasi sekaligus. Pers Teknik, Mapala Geodesi, Rohis dan BEM universitas. Disinilah titik permasalahan yang saya alami.

Sedikit saya ceritakan. Saat semester 7 tersebut saya ditunjuk menjadi salah satu hakim sidang di KPSP atau Komisi Penyelesai Sengketa Pemira (semacam MK) dalam proses PEMIRA Undip tahun 2013. PEMIRA singkatan dari pemilu raya, pesta politik pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa.

Siang hari di kantor polisi –sekretariat panitia PEMIRA– samping POM bensin Undip. Disaat proses sidang gugatan sedang berjalan, saya mendapat kabar dari seorang teman, kalau ada kelas tambahan matakuliah Geodesi Fisis (Geofis) untuk mengganti kekosongan pertemuan sebelumnya. Kondisi saat itu, saya telah absen 4 kali. Jadi, kalau saja saya absen lagi, sudah dipastikan nilai saya tidak keluar. Terus gimana? Saya juga bingung saat itu. Antara meninggalkan sidang atau titip absen –kebiasaan buruk yang secara perlahan saya coba tinggalkan–.

Kenapa saya berat untuk meninggalkan sidang?. Dalam peraturan sidang, harus dihadiri oleh beberapa hakim yang telah ditentukan. Dan jika saya tinggalkan, sidang akan cacat, karena keberadaan hakim tidak memenuhi ketentuan. Mau tidak mau saya harus disana. Disitulah saya sedikit mengerti kenapa DPR “berkeringat” saat membuat undang-undang. Setiap detil ketentuan UU harus ditulis dengan jelas. Bahkan disertai penjelasan per-pasal agar tidak menimbulkan multitafsir.

Dilain sisi. Kuliah adalah kewajiban saya. Dan memenuhi minimal 75% kehadiran kuliah adalah sebuah kewajiban. Celakanya, 4 kali sudah saya tak memenuhi kehadiran kelas. Sekali lagi tak hadir, saya sudah tak memenuhi syarat untuk mengikuti ujian akhir semester. Duh Gusti.

Sementara sidang istirahat. Saya mencoba sedikit bernegosiasi dengan hakim sidang lainnya. Pelan-pelan saya membujuk mereka untuk mengizinkan saya meninggalkan sidang. Dan sesuai dengan tebakan saya. Mereka menolak, terlebih hakim ketua, ia sedikit ngotot meminta saya untuk tetap di tempat. Saya rasa tak bisa ikut kelas Geofis (lagi).

Perasaan saya tak tenang. Fikir saya saat itu, kewajiban kuliah lebih besar daripada organisasi. Walau kontribusi di Pemira adalah kewajiban, sesuai amanah, namun ada kewajiban lebih besar yang harus saya dahulukan, yaitu belajar. Jadi saya putuskan lebih ngotot lagi untuk meminta izin meninggalkan sidang. Setelah perdebatan cukup lama, saya diizinkan keluar sidang. Alhamdulillah. Sidang berlanjut walau sesuai ketentuan “cacat” karena kuota hakim tak memenuhi. Namun, saya memakluminya, karena ini adalah dunia kampus, tempat kita belajar, kalau ada salah dan cacat ya wajar-wajar saja. Namanya juga belajar.

Setelah sampai kampus. Ternyata kelas sudah masuk cukup lama. Hampir 45 menit. Duh, galau lagi. Kalau masuk ada dua kemungkinan, pertama, disuruh keluar, kedua, boleh masuk tapi di”interogasi” terlebih dahulu, karena terlalu lama terlambat. Kenapa saya telat lama sekali?. Pertama, temen saya memberi tahu ketika dosen sudah masuk. Kedua, lumayan lama membujuk hakim untuk memberi izin. Ketiga, saat itu turun hujan, saya menunggu sedikit reda sebelum memutuskan “nekat” ngampus tanpa jas hujan.

