Sebuah Karya Investigasi
"Beginilah jurnalisme melihat kasus Ahmadiyah, walau saya kurang berkenan dengan kehadirannya,
tetapi saya juga kurang setuju dengan kekerasan yang mereka terima, jangan melulu menyalahkan mereka,
bercerminlah terlebih dahulu, apakan kita sudah memberikan pencerahan kepada mereka.
setidaknya selama mereka masih mengakui Allah sebagai tuhan dan Muhammad sebagai utusan."
Sepintas dari saya.
Ahmadiyah, Rechtstaat dan Hak Asasi Manusia
Oleh Andreas Harsono
Bagaimana melihat pelanggaran hak-hak asasi
warga Ahmadiyah di Pulau Lombok dari aspek kenegaraan Indonesia?
Pada 2008, Zainul Majdi, cucu KH
Zainuddin Abdul Majid, pendiri Nadhatul Wathan dari Pancor, Lombok Timur,
menang pemilihan umum sebagai gubernur Nusa Tenggara Barat. Majdi usul agar
warga Ahmadiyah cari suaka dan pindah ke Australia.
II
SUATU SORE SAYA PERGI mengunjungi rumah tuan guru KH Muhammad Anwar di desa Duman, daerah Langsar, Lombok Barat. Tuan guru adalah sebutan untuk ulama Sasak. Anwar memimpin pesantren Darul Najah. Dia juga ketua Nahdlatul Ulama wilayah Nusa Tenggara Barat. Rumahnya terletak dalam area Darul Najah. Ada tiga set sofa di ruang tamu. Tembok warna hijau-biru tua. Ada buku Risalah Gerakan Ikhwanul Muslimin karya Hasan al Banna terletak di meja.
Anwar termasuk salah satu tuan guru
yang dianggap bisa bicara dengan Ahmadiyah. Syaeful Uyun, mubaligh Ahmadiyah di
Mataram, beberapa kali datang ke Duman. Anwar juga pernah datang ke Transito,
tempat pengungsi Ahmadiyah, di Mataram. Saya tanya bagaimana Anwar melihat
pengusiran Ahmadiyah di Pulau Lombok.
Saat serangan Februari 2006, Anwar bilang
dia sedang berada di Jakarta. “Banyak yang luka, cacat seumur hidup. Mereka
hanya 140an orang melawan ribuan orang … ya habis. Saya lihat di TV. Mereka
janji mengubah penampilan dan berbaur dengan masyarakat,” kata Anwar.
Bagaimana melihat sikap pemerintah dan
polisi? “Polisi kan juga menghitung. Bagaimana menghadapi suatu keributan?
Lebih mudah mengevakuasi seratusan daripada menangkap ribuan.”
Anwar berpendapat Ahmadiyah “tidak
nyambung” dengan masyarakat Sasak. “Mereka eksklusif, sering memisahkan diri,
terutama dalam ibadah sholat Jumat. Kenapa tidak mau bersama?”
Ini makin peka karena Ahmadiyah
ternyata punya pengikut di Pancor, jantung basis Nahdlatul Wathan.
Nahdlatul Wathan adalah organisasi
yang didirikan oleh KH Zainuddin Abdul Majid atau “Tuan Guru Pancor” pada 1935.
Salah satu cucunya, Zainul Majdi, menggantikan Majid menjadi ketua Nahdlatul
Wathan pada 1997. Zainul Majdi seorang doktor ushuluddin dari Universitas Al
Azhar, Kairo. Pada 2008, Zainul Majdi menang pemilihan umum sebagai gubernur
Nusa Tenggara Barat dengan dukungan Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Bulan
Bintang. Ibaratnya, Nadhatul Wathan kini sedang menikmati kebesaran pengaruh
mereka. Kehadiran Ahmadiyah di Pancor ibarat duri dalam daging Nahdlatul
Wathan.
Sejarah Ahmadiyah tak terlepas dari
Mirza Ghulam Ahmad. Dia lahir pada 1835 dari sebuah keluarga elite di Qadian,
Punjab, British India. Ketika kecil, dia belajar bahasa Arab dan Persia, serta
mempelajari macam-macam keberatan theologi Kristen terhadap Islam. Dia mendirikan
satu komunitas Muslim pada 1889. Sepuluh tahun kemudian komunitas ini dinamai
Jemaah Ahmadiyah. Dia juga dianggap sebagai Imam Mahdi.
Pada 1902-1903, Mirza Ghulam Ahmad
terlibat perdebatan, lewat surat, dengan Pendeta John Alexander Dowie dari Zion,
Illinois. Mulanya, Dowie mengatakan dia adalah pembuka jalan untuk kedatangan
kedua Kristus. Dia menjadi seorang penyembuh spiritual. Kiprah Dowie banyak
diberitakan suratkabar di Amerika Serikat, Australia, Kanada bahkan India. Ini
menarik perhatian Ghulam Ahmad. Dia mendebat Dowie dari Qadian. Kini Qadian
masuk wilayah negara Pakistan. Ahmad menuduh Dowie sebagai “nabi palsu.” Makin
hari debat makin sengit. Banyak suratkabar meliput debat mereka. Pada 1903,
akhirnya, Ghulam Ahmad kesal, menantang Dowie “duel doa.” Siapa yang mati
duluan berarti kalah.
