Bacaan Jurnalisme Investigasi
oleh farid gaban
Dengan umurnya yang 58 tahun, otot dan tulang Ado Tadulako nampak kokoh, meski kulitnya mulai keriput oleh sengatan terik matahari pantai Sangatta, Kalimantan Timur. Dia masih gesit mengendalikan sampan kecil bermotor tempel menyusuri muara dangkal Sungai Labuhan.
”Ikan
dan kepiting sempat menghilang dari pantai ini,” katanya. ”Tapi, mulai
berdatangan lagi setelah kami tanami pohon bakau.”
Dari
mulut Sungai Labuhan, laut lepas yang biru mulai kelihatan. ”Itu sapo kami,”
kata Ado . Sapo
adalah kata lain untuk rumah di atas air pesisir. Sapo milik Ado seperti menara yang menjulang di tengah
kebun bakau yang masih muda, seperti kebun anggur di atas air layaknya. Jika
siang, Ado
biasa mengunjungi sapo, membawa satu-dua dari tujuh cucunya, mengawasi budidaya
ikan kerapu, dan mengamati pertumbuhan tanaman bakau berhektar-hektar. ”Perlu
puluhan tahun agar pantai ini menjadi lebat kembali,” katanya.
”Waktu
saya kecil, hutan bakau di pesisir ini masih rimbun,” katanya. ”Tapi kini hanya
tersisa sekitar 10% saja. Hutan bakau ditebangi untuk membuka tambak udang.”
Dusun
Teluk Lombok kini masuk wilayah Desa Sangkima, Kecamatan Sangatta, Kabupaten
Kutai Timur. Berpenduduk 120 keluarga (atau 320 jiwa) secara keseluruhan dusun
ini masuk wilayah Taman Nasional Kutai.
Penduduk
awal Teluk Lombok tinggal di tepi pantai dengan mata pencaharian utama menjadi
nelayan. Tapi, hilangnya hutan bakau tak hanya mengusir ikan belanak, baronang
dan kerapu, tapi juga membahayakan hidup mereka. Air laut terus menggerus
pantai dan memakan fondasi rumah-rumah mereka.
Abrasi
telah memaksa rumah penduduk berkali-kali diangkat menjauhi bibir pantai.
Setelah mengalami beberapa kali perpindahan, akhirnya penduduk memutuskan untuk
benar-benar pindah menjauh dari tepi pantai, ke daerah yang ditempati sekarang,
sekitar satu kilometer dari air laut.
Kerusakan
hutan bakau merupakan salah satu problem lingkungan serius, tak hanya di
Pesisir Sangatta, tapi juga di seluruh Kalimantan Timur, bahkan pulau-pulau
lain di Indonesia.
Hutan
bakau di pantai Propinsi Kalimantan Timur, yang panjang seluruhnya mencapai
1.000 km, terus menyusut tajam. Salah satu yang kerusakan terparah terjadi di kawasan
Delta Mahakam, tempat hutan bakau yang tadinya seluas 150.000 hektar kini hanya
tersisa sekitar 20.000 hektar saja.
Di
banyak pulau lain, kerusakan serupa terjadi. Di pantai Denpasar, Bali , misalnya, hutan bakau seluas 7,5 hektar disulap
menjadi kompleks pertokoan terbesar di Asia Tenggara. Di Pulau Bakung, Riau,
hutan bakau yang pada 1993 seluas 18.000 hektar, kini hanya tersisa 15% saja.
Di pesisir Gorontalo, Sulawesi , hutan bakau
menyusut hampir separuhnya dalam kurun dua puluh tahun.
Di
pesisir Aceh, kerusakan hutan bakau telah menjadi malapetaka tersendiri. Ketika
tsunami besar menerjang, desa-desa tepi pantai telanjang tak memiliki
pelindung, membuat korban tewas demikian banyak. Sekitar 75% hutan bakau seluas
36.000 hektar musnah dalam dua dasawarsa terakhir.
Masyarakat
Teluk Lombok tahu benar pelajaran alam seperti itu. Berkat kunjungan sejumlah
aktivis lingkungan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat pada akhir 1980-an,
penduduk Teluk Lombok mulai mengetahui rahasia abrasi laut: yakni hilangnya
hutan bakau. Tapi, baru setelah reformasi, pada 2003, mereka mulai serius
bertindak.
Kesadaran
baru ini muncul setelah mereka belajar mengorganisasikan diri dan mencari jalan
keluar bersama melalui pertemuan-pertemuan desa. Kegiatan mereka didukung oleh
Yayasan Bina Kelola Lingkungan, atau yang lebih dikenal sebagai Bikal. Yayasan
ini dibantu oleh Program Kehutanan Multipihak (Multi-stakeholders Forestry
Programme - MFP), sebuah program kerjasama antara lembaga Inggris Department
for International Development (DFID) dengan Departemen Kehutanan RI .
Pada
2003, Bikal mengajak beberapa penduduk Sangkima berkunjung ke Sulawesi Selatan
untuk melihat bagaimana masayarakat sebuah desa pesisir berhasil memulihkan
hutan bakaunya. Salah satu peserta dalam kunjungan itu adalah Usman, anak tertua
Ado , yang
setahun kemudian mewarisi bapaknya dalam mempelopori rehabilitasi hutan bakau
di Sangkima.
