"ini merupakan artikel headline majalah Momentum edisi III yang waktu itu mengambil tema universitas riset. saat dulu belum memahami cover booth side. Masih terkesan menjelekkan daripada mengkritisi. Tetapi ini semua akan menjadi kenangan dan pelajaran berharga untuk tulisan - tulisanku kedepannya.
terimakasih banyak Momentum, walau kalian suatu saat tak akan mampu mengingat, aku disini akan tetap mengingatmu." Ghost Writer (nama pena).
Tembok Terjal Menuju 2020
Pada tahun 2020, Undip merupakan Universitas Riset yang unggul. Begitulah kalimat visi undip tertera untuk tujuh tahun kedepan. Dan jika yang diharapkan nanti ialah riset yang berkelas internasional, maka dibutuhkan setidaknya 50 lulusan Doktor dan alokasi dana penelitian minimal 15,5 juta dolar amerika tiap tahunnya. Faktanya, perkembangan lulusan doktor yang masuk ke undip belumlah memenuhi angka minimal 50 orang tiap tahunnya.
Untuk tahun
2009 lalu jumlah dosen berpredikat Doktor di Undip hanya 263 orang dari total
1675 orang dosen tetap. Hanya bertambah 63 orang dalam kurun waktu 5 tahun
mulai dari 2005 – 2009 (sumber : Renstra Undip 2010-2014). Rata – rata hanya
bertambah 13 dosen Doktor tiap tahun.
Sejauh ini (Januari 2013) undip hanya memiliki 422
Doktor, 24,9% dari total 1692dosen. Bertambah 159 orang sejak 2009. Sehingga rata
– rata 40 dosen Doktor masuk Undip tiap tahunnya. Namun angka 24,9% hanya bisa
memenuhi critical mass (batas
minimal) yakni 25%. Padahal syarat yang diajukan Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi (BAN-PT) setidaknya ada 50% Doktor dari total dosen yang ada.
Untuk Akreditasi saja Undip masih belum
memenuhi, dipastikan harus bekerja lebih keras lagi untuk memenuhi kualifikasi
universitas riset unggul. Kondisi mahasiswa Doktor atau
S3 di Undip pun tak jauh berbeda. Sejauh ini Undip hanya memiliki 8 program Doktor
, 2 diantaranya dari fakultas teknik. Yakni program Doktor teknik sipil dan
program Doktor teknik arsitektur dan perkotaan.
Hingga periode akademik tahun 2012/2013, jumlah
mahasiswa pasca sarjana S2 dan S3 Undip hanya 5.968 mahasiswa. Masih sangat
jauh jika di bandingkan jumlah mahasiswa sarjana yang mencapai 39.134
mahasiswa. Mengingat
aspek penelitian merupakan komponen terpenting pada program S2 dan S3, maka
sudah selayaknya jumlah mahasiswa program pasca sarjana lebih besar dari
program S1.
Doktor baik
itu dosen maupun mahasiswa, sama – sama berperan besar sebagai motor penggerak utama
sebuah universitas riset. Seperti yang diungkapkan kepala unit penelitian dan
pengabdian masyarakat fakultas teknik, Rusnaldy, S.T.,M.T., PhD.
“kalau kita bicara universitas unggul, kita tidak
boleh lagi bertumpu pada hasil riset mahasiswa S1, tetapi sudah harus bertumpu
pada hasil riset mahasiswa S3. Karena merekalah motor penggerak utama riset
unggul, seperti yang terjadi di negara – negara maju.” terangnya.
Rusnaly menambahkan bahwa kewajiban mahasiswa Doktor-lah
membuat suatu penemuan .“seorang Doktor harus bisa menemukan sesuatu yang
berbeda dan bisa dibilang inovatif. Baik itu metodenya, materialnya, prosesnya,
maupun hasilnya” tutur dosen Doktor teknik mesin lulusan Yeungnam University,
Seoul tersebut.