Lima menit saya berfikir di luar kelas. Masuk atau enggak. Entah apa yang saya pikirkan saat itu. Saya memilih keputusan. Saya titip absen dan pulang. Dua hal saya dapatkan. Pertama, saya titip absen –bohong–. Kedua, saya meninggalkan sidang –berbohong lagi, karena ternyata nggak jadi masuk kelas–. Kedua kewajiban dan amanah saya tinggalkan. Hanya dapat basah kuyup dan capek. Bodoh kan?.

Kebodohan itulah yang membawa saya ketitik terendah. Diakhir cerita (baca cerita saya tentang geofis 1 2 3) saya mendapatkan nilai D. Untuk pertama kali dan itu terjadi di semester ketujuh. Perlu dicatat, Teknik Geodesi tidak mengenal sistim SP atau semester pendek. Dan satu lagi, pengumuman nilai keluar di akhir bulan februari, dua minggu sebelumnya saya sudah mengantongi judul skripsi.

Mungkin sebagian dari kita tidak menyadari, bahwa setiap keputusan kecil yang kita buat saat ini adalah investasi untuk sebuah hasil menakjubkan di kemudian hari. Mungkin pilihan saya untuk tak jadi masuk kelas saat itu adalah keputusan kecil. Pilihan saya untuk titip absen dan meninggalkan sidang adalah hal mudah yang saya lakukan saat itu. Namun, dampak besar terjadi dalam diri saya.

Akhirnya, saya merasakan nilai D. Dan target wisuda pertengahan tahun 2014 tertunda. Kondisi saya sekarang, semester 8 hanya mengambil sks Tugas Akhir dan di semester 9 hanya mengambil Tugas Akhir (lagi) dan Geodesi Fisis. Terimakasih atas pembelajarannya.


Setiap kesalahan tak selalu berujung dengan kesalahan selanjutnya. Yang terpenting, bagaimana kita mengubah dampak dari kesalahan tersebut menjadi suatu kebaikan yang tak kita duga sebelumnya. Tetap semangat. Tuhan bersama mereka yang mau memperbaiki kesalahan.   

Tuesday, 5 August 2014

Kereta Bhinneka

Posted By: Unknown - 9:41 am
Bapak Ignatius Jonan, CEO PT KAI yang sedang terlelap tidur di sebuah bangku ekonomi dengan masih memakai seragam dinas miliknya.

Berikut berita selengkapnya, dikutip dari Merdeka.com

***


MERDEKA.COM. Foto Direktur PT KAI, Ignatius Jonan terlelap tidur dalam Kereta Api ekonomi menyebar di laman media sosial. Menurut anak buahnya di PT KAI, dia sejak tanggal 20 Juli, sampai saat ini paling tidak hampir 15 hari, dia masih belum pulang ke rumah demi memantau arus mudik dan balik. 

Saat berada di KA ekonomi Panatara tujuan Malang-Surabaya, Jonan sangat menikmati tidurnya setelah melihat kesiapan arus balik, dipo dan stasiun di Kota Malang, Jawa Timur. "Sekarang kami ada di Semarang, baru H+10 lepas piket, ini diperpanjang," ujar Juru Bicara PT KAI, Sugeng Priyono yang selama ini menemani Jonan keliling melihat kesiapan angkutan lebaran, pada merdeka.com, Senin (4/8).

Dia mengatakan foto itu diambil oleh Pengamat Kebijakan Publik Pambagio, pada 31 Agustus lalu. Dirinya, dan Jonan tidak tahu kalau saat ini foto dirutnya yang kelelahan menyebar di media sosial bahkan jadi bahan tulisan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, hari ini.

"Pak Jonan itu, memantau arus mudik hanya membawa baju seragam PT KAI 4 biji. Tidak bawa koper yang isinya macam-macam. Poto itu sempat diperlihatkan pada beliau, dia hanya tersenyum saja." katanya.