Waktu itu, Dowie berumur 56 tahun dan
Ghulam Ahmad 68 tahun. Para pembaca perdebatan mereka menduga secara natural
Ghulam Ahmad, yang lebih tua 12 tahun, akan mati duluan. Ternyata pada 1907,
Dowie meninggal dunia lebih dulu. Ahmad meninggal pada 1908 dalam usia 72
tahun. Cerita ini sering dimasukkan dalam literatur Ahmadiyah.
Menurut Ghulam Ahmad, Ahmadiyah
merupakan bagian dari Islam. Anggota Ahmadiyah mengamalkan kelima Rukun Islam:
syahadat, sholat, puasa, zakat, haji. Ahmadiyah juga berkeinginan mendorong
dialog antar iman dan berusaha memperbaiki kesalahpahaman mengenai Islam di
dunia Barat. Mirza Ghulam Ahmad menulis lebih dari 80 buku serta mengedepankan
pendekatan non-violence. Mereka banyak berkiprah di negara-negara Barat,
termasuk menterjemahkan Al Quran ke berbagai bahasa Inggris dan sebagainya.
Pada 1925, Ahmadiyah mengutus mubaligh
Rahmat Ali dari Qadian ke Hindia Belanda. Rahmat Ali seorang alumnus
Universitas Punjab. Dia berangkat ke Sumatra atas undangan tiga mahasiswa
Minangkabau, yang belajar di Lahore, British India. Rahmat Ali mulanya tiba di
Tapaktuan, Aceh, lantas berangkat menuju Padang. Pada tahun 1926, Jemaah
Ahmadiyah resmi berdiri sebagai organisasi di Padang, dalam masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff (1926-1931). Rahmat Ali pun
pindah ke Batavia, ibukota Hindia Belanda. Langkah ini membuat perkembangan
Ahmadiyah makin cepat. Rahmat Ali banyak membaiat orang Sunda masuk Ahmadiyah.
Ahmadiyah melewati masa-masa pemerintahan pemerintahan tiga gubernur jenderal
lagi maupun zaman Jepang.
Sesudah Indonesia menggantikan Hindia
Belanda, Jemaah Ahmadiyah Indonesia diakui sebagai badan hukum pada Maret 1953.
Pada 1965-1966, ketika terjadi demonstrasi melawan kediktatoran Presiden
Soekarno, satu mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, Arif Rahman Hakim,
ditembak tentara hingga mati dekat Istana Merdeka, Jakarta, pada 24 Februari
1966. Dia seorang warga Ahmadiyah. Kini namanya sering jadi nama-nama jalan di
Pulau Jawa. Ada yang bilang dia ditembak anggota Tjakrabirawa, ada yang bilang
dia ditembak Garnisun di Lapangan Banteng.
Hubungan Ahmadiyah biasa saja ketika
Jenderal Soeharto berkuasa. MUI mengeluarkan fatwa anti-Ahmadiyah pada 1980.
Soeharto tak terlalu menggubris. Pada tahun 2000, sesudah kejatuhan Soeharto,
Presiden Abdurahman Wahid menyambut imam besar Ahmadiyah Mirza Tahir Ahmad,
cucu Mirza Ghulam Ahmad, di Jakarta. Mirza Tahir Ahmad juga bertemu dengan
Ketua MPR Amien Rais. Amien Rais menyatakan kekaguman terhadap pekerjaan
Ahmadiyah di masyarakat Barat. Pada akhir 2000, Wahid diganti oleh Megawati
Soekarnoputri dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Bapaknya, Presiden
Soekarno, tak melarang Ahmadiyah, Megawati juga tak melarang Ahmadiyah.
Keadaan berubah ketika Susilo Bambang
Yudhoyono mengalahkan Megawati dan menang pemilihan presiden pada 2004.
Pengaruh MUI berkembang cepat bersama SBY. Tembok batas antara negara dan agama
menjadi makin rendah. Pada Oktober 2005, MUI mengeluarkan fatwa pelarangan
Ahmadiyah dan minta SBY melarang Ahmadiyah.
Ada juga Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI), sebuah organisasi Islam, yang membangun koalisi dengan Forum Umat Islam,
Front Pembela Islam serta Majelis Mujahidin Indonesia. Koalisi ini secara
sistematis melakukan lobby terhadap Badan Koordinasi Pengawas Aliran
Kepercayaan Masyarakat, alias Bakor Pakem, agar melarang Ahmadiyah. Bakor Pakem
adalah sebuah forum berbagai instansi pemerintah di bawah supervisi Kejaksaan
Agung. Tujuan Hizbut Tahrir, induk dari HTI dengan kantor pusat London, adalah
mendirikan sebuah khilafah Islamiyah, macam Kesultanan Ottoman, dengan anggota
semua negara-negara Islam di seluruh dunia.