Sepulang
dari Sulawesi Selatan, Usman mulai mencari bibit dan menanam kembali bakau
secara swadaya. “Semula saya dianggap orang gila,” kata Usman. Tapi, kenekadan
Usman tak hanya berarti untuk pelestarian hutan bakau di desanya, melainkan
juga punya nilai ekonomi. Usaha pembibitan bakau mulai menghasilkan uang. Pada
awal 2004, ketika warga setempat sepakat membentuk Kelompok Tani Pangkang
Lestari, Usman terpilih menjadi ketuanya. Nama Pangkang diambil dari bahasa
mayoritas penduduk setempat, yang artinya “bakau”.
Pada
tahun itu kelompok tani tadi dipercaya untuk menyediakan bibit guna memenuhi
kebutuhan pemulihan hutan bakau di Teluk Lombok
melalui Gerakan Rehabilitasi Lahan seluas 10 hektar. ”Kami bahkan menambah luas
program ini dua hektar karena melihat lahan kosong yang bisa kami tanami,” kata
Usman.
Semula
dicemooh, kegiatan pembibitan bakau di muara Sungai Labuhan kini meluas
melibatkan lebih banyak warga, perempuan dan anak-anak sepulang mereka dari
sekolah. ”Seperti pasar jika musim mencari bibit,” kata Usman. ”Orang ramai datang
ke sini membawa radio mereka.” Secara bisnis mereka mendapat dukungan dari
Mitra Kutai, sebuah konsorsium community development yang dimotori
perusahaan-perusahaan swasta di Kutai Timur.
Hadirnya
kembali hutan bakau telah membangkitkan jenis usaha-usaha lain bagi masyarakat
setempat. Ikan dan kepiting datang lagi ke pantai mereka. Kelompok Tani
Pangkang Lestari pun mulai tertarik melakukan budidaya penggemukan kepiting
dengan sistem keramba apung. Pengetahuan tentang budidaya ini diperoleh di
daerah Kariangau, Balikpapan ,
melalui studi banding pada 2003.
Tapi,
budidaya kepiting sering menyisakan produk yang cacat atau tidak lengkap bagian
tubuhnya. Kepiting cacat ini tidak bisa dijual, atau harganya sangat murah.
Kaum perempuan Kelompok Tani belakangan mulai belajar pula bagaimana
memanfaatkan barang murah ini agar lebih bernilai. Mereka mulai membuat usaha
kerupuk kepiting. Kini usaha kerupuk kepiting mereka telah mendapatkan nomor
registrasi sesuai standar dinas kesehatan dan telah melalui uji keamanan pangan
di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) Samarinda. Dengan kerupuk
kepitingnya, pada 2005, kelompok tani ini mewakili Provinsi Kalimantan Timur
dalam lomba nasional teknologi tepat guna.
Program
ini memicu proses pembelajaran lebih jauh dengan melibatkan kaum perempuan
anggota kelompok, dan secara tak langsung meningkatkan kesadaran kelompok
perempuan untuk bisa lebih berpartisipasi dalam pengembangan usaha keluarga dan meningkatkan kemampuan kaum
perempuan dalam manajemen organisasi kelompok, serta partisipasi lebih luas di
masyarakat.
”Meski
hidup di dalam Taman Nasional, masyarakat setempat belajar bagaimana
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu tanpa merusak hutan,” kata Mukti Ali Azis,
Direktur Pelaksana Yayasan Bikal. ”Jika ekonomi mereka membaik, godaan untuk
merusak Taman Nasional mengecil.”
Usaha
bisnis berkembang lebih luas lagi. Program budidaya rumput laut dimulai pada
Agustus 2005, dan memicu proses belajar yang lain. Kaum perempuan kelompok tani
berinisiatif untuk membuat aneka produk olahan dari rumput laut, antara lain
penbuatan puding dan es rumput laut. Bersama dengan kerupuk kepiting, aneka
produk rumput laut ini juga pernah dipesan oleh PT Kaltim Prima Coal dalam
pelaksanaan bazaar besar setempat.
Meski
secara ekonomi hasilnya belum memuaskan, Teluk Lombok telah benyak memicu
inovasi dan menjadi laboratorium hidup bagi masyarakat setempat dalam
mengembangkan ekonomi dan melestarikan hutannya.
“Kami
ingin terus mengembangkan usaha-usaha ini,” kata Usman. Kelompok Tani Pangkang
Lestari berusaha memperluas jaringan pasar untuk produk-produk unggulan
kelompok, seperti kerupuk kepiting, rumput laut dan aneka produk olahan rumput
laut. Bekerjasama dengan kelompok tani dari lain, mereka juga berencana
membudidayakan teripang.
Belajar
bersama tiada henti. Dalam usia tuanya, Ado Tadulako bisa tersenyum bangga.
“Saya bisa menyaksikan masyarakat desa ini berinisiatif dan tumbuh,” katanya.
”Saya sendiri sering diundang ke beberapa daerah di Indonesia untuk berceramah tentang
pelestarian hutan bakau.”
0 comments:
Post a Comment