Sugeng mengatakan Jonan berharap, KA Ekonomi yang bersih bisa menjadi tempat istirahat saat masyarakat menggunakannya. Karena, kalau KA nyaman dan bersih, tidur pun bisa nyenyak ."Dia tidur hampir satu jam, dari Lawang sampai Sidoarjo. Kami tidak berani membangunkannya karena sangat kelelahan kurang istirahat, saya setiap hari mendampinginya, kami berdua, sisanya teman-teman daerah," katanya.

Sebelum tertidur, kata Sugeng, bosnya tersebut melakukan pantau terhadap keberadaan penumpang dan menanyakan kondisi mereka. Bahkan, kami berharap penumpang lainya tidak tahu bahwa yang tidur meringkuk tersebut adalah Ceo PT KAI. "Beliau itu tidak pernah menyalahkan anak buah, kalau ada yang kurang, yang salah ya pimpinannya," ujarnya.

Foto Jonan sedang tidur di gerbong KA ekonomi karena kelelahan setelah berhari-hari memantau Posko Angkutan Lebaran beredar di grup facebook KRL mania. Jonan yang masih berseragam lengkap tidur meringkuk di bangku penumpang beralaskan sweeternya. Jonan tidur pulas tanpa melepas kaos kakinya. Dia tidur seakan tak peduli dengan image 'dirut' yang disandangnya, mungkin saat itu yang dia perlukan hanya istirahat.

***

Mungkin dua hal kontradiktif pertama yang anda fikirkan adalah pencitraan dan kerja keras. Kenapa pencitraan saya sebut pertama? Karena kebanyakan dari kita sudah teracuni isu negatif media yang penuh curiga dan buruk sangka. Sehingga menutupi kerja keras yang benar-benar beliau lakukan.

Bosan bagi saya membahas dua hal tersebut. Saya lebih suka memandang terhadap sisi nilai moral agama yang terkandung di dalamnya. Mungkin karena momentum pemberitaan yang bertepatan dengan hari raya Iedul Fitri atau lebaran. Dan disaat yang bersamaan, CEO PT KAI tahun 2014 bapak Ignatius Jonan, adalah seorang Katholik.

Sikap beliau yang membuat saya terharu ialah kemauannya untuk terjun langsung memantau, mengawasi dan mengurus kereta api, salah satu model transportasi umum favorit masyarakat saat mudik ke kampung halaman. Bapak Jonan selama lebih dari dua minggu “menetap” di kereta. Ia menguras tenaga dan fokus untuk melancarkan arus mudik dan arus balik lebaran.

Dilain sisi ia tidak bercengkerama dengan keluarga untuk beberapa hari lamanya, disisi lain berjuta umat muslim berlebaran dengan senang hati di kampung halaman. Sedikit banyak, kenyamanan kereta api mempengaruhi suasana lebaran (bagi mereka yang mudik naik kereta). Kalau saja pelayanan PT KAI jelek, mungkin saja balik kampung ikut membawa perasaan dongkol.

Secara tersirat, bapak Jonan telah menunjukkan sikap bagaimana seharusnya kita ber-bhinneka. Bekerja keras penuh dedikasi sesuai bidang yang kita tekuni. Turut serta membahagiakan saudara sebangsa yang sedang merayakan hari raya penuh suka cita di kampung halaman. Sekalipun ia harus berpisah jauh dari keluarga. Padahal mudah bagi seorang direktur utama untuk istirahat dan berkumpul bersama keluarga. Namun, bapak Ignatius Jonan memilih untuk terjun langsung mengurus kereta api. Dengan harapan arus mudik dan arus balik tahun ini lancar, aman dan nyaman.

Mungkin saya berharap, suatu saat di hari raya umat agama lain di Indonesia, akan ada kisah hampir serupa. Seorang yang ahli dibidangnya, bekerja keras penuh dedikasi. Dan disaat yang bersamaan, secara tersirat ia telah membantu memperlancar mereka yang sedang merayakan hari raya.   


Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.