Di Jakarta, Ismail Yusanto dari Hizbut
Tahrir Indonesia mengatakan kepada saya bahwa Indonesia memang memberikan
kebebasan orang beragama tapi bukan bebas menodai Islam. Yusanto mengatakan
Ahmadiyah ajaran yang menyimpang dari Islam. Ahmadiyah menghina Nabi Muhammad
dan Al Quran. Warga Ahmadiyah punya dua pilihan: (1) Kembali ke Islam yang real;
(2) atau menyebut agama mereka sebagai Ahmadiyah. Bukan Islam. “Mazhab dalam
Islam banyak tapi Ahmadiyah bukan mazhab. Pemerintah punya otoritas untuk ambil
keputusan soal politik, ekonomi dan sebagainya. termasuk soal agama,” kata
Yusanto. Soal kekerasan, Yusanto mengatakan, “Saya mengerti kemarahan mereka
tapi tidak setuju dengan kekerasan.”
Sikap Front Pembela Islam terhadap
Ahmadiyah, disampaikan oleh KH Tubagus Abdurrahman Anwar, dalam sebuah ceramah
di Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 10
Agustus 2005. Pidato ini dimuat dalam sebuah pamflet FPI berjudul, “Ayo Ganyang
Ahmadiyah dan JIL.” Abdurrahman Anwar menerangkan mengapa kekerasan boleh
dilakukan terhadap Ahmadiyah maupun Jaringan Islam Liberal, sebuah organisasi
anak-anak muda Muslim, yang berpusat di Komunitas Utan Kayu, Jakarta.
Menurut Abdurrahman Anwar, “Apabila
harta benda dan jiwa raga seseorang terancam, maka ia berhak melakukan
bela-paksa (overmacht/noodweer). Apalagi jika yang terancam aqidah dan
keyakinannya, yang jauh lebih berharga daripada harta benda dan jiwa raga.”
Dia memberikan bukti kesesatan
Ahmadiyah:
- Ahmadiyah menyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi dan
Rasul serta sebagai Imam Mahdi dan Al Masihul Mau’ud.
- Kitab Tadzkirah berisikan pernyataan bahwa ia
adalah “wahyu yang suci.”
Pamflet itu juga memuat tanya jawab.
Misalnya, “Kenapa umat Islam tak boleh bertoleransi kepada Ahmadiyah tapi bisa
bertoleransi kepada Kristen, Budha dan Hindu?” Jawabnya, “Karena Kristen, Budha
dan Hindu adalah kafir asli sedang Ahmadiyah adalah kafir jejadian, yang
mengatasnamakan Islam untuk menyesatkan umat Islam.”
Ada juga pertanyaan soal hak asasi
manusia, “Bukankah melarang Ahmadiyah merupakan pelanggaran hak asasi manusia?”
Jawabnya, “Ahmadiyah tidak berhak menodai dan menistai ajaran Islam.
Pelanggaran mana yang lebih berat daripada penodaan dan penistaan agama?”
Di Mataram, H. Saiful Muslim, ketua
umum MUI Nusa Tenggara Barat mengatakan kepada saya, MUI tak setuju tindakan
mengusir dan membakar. “Kami berharap penyelesaian-penyelesaian tidak dengan
cara seperti itu. Tapi dikarenakan Ahmadiyah itu sangat ekslusif hingga umat
merasa risih. Kalau saja dakwahnya internal mereka dan lewat ke masjid seperti
umat Islam yang lain, itu saya kira tidak ada masalah.” Saiful Muslim juga
menyesal soal tindakan Muhammad Izzi di Ketapang. “Kami tidak setuju dengan
cara-cara seperti itu. Polisi bisa menyelidiki Muhammad Izzi.” Saya kira polisi
Mataram takkan berani memeriksa Izzi.
RUMAH KONTRAKAN MUBALIGH Syaeful Uyun terletak dekat kediaman resmi Gubernur Nusa Tenggara Barat. Logat Sundanya terasa kuat. Uyun pernah menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2008 dimana secara panjang lebar Uyun membantah kesimpulan MUI.
RUMAH KONTRAKAN MUBALIGH Syaeful Uyun terletak dekat kediaman resmi Gubernur Nusa Tenggara Barat. Logat Sundanya terasa kuat. Uyun pernah menulis surat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Mei 2008 dimana secara panjang lebar Uyun membantah kesimpulan MUI.