Mengingat peran Doktor sangatlah penting untuk
memajukan riset. Terutama hasil riset berupa jurnal – jurnal ilmiah, yang
menjadi literatur terutama bagi mahasiswa sarjana. Kurangnya kuantitas Doktor ini sangat dirasakan Arliandy
Pratama Arbad, mahasiswa sarjana teknik geodesi yang berhasil merebut juara II PPRI yang diadakan LIPI beberapa
waktu lalu. Ia mengeluhkan sulitnya mencari Doktor yang bisa dijadikan
pembimbing untuk penelitiannya.
“Susah mencari Doktor disini (Fakultas Teknik ,red).
Padahal kita susah menjalankan riset kalau tanpa pembimbing yang handal.”
ungkap ketua FST (Forum Studi Teknik) tahun 2013 tersebut.
Masalah
serius terjadi pula pada sisi anggaran. Dari standar minimal 15,5 juta dolar amerika
atau sekitar 142,6 miliar rupiah (1 USD = 9.200 IDR), ditahun 2012 Undip melalui
LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) hanya mampu menganggarkan 5 miliar rupiah.
Ideal nya minimal riset mendapat alokasi 5% dari
dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Undip. “harusnya anggaran riset
minimal 5%” ungkap Okto
Risdianto Manullang. Dosen planologi yang juga pemerhati riset di Undip.
Nominal
tersebut masih jauh dari universitas lain, sebut saja UNS (universitas negeri sebelas
maret, Solo). Seperti yang diungkapkan Ketua LPPM UNS Prof Sunardi. Ia
mengungkapkan jika tahun 2012 UNS mengalokasikan dana penelitiannya 10% dari
total PNBP sebanyak 28 miliar rupiah.
Angka
yang cukup fantastis untuk sebuah universitas yang tidak menjadikan riset
sebagai visinya. Sedang Undip yang mencanangkan visi universitas riset unggul 7
tahun mendatang hanya mampu menganggarkan seperlima dari yang dianggarkan UNS.
Fakultas
teknik yang merupakan fakultas terbesar di Undip, melalui unit penelitian dan
pengabdian masyarakat (UPPM) hanya mampu menganggarkan 2,5 miliar pada tahun 2012. Hanya bertambah
8,7 % dari yang dianggarkan dua tahun sebelumnya, yakni sebesar 2,3 miliar.
Angka
tersebut masih jauh dari apa yang diterima fakultas teknik melalui kerjasama
dengan berbagai instansi dan hibah. Baik itu dari Dikti melalui hibah bersaing,
hibah pekerti, hibah pasca, penelitian dasar, juga dari Menristek maupun dari
Dinas Pendidikan Jawa Tengah. Hal
ini terjadi pada tahun 2009 lalu, fakultas teknik yang menganggarkan total dana
penelitian Rp. 6,15 Milar rupiah, hanya 965 juta yang dari dana fakultas,
selebihnya dari hibah dan kerjasama.
Mesti
hal tersebut menunjukkan minat pihak luar terhadap riset di Undip begitu besar,
tetapi idealnya pihak Undip sendiri mestinya mengalokasikan dananya lebih besar
dari pihak instansi dari luar. Karena kerjasama dari luar tidak bersifat
kontinu.
Hal
senada diungkapkan Dr. Bagus Hario Setiadji, ST., MT. selaku koordinator UPPM bidang penelitian fakultas teknik Undip
tahun 2012. Ia mengatakan bahwa besar kecilnya anggaran merupakan salah satu
faktor penting yang menentukan berkembangnya suatu iklim riset.
“Sejauh
ini hanya riset – riset kecil yang bisa dilaksanakan. Karena terbentur masalah
dana jika hendak melakukan riset dalam skala besar. Hasilnya juga kurang
maksimal” ungkap Bagus saat dijumpai di ruang kerjanya di laboratorium
transportasi teknik sipil.
