Udara dingin begitu kerasa dimalam
itu. Hujan rintik tengah meliputi seluruh daerah tembalang dan sekitar. Masih begitu
jelas dalam ingatan, bagaimana tetesan hujan terlihat jelas oleh pancaran sinar
lampu jalan, tepat di pojok masjid samping kontrakan caca –temen ku (cowok)
yang kurang beruntung di bidang akademik, namun, dia salah satu guru terbaik dalam
bersosialita-.
Saat itu sudah pukul 19.00 lebih,
dihari jum’at tanggal 13 Desember 2013, tepat dihari ulang tahun temen baik ku,
Alfin, dan temen buruk ku, Gilang (bercanda, hehe. dia temen yang baik, tapi
kelihatannya buruk).
Menengok kalender sejenak memang
sudah masuk dipenghujung tahun, tak terasa hampir dua bulan sudah kita lalui.
Jujur dihati, tak banyak waktu berharga dalam hidup yang mampu aku lukiskan,
sedangkan umur tiap hari makin mendekat dipenghujung masa. Semoga ini menjadi salah
satu warna terindah dalam lukisan umurku.
Berangkat
Sesuai jarkom, pukul 18.30 kita
janjian kumpul di tempat biasa, dikontrakan caca seperti saat pertengahan bulan
oktober lalu, saat pertama kali kita ngejalanin kegiatan berbagi ke sebuah
panti. Dulu, ide kegiatan berbagi hanya berawal dari obrolan kecil beberapa
orang teman, tetapi, perlu diingat, tak sedikit sebuah gerakan, ide dan gagasan
besar berawal dari sebuah obrolan warung kopi.
Perlahan satu persatu mereka mulai
merapat ke kontrakan, ada yang bawa pesanan nasi bungkus, ada yang bawa aqua
gelas, dan yang paling aku suka, mereka membawa senyum bahagia dan niat tulus turut
serta di acara berbagi, yang mereka bilang berbagi nasi.
Apapun itu namanya, yang terpenting ia
sudah mampu mewarnai Geodesi 2010 dengan kebaikan dan keindahan kemurahan hati.
Dengan begitu, semoga bukan hanya kaderisasi yang mengenalkan dan menyatukan
antara kita, melainkan kebaikan dan semangat berbagi itulah yang akan menjaga
keutuhannya.
Malam itu rintik hujan masih terus
berlanjut, hingga jam di tangan menunjuk pukul delapan malam. Kita masih
menunggu hujan reda. Perlahan rasa lapar dan kantuk mulai menghinggapi beberapa
orang. Hingga saat karunia dari Tuhan tersebut telah reda, saatnya kita untuk
menuai keberkahan itu semua dan mulai bersiap – siap untuk beraksi. Let’s go.
Berangkatlah kita pukul setengah
sembilan malam, dengan membawa lima puluh lebih nasi bungkus serta tambahan
beberapa nasi goreng bungkus lagi. Terlebih dahulu kita berkumpul di POM Bensin
Undip sambil menunggu beberapa teman yang mau menyusul. Seusai berdo’a bersama
yang dipimpin “komandan” caca, kita langsung meluncur bersama sekitar 20an anak
ke daerah di sekitar jalan pemuda dan pasar Johar.
Tukang Becak
Seperti edisi-edisi sebelumnya,
sasaran kita tetap tukang becak, karena kebanyakan dari mereka telah
berkeluarga, kadang perut mereka yang ada dirumah lebih mereka utamakan
daripada perut sendiri. Jangan dibayangkan berapa berat becak mereka, belum
lagi ditambah beban penumpang dan barang bawaannya. Bukan mesin, tetapi kaki
yang mengayun pedal tersebut sejauh permintaan penumpang.
Mereka kebanyakan pendatang dari kota sekitar
semarang, seperti purwodadi, demak, kudus, dll. Dari yang kita jumpai selama
ini, tak sedikit yang berumur diatas lima puluh tahun. Aku kira mereka memiliki
rumah semi permanen untuk beristirahat laiknya pekerja bangunan umumnya,
ternyata tidak, mereka tidurpun didalam becak tersebut. Badan mereka tentu
menggigil dikala hujan lebat mengguyur kota Semarang.
Satu renungan kita dapatkan, betapa
mulianya seorang kedudukan ayah, bapak, papa, abah, abi atau apapun itu
sebutannya. Bukan dari kacamata profesi kita melihatnya, tetapi bagaimana ia
berusaha dengan gigih memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang
kepala keluarga. Tak usah aku bertanya, karena tangan dan kaki kokoh mereka
sudah mampu menjawabnya.