Uyun mengatakan fatwa MUI terlalu
didramatisir, seolah-olah Ahmadiyah tak mengakui Rasulullah sebagai nabi yang
terakhir. “Tapi saya tahu kenapa mereka melakukannya. Soalnya, isu itu adalah
isu yang sensitif. Untuk berdebat mereka tidak sanggup sehingga mereka pakai
drama. Kalau mereka menelaah Ahmadiyah secara jujur, Ahmadiyah adalah Islam.”
Menurut Uyun, kalau ada perbedaan, itu
hanya tafsir beberapa nats Al Quran. Kaum Ahmadiyah, misalnya, mewajibkan
perempuan ikut shalat Jumat. Warga Ahmadiyah juga tak dianjurkan ikut shalat
bila imamnya bukan orang Ahmadiyah.
Dalam suratnya kepada Presiden
Yudhoyono, tertanggal 5 Mei 2008, Uyun menerangkan dua macam kategori nabi
dalam khasanah Ahmadiyah. Pertama, tasyri adalah nabi yang membawa
syariah. Mereka termasuk Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan Nabi
Muhammad. Pintu kenabian tasyri sudah tertutup dan tak pernah terbuka lagi.
Muhammad adalah nabi tasyri terakhir.
Kedua, ghairi tasyri adalah
golongan nabi yang tidak membawa syariah. Golongan ini terbagi dua: mustaqil,
artinya nabi yang berdiri sendiri, menjadi nabi bukan karena mengikut nabi
lain, menjadi nabi semata-mata karena kesucian dirinya; serta nabi ghairi
mustaqil, artinya tidak berdiri sendiri, menjadi nabi karena mengikut nabi
lain, karena ketaatannya kepada seorang nabi. Kategori ghairi mustaqil
ini masih terbuka.
Dalam istilah Nahdlatul Ulama, ghairi
mustaqil diistilahkan sebagai nabi yang melaksanakan syariah Nabi Muhammad.
Statusnya, hanya pelayan Islam dan Nabi Muhammad. Dalam khasanah Ahmadiyah,
mereka termasuk Nabi Zilli, Nabi Buruzi, Nabi Mazazi, Nabi Ummati maupun Mirza
Ghulam Ahmad.
Uyun mengutip sebuah ucapan Mirza
Ghulam Ahmad dalam Tajalliyat-i-Ilahiyah, “Sesudah Nabi Muhammad SAW
tidak boleh lagi mengenal istilah Nabi kepada seseorang, kecuali bila ia lebih
dahulu menjadi seorang ummati dan pengikut dari Nabi Muhammad SAW.”
“Kita sudah usaha pendekatan pribadi,
penyelaman literatur, diskusi, seminar. Itu terus kita usahakan. Tapi opini
publik bahwa Ahmadiyah tidak mengakui Nabi Muhammad dan Quran bukan kitab suci
satu-satunya, itu begitu kuat,” kata Uyun.
Menurut Uyun, Tadzkirah bukan
kitab suci. Ia hanya sebuah buku karya seorang pengarang bernama Mirza Ghulam
Ahmad. Sumber pokok Islam ada pada Quran dan Sunnah Nabi. Dia berpendapat
kampanye bahwa Tadzkirah sebagai kitab suci lain membuat orang-orang
Ahmadiyah diusir dari kampung-kampung. “Lombok yang paling parah karena disini
masyarakat tidak bisa bedakan paham dan manusia.”
Dalam catatan Ahmadiyah, penganiayaan
paling menonjol terjadi di Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Medan, Palembang,
Kendari, Riau dan Jakarta. Di Jawa Timur juga ada tapi tidak sehebat daerah
lain. Di daerah-daerah mayoritas Kristen --Manado, Nusa Tenggara Timur, Ambon
dan Papua-- tidak terdengar ada penganiayaan. Cuma di basis Muslim di daerah Kristen,
misalnya, Kotamobagu dan Pulau Buru, terdengar ada gejolak. Jogjakarta juga tak
ada cerita penganiayaan Ahmadiyah. “Aceh dari dulu anti-Ahmadiyah cuma di Aceh
memang Ahmadiyah tidak menonjol,” katanya.
Zulkhair, seorang guru mengaji dan pengungsi
kelahiran Pancor, mengatakan, “Sudah lebih 30 tahun saya ikut Ahmadiyah, tidak
pernah saya dengar istilah Nabi Mirza.”
III
ADNAN BUYUNG NASUTION tampil rapi, kemeja lengan panjang, pantalon
hitam, sepatu boot, rambut keperakan disisir rapi. Saya jadi moderator acara
“Bang Buyung” dalam sebuah diskusi Juli lalu di Jakarta. Dia baru saja
merayakan ulang tahun ke-75 bersama keluarga dan sahabat. Mereka memberi Buyung
hadiah berupa sebuah buku. Judulnya, 75 Tahun Adnan Buyung Nasution:
Inspirator. Isinya, 48 esai karya kawan dan keluarga. Mereka termasuk
Presiden B.J. Habibie, pastor Franz Magnis-Suseno, pengacara Nono Anwar Makarim,
penerbit Jakob Oetama dan Aristides Katoppo, Jenderal Wiranto dan A.M.