Bagus
menambahkan, bahwa saat ini kita tak ubahnya bagai pungguk yang merindukan
bulan. Target kita jauh kedepan tetapi kita memulai dari awal tanpa persiapan
dan penunjang yang cukup. Masalah
sepertinya tak hanya mencakup kedua hal diatas, termasuk infrastruktur
penunjang juga turut menjadi sorotan. Laboratorium tiap jurusan yang ada belum sepenuhnya lengkap dan merata.
Difakultas
teknik sendiri, hanya jurusan besar dan yang telah lama ada yang bisa dibilang
memenuhi. Misalnya di jurusan teknik sipil, kimia, dan mesin. Padahal
pemerataan pembangunan infrastruktur mutlak diperlukan agar perkembangan iklim
riset juga ikut merata.
Beberapa
waktu lalu bahkan sempat terjadi insiden di laboratorium milik diploma III
teknik sipil di kalisari, Semarang. Kepala seorang mahasiswa tertimpa eternit yang
rapuh termakan usia saat praktikum berlangsung (baca persmomentum.com : http://persmomentum.com/2012/06/ironis-eternit-runtuh-saat-praktikum/) . Hal ini tentu
sangat disayangkan.
Masih
menurut Bagus, selain laboratorium di tiap jurusan, kebutuhan laboratorium terpadu
untuk mengintegrasikan berbagai macam riset juga sudah menjadi suatu kewajiban. Satu langkah apresiatif sudah dilakukan Undip
dengan membangun gedung laboratorium terpadu bersebelahan dengan gedung training centre.
gedung ict undip |
Padahal riset model
interaksi antar disiplin ilmu sangat diperlukan dewasa ini. Hal ini tak luput
dari perhatian Bagus, ia mengutarakan bahwa masalah - masalah yang kini kita hadapi makin komplek, jadi diperlukan
kerjasama antar disiplin ilmu untuk mengatasinya.
“Interaksi riset antar
disiplin ilmu sangat diperlukan untuk mencari solusi masalah yang dihadapi
masyarakat. Mengingat masalah yang dihadapi semakin lama semakin ruwet (komplek, red)“ terang Doktor
kelahiran Jogja lulusan National
University of Singapore tersebut.
Riset kita selama ini juga masih
belum fokus. Kearah mana riset yang
hendak dituju Undip. Seperti yang diungkapkan Arliandy, saat ini riset yang
sedang dijalankan masih kemana – mana, belum ada satu tujuan khusus.
Berbeda dengan apa yang
terjadi di universitas lain di indonesia yang telah memiliki fokus tertentu “lihat
bagimana UI identik dengan ekonominya, ITB dan ITS dengan teknologinya.” jelas
mahasiswa asal lampung tersebut. Jadi perlu sosialisasi kejelasan
fokus riset yang seperti apa yang mau dituju. Agar riset yang selama ini
dilakukan bisa lebih terarah serta menjadi suatu ciri khas yang bisa
dibanggakan Undip.
Harus Bekerja
Keras
Sekarang
sudah menginjak tahun 2013, dua tahun lagi deadline Research University Embryo sudah harus dipenuhi. Setumpuk masalah harus segera di
selesaikan. Apa yang menjadi target
ditahun 2015 harus segera direalisasikan. Karena saat itu lah fase pembentukan
karakter sudah harus ditanamkan. Jika wilayah pesisir merupakan
opsi paling pas untuk dijadikan karakter Undip, mengingat wilayah semarang yang
meliputi daerah pesisir, maka mulai dari sekarang perlu dilakukan pemfokusan
riset pada satu arah tersebut.
Sehingga, saat pemerintah
mencari tokoh kebijakan fiskal ke UI, ahli mesin otomotif ke ITS dan ITB, maka
saat pemerintah hendak mangkaji masalah pesisir yang luasnya mencapai 70% lebih
dari total luas wilayah indonesia, pemerintah akan lari ke Undip. Saat itulah tujuan riset
untuk memajukan bangsa dapat terlihat jelas. “... Melalui ide, gagasan, solusi
maupun inovasi pembangunan.” tandas Okto dengan sumringah.
(artikel ditulis diakhir tahun 2012)
0 comments:
Post a Comment