Hendropriyono, ulama Ma’ruf Amin serta beberapa alumni Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia. Mereka menulis macam-macam penilaian mereka terhadap Buyung.
Dalam diskusi, saya tanya soal
bagaimana proses pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Saat itu, Buyung
adalah ketua Dewan Pertimbangan Presiden Yudhoyono. Dia termasuk orang yang
ikut melawan proses pelarangan Ahmadiyah. Buyung juga seorang pengacara hak
asasi manusia. Dia mendirikan YLBHI pada 1970an. Pada 1980an, dia studi
doktoral di Universitas Utrecht dan menulis thesis soal Konstituante 1956-1959.
Ini sebuah thesis menarik, berjudul, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di
Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959. Dalam bahasa
Belanda, “pemerintahan konstitusional” disebut rechtstaad atau “negara
hukum” dalam terminologi Indonesia.
Menurut Buyung, dia terlambat
mendengar rencana larangan Ahmadiyah. Ada dua orang Ahmadiyah, Agus Mubarik dan
Lamardi, lapor kepada Buyung. Mereka bilang pemerintah Yudhoyono sudah siap
dengan satu SK untuk membubarkan Ahmadiyah. Dilarang sama sekali di Indonesia.
Ia dimulai pada April 2008 ketika
Bakor Pakem mengeluarkan rekomendasi agar tiga menteri teken surat keputusan
bersama. Tujuannya, memberi peringatan kepada warga Ahmadiyah untuk berhenti
menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi dan mengacu pada Tadzkirah.
Tiga menteri itu adalah Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh
Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji.
“Saya kaget. Saya sama teman-teman,
aktivis semua, bilang, ‘Ini mesti distop, tidak boleh terjadi larangan
Ahmadiyah. Jika ini terjadi kita telah ikut cara-cara seperti di Pakistan:
melarang satu keyakinan agama.’ Karena kita kan negara berbhineka, semua agama
harus dihormati,” kata Buyung.
Buyung mendekati beberapa kenalannya
-- Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Asmara Nababan, Djohan Effendi, Goenawan
Mohamad, Nong Darol Mahmada, Budiman Sujatmiko, Nono Anwar Makarim, Syafii
Maarif dan banyak tokoh masyarakat lain-- untuk menghentikan kampanye
anti-Ahmadiyah. Mereka lantas menerbitkan sebuah iklan satu halaman, pada 30
Mei 2008, di beberapa suratkabar Jakarta. Judulnya, “Mari Pertahankan Indonesia Kita.” Ia juga berupa
undangan apel akbar pada 1 Juni 2008 di Monumen Nasional. Mereka menamakan
persekutuan itu Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB).
Indonesia menjamin tiap warga bebas
beragama. Inilah hak asasi manusia yang dijamin oleh Konstitusi.
Ini juga inti dari asas Bhineka Tunggal Ika, yang menjadi sendi ke-indonesia-an
kita.
Tapi belakangan ini ada sekelompok orang yang hendak menghapuskan hak asasi itu
dan mengancam ke-bhineka-an. Mereka juga mengatasnamakan umat Islam untuk
menyebarkan kebencian dan ketakutan di masyarakat.
Bahkan mereka menggunakan kekerasan, seperti yang terjadi terhadap penganut
Ahmadiyah yang sudah sejak 1925 hidup di Indonesia dan berdampingan damai
dengan umat lain.
Pada akhirnya mereka akan memaksakan rencana mereka untuk mengubah dasar negara
Indonesia, Pancasila, mengabaikan Konstitusi, dan menghancurkan sendi
kebersamaan kita.
Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas
hukum, untuk tidak takut kepada tekanan yang membahayakan ke-indonesia-an itu.
Marilah kita jaga Republik kita.
Marilah kita pertahankan hak-hak asasi kita.
Marilah kita kembalikan persatuan kita.
Ternyata apel 1 Juni 2008 berubah menjadi peristiwa berdarah. Puluhan milisi
berbendera Islam –termasuk Front Pembela Islam, Laskar Mujahidin, Gerakan
Reformasi Islam—menggunakan kekerasan untuk membubarkan apel tersebut. Mereka
kelihatannya dipimpin Munarman, seorang pengacara, aktivis Hizbut Tahrir serta
mantan murid Buyung di YLBHI. Munarman disebut “panglima” para laskar itu.
Mereka menyerang dan memukul puluhan warga Ahmadiyah dan aktivis AKKBB di
Monumen Nasional. Peristiwa ini diliput besar-besaran oleh televisi. Saya
melihat Ahmad Suaedy, direktur Wahid Institute, dipukul mukanya dengan sebilah
bambu. Tahir Ahmad, seorang warga Ahmadiyah, menderita gegar otak. Puluhan ibu
Ahmadiyah lari dari sergapan laskar.
Belakangan Munarman ditangkap polisi.
Polisi juga menangkap Habib Rizieq Syihab dari Front Pembela Islam dengan
tuduhan menghasut dan menyebarkan kebencian. Oktober 2008, pengadilan Jakarta
Pusat menghukum Munarman 1.5 tahun penjara karena tindakan kekerasan. Rizieq
Syihab juga dihukum 1.5 tahun dan mengajukan banding. Pengacaranya, Mirza
Zulkarnaen, mengatakan Rizieq Shihab tak pernah menganjurkan kepada anak
buahnya untuk melakukan tindakan rusuh di Monumen Nasional.
Sebagai penasihat presiden, Buyung
bertemu langsung dengan Presiden Yudhoyono. Buyung menjelaskan bahaya kalau
Ahmadiyah dibubarkan. “Ahmadiyah ini satu keyakinan orang, walaupun mereka
berbeda akidah dengan Islam lainnya, tapi itu urusan internal teologi Islam.
Bukan bidang pemerintah. Tiap agama secara teologis di dalamnya ada perbedaan.
Lihat di Katolik berapa banyak sekte di Katolik? Lihat di Protestan, berapa
banyak sekte-sekte? Jadi tidak bisa kita mengadili, mengatakan ini yang paling
benar. Karena itu saya bilang tidak boleh ini terjadi.”
“Alhamdulillah Presiden memahami. Jika
satu ini diizinkan, besok mereka menuntut lebih hebat lagi. Habis semua
dibabat.”
Yudhoyono sepakat, “Oke, Bang Buyung,
saya setuju tidak boleh keluar larangan.”
Namun Yudhoyono minta Buyung bicara
dengan ketiga menteri itu. Pertemuan pun diselenggarakan oleh Menteri
Sekretaris Negara Hatta Radjasa, sebagai moderator. Maka berdebatlah Buyung
dengan tiga menteri, selama tiga atau empat jam.
“Kita kan mendirikan satu negara, satu
tanah air, satu bahasa, tidak negara Islam. Dan itu mesti baca di Konstituante,
perdebatan yang paling lengkap. Tapi periode 1956-1959 itu oleh Soekarno
dianggap jelek kan? Periode zaman demokrasi liberal. Jadi nggak ada yang bagus,
semua buruk, termasuk Konstituante. Saya memberi perhatian Konstituante sebagai
topik perdebatan. Jadi kalau baca di situ penolakan terhadap negara Islam itu
kuat sekali. Pada waktu voting, partai Islam yang mendukung itu kalah terhadap
yang lain-lainnya: Islam, Kristen, nasionalis, apapun semua menolak. Dan
penolakan itu terjadi juga kemarin pada waktu amandemen UUD 1945. Ada lagi usaha
yang mau masukkan Piagam Jakarta, ditolak lagi.”
Buyung mengacu pada perdebatan dalam
sidang-sidang Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan Republik Indonesia, atau
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, pada Mei-Agustus 1945 dimana ada diskusi soal
pilihan dasar negara Indonesia: Islam atau sekulerisme atau Pancasila. Pada 18
Agustus 1945, dicapai kompromi dengan menghilangkan tujuh kata soal syariah
Islam pada pembukaan UUD 1945. Komprominya, Pancasila. Kompromi sementara
karena diskusi tak bisa tuntas berhubung sedang masa gawat, pasca Perang Dunia
II, kerajaan Belanda ingin mengambil alih Hindia Belanda dari tangan Jepang.
Padahal Soekarno dan Moh. Hatta sudah menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada
1949, Belanda menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia
Serikat. Debat ini dilanjutkan pada sidang-sidang Konstituante 1956-1959. Ia
juga tak tuntas karena Presiden Soekarno membubarkan Konstituante. Buyung
menulis soal perdebatan ini pada thesis di Universitas Uthrect. Pada 1999, saat
sidang umum MPR, sekali lagi isu syariah Islam ini muncul.
Singkatnya, ketiga menteri itu
menerima pendirian Buyung. Persoalannya, keputusan kabinet sudah terlanjur
keluar. Surat keputusan tetap harus keluar. Maka mereka sepakat bikin surat
keputusan tapi tidak membubarkan Ahmadiyah. Namun Ahmadiyah tak boleh
menyebarkan siar ajaran mereka di luar masyarakat Ahmadiyah.
Saya ingat apa yang dikatakan Syaeful
Uyun. Menurut Uyun, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah sebenarnya toleran
terhadap Ahmadiyah. “Amien Rais sangat toleran terhadap Ahmadiyah. Syafii
Maarif juga begitu,” katanya. “Nahdlatul Ulama, secara kelembagaan juga begitu,
tapi ada person-person NU, termasuk Ma’ruf Amin, yang anti-Ahmadiyah. Sahal
Mahfudz, ketua MUI, tidak begitu. NU sangat toleran. Gus Dur bahkan membela
Ahmadiyah.”
Menurut analisis Uyun, organisasi yang
paling anti Ahmadiyah adalah Hizbut Tahrir. Uyun berpendapat Hizbut Tahrir
ingin menggiring warga Muslim di Indonesia untuk mendirikan negara Islam. Isu
Ahmadiyah hanya dijadikan kendaraan Hizbut Tahrir untuk membuat “umat Islam” di
Pulau Jawa dan sekitarnya lebih radikal. “Kalau pemerintah Yudhoyono tak
waspada, sekarang eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa riskan. Konsep
khilafah HTI sama dengan yang di Turki.”
“Indonesia sejak awal berdiri telah
sepakat didirikan sebagai negara-bangsa dan didirikan di atas segala macam
perbedaan –suku, agama, kepercayaan, adat istiadat. Oleh karena itu Indonesia
punya filsafah, Bhinneka Tunggal Ika.”
“Orang Turki sendiri tidak
mengharapkan khilafah. Kok orang Indonesia yang gegap gempita!”
SK Ahmadiyah muncul pada 9 Juni 2008,
seminggu sesudah penyerangan di Monumen Nasional. Menteri Dalam Negeri
Mardiyanto, Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Jaksa Agung Hendarman Supanji
mengumumkan SK No. 3 Tahun 2008 tentang “Peringatan dan Perintah kepada
Penganut, Anggota dan/atau Pengurus Jemaah Ahmadiyah Indonesia.” Isinya,
memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga Ahmadiyah untuk menghentikan
“penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama Islam.” Hukuman penjara maksimal lima tahun diberikan kepada orang yang
melanggar SK tersebut.
Human Rights Watch dari New York
protes. Mereka mengingatkan bahwa Indonesia sudah meratifikasi International
Covenant on Civil and Political Rights pada Februari 2006. Artinya, Indonesia
setuju dengan semua isi traktat internasional itu. Pasal 18 dari traktat itu
menyebut, “No one shall be subject to coercion which would impair his
freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice.” Pasal 27
menyebut, “… persons belonging to ... minorities shall not be denied the
right, in community with the other members of their group, to enjoy their own
culture, to profess and practice their own religion.”
SK No. 3 Tahun 2008 secara tersurat
melanggar International Covenant on Civil and Political Rights. Ia juga
melanggar Undang-undang Dasar 1945 pasal 28E. Bunyinya, "Setiap orang
bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya .... Setiap orang berhak
atas kebebasan menyakini kepercayaan ... sesuai hati nuraninya."
Sidney Jones dari International Crisis
Group menyatakan, “The Yudhoyono government made a serious error in 2005 by
inviting MUI to help shape policy. It opened the door for hardline groups to
press for greater state intervention to define orthodoxy and legislate morality.”
Adnan Buyung Nasution mengatakan dia
sudah berusaha maksimal dari dalam sistem pemerintahan Yudhoyono guna mencegah
makin merendahnya tembok antara agama dan negara. Dia berpendapat bila SK
Ahmadiyah dianggap melanggar traktat internasional dan UUD 1945, dia melihat
ada dua jalan hukum: warga sendiri bisa bertindak, melakukan class-action, citizen
lawsuit, menggugat Menteri Dalam Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung.
“Mudah-mudahan pemerintah yang baru
lebih tegas,” katanya.
|
Para pengungsi
Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ukuran tempat
tinggal mereka adalah dua meja per keluarga. Dapur ada di luar ruang. Mereka
punya tanah dan rumah di Gegerung namun tak bisa menempati hak tersebut .
IV
PADA MARET 2009, selama dua minggu, saya mengunjungi para pengungsi
Ahmadiyah di Transito, satu bangunan pemerintah di Mataram. Ia terletak di
sebuah jalanan sepi. Depan Transito ada warung kecil, jualan kopi, teh, soda,
biskuit, sabun, minyak kayu putih, pisau cukur, kacang goreng. Cidomo terlihat
hilir mudik. Namanya, Jalan Transmigrasi. Di depan Transito ada perusahaan
percetakan Agil Akbar Grafindo merangkap kantor harian umum Warta NTB. Juga ada
papan nama PT Windu Sarana Development: mengirim TKI ke Hong Kong, Singapura,
Malaysia.
Nama daerah ini adalah Majeluk.
Asalnya, dari kata Sasak “jeluk” atau “jemur.” Zaman Jepang, Majeluk adalah
tempat tahanan-tahanan mati disiksa dan dijemur. Ada pohon waru, pohon akasia,
pohon ketapang yang mekar, tempat berteduh. Asrama Transito dibangun pada 1974
untuk calon transmigran Sasak, guna dikirim ke Kalimantan, Papua, Sulawesi dan
Sumbawa.
“Daerah Majeluk ini aman. Dulu ada
yang mau bikin kisruh tapi kita itu sama-sama manusia. Apapun tingkah laku, itu
urusan dia. Kampung Majeluk ini tidak mau rusuh apapun,” kata Mohammad Achir,
warga Majeluk, seorang sopir truk. “Orang-orang Ahmadiyah paling aman disini.
Tidak ada yang mau mengusir,” katanya. Di Majeluk juga ada beberapa rumah orang
Hindu.
Di dalam, saya bertemu Nur Hidayati.
Dia menunjukkan saya tempat tinggalnya. Kamar hanya untuk orang dewasa,
anak-anak dan gadis. Kamar mereka masing-masing hanya seukuran dua bangku.
Sekat kamar dari kain sarung, yang dibuka jahitannya. Anak lelaki yang sudah
besar, tidur di musholla. Dapur terletak di luar bangunan. Ada sebuah ruang
dipakai sebagai musholla.
Nur Hidayati sendiri seorang perempuan
muda, umur 20 tahun. Dia baru menikah tujuh bulan, dengan Abdullah, sesama
pengungsi dan tukang cukur rambut. Ketika remaja, rumah Nur di Selong, Lombok
Timur, dibakar. Mereka diusir. Pengurus Ahmadiyah memutuskan memindahkan semua
anak-anak Ahmadiyah ke tanah Priangan di Pulau Jawa.
Pertimbangannya, sekolah mereka tetap
jalan sementara orang tua mereka mengatur kehidupan yang porak-poranda. Nur
mengatakan sebuah bus Safari Dharma Raya, penuh dengan anak, membawa mereka ke
Priangan. “Kami ditempatkan di keluarga-keluarga Ahmadiyah di Tasikmalaya,”
katanya.
Namun, banyak anak yang tak kerasan.
Ada yang tidak naik kelas. Jauh dari orang tua dan perbedaan budaya, bahasa
Sunda dan bahasa Sasak, membuat mereka perlu waktu guna adaptasi. Nur dijemput
orang tua dan kembali ke Mataram. Dia melanjutkan sekolah di SMP dan SMA
Muhammadiyah, Mataram.
“Kami tidak eksklusif. Buktinya? Saya
sekolah di Muhammadiyah. Dibilang selalu menyendiri, itu karena mereka tidak
lihat kesini. Kami selalu terbuka. Tuan Guru Anwar … Maulud Nabi kemarin beliau
kesini,” katanya.
Khairuddin, pengungsi asal Selong,
cerita bahwa dua dari tiga anaknya lahir di pengungsian. Isterinya hamil muda
saat mereka diusir dari Selong. Anak pertama, Hafiz Qudratullah, mengalami
trauma. Pelajaran turun drastis. Hafiz sempat tak naik kelas. Dia sering
melamun, kadang teriak, “Orang jahat. Orang jahat. Mengapa rumah dibakar?”
Anak kedua, Rafiq Wahyu Ahmadi, sering
bermimpi, “Orang jahat dobrak pintu dan teriak, ‘Serbu, serbu.’ Kalau tidak
cerita, Rafiq menangis, tapi kalau sudah cerita, dia jadi tenang,” kata
Khairuddin.
Saya sedih melihat anak-anak Ahmadiyah
yang sudah 5-10 tahun hidup dalam pengungsian. Syahidin dari Bayan mengatakan
ada 10 bayi lahir di Transito sejak pengusiran dari Gegerung, “Anak bungsu saya
diberi nama Muhammad Khatamann Nabiyin … juga lahir di Transito.” Syahidin
menerangkan bahwa dalam bahasa Arab, khatam artinya pemungkas. Nabiyin artinya
nabi. Muhammad Khatamann Nabiyin berarti Muhammad adalah nabi pamungkas. Ini
menegaskan bahwa kaum Ahmadiyah mengganggap Nabi Muhammad sebagai nabi
pamungkas.
Ketika hendak meninggalkan Transito,
saya tanya pada Nur Hidayati bagaimana rasanya hidup delapan tahun di
pengungsian, tumbuh besar dalam ketakutan. Dia terdiam. Kami melihat anak-anak
lelaki riuh main sepak bola di halaman Transito. Nur lantas menjawab lirih,
“Apa yang dirintis orang tua memang hilang: harta, rumah, tanah. Tapi ini tidak
menggoyahkan iman kami.”
“Iman kami tidak goyah.”
***
Jamila Trindle, seorang wartawan televisi
Philadelphia, Lexy Rambadeta dari Offstream, serta Andreas Harsono, pergi ke
Pulau Lombok guna meliput para pengungsi Ahmadiyah pada Maret 2009. Liputan
diadakan oleh International Center for Journalists serta disponsori Carnegie
Corporation. Naskah ini, dalam bentuk lebih singkat, dimuat majalah Gatra
"Mereka Yang Teraniaya dan Terusir" pada
Februari 2010. Andreas Harsono ikut menandatangani petisi Aliansi Kebangsaan
untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan.
|
0 comments:
Post a Comment