Dua puluh menit kita sudah sampai di jalan pemuda, hanya sedikit tukang
becak yang kita temui. Oleh karenanya, aksi langsung kita percepat menuju pasar
Johar. Rombongan kita lebih dari 10 motor, dari kejauhan seperti anak geng motor
dengan pakaian seragam. Tapi sayang, kita berwajah intelektual, hanya Dimas
yang berwajah sangar.
Setiba disana, bukan hanya tukang
becak, gelandangan dan orang cacat fisik serta beberapa anak jalanan juga kita
jumpai. Beberapa dari mereka tengah terlelap saat kita datang. Tak enak hati kita
bangunkan sejenak untuk memberi sebungkus nasi dan satu gelas air minum. Senyum
mereka menandakan ucapan terimakasih dan pemaafan atas keusilan kami
membangunkan mereka dari mimpi indah didepan ruko beralas kardus bekas.
Pemandangan “kaum marjinal” yang
cukup memilukan, bagaimana orang cacat fisik yang ditelantarkan oleh pemerintah,
gelandangan yang tidak mendapat hak penghidupan layak sebagai seorang rakyat di
Negara yang berdaulat, serta anak – anak yang tak mendapat lingkungan
pendidikan yang semestinya.
Sungguh ironis bangsaku ini, banyak
sekali kaum yang terpojokkan. Pembangunan tak sempat mereka rasakan, bukannya
tak mau dan tak tahu, tetapi tatanan masyarakat yang mengharamkan mereka untuk
menikmatinya. Andaikan pembangunan ekonomi di negeriku ini tak mementingkan
perasaan pengusaha saja, apalagi investor asing yang tak berperasaan, mungkin
mereka tak akan seperti sekarang.
Rakyat kecil itu membutuhkan bantuan
tulus dari kalian, jangan kepentingan perusahaan asing yang diutamakan,
sehingga memaksa pribumi “menjual diri” ke negeri orang. Prioritaskan
pembangunan untuk rakyat sendiri, bukan orang asing, buang jauh pola liberal,
tengoklah sosialisme. Anda memang tak jauh berbeda dengan Fir’aun, sang raja
penindas kaum lemah.
Mereka tentu rindu sosok pro rakyat
dan pro keadilan seperti Soekarno, Hugo Chavez, Abraham Lincoln maupun Umar bin
Khattab. Dimana mereka membawa kemakmuran dan menempatkan rakyat lemah sebagai
prioritas pembangunan.
Pemuda Indonesia
Tak habis di pasar Johar, kita
berkeliling di malam hari kota Semarang. Kita menuju kawasan stasiun Tawang
yang berjarak hanya sekitar 200 meter. Banyak kita jumpai tukang becak berjejer
di depan area stasiun. Alhamdulillah, nasi dan air minum habis dibagi semua,
hanya kantong plastik yang kita bawa pulang.
Rute pulang kita melewati kawasan
kota lama dengan ikon gereja blenduk, kita lewati pasar Johar lagi sebelum
memasuki kawasan pemuda dan nongkrong di depan balaikota. Disana kita saling
bercengkerama dan bersendau gurau hangat ditengah gerimis yang mulai turun.
Dari hasil obrolan, berbagi nasi
kemungkinan akan dilaksanakan kembali pada tanggal 10 januari 2014. Masih lama
memang, kita vakum selama satu bulan karena libur minggu tenang dan hendak
memasuki waktu ujian akhir semester pula.
Hujan tak lagi gerimis, terlihat
hujan makin deras. Sebelum balik tembalang ada sedikit kejutan buat yang hari
itu berulang tahun, Alfin dan Gilang. Sebuah kue tak begitu besar, tetapi berat
akan do’a kebaikan dari kita semuanya. Semoga keceriaan dan kebahagiaan ini
akan menjagi memori indah untuk kita kenang.
“Memang kenangan akan terhapus oleh
masa depan, tetapi pelajaran dan kebaikan yang kita peroleh itulah yang akan mempengaruhi
masa depan kita.”penulis*.
Tak hanya kue, ada kejutan tambahan
dari kita. Walau sebenarnya tidak pantas dicontoh, tetapi itu kami lakukan hanya
untuk menambah kesan. Mereka mendapatkan hadiah “gesek” ke tiang papan lalu
lintas depan balaikota. Kalau tidak salah, itu tiang tanda dilarang berhenti.
Selesai acara, kita balik tembalang,
ditengah guyuran hujan kita membawa pulang perasaan bahagia, walau belum bisa
duduk di bangku pemerintahan, paling tidak satu langkah kecil sudah kita
lakukan untuk membantu bangsa keluar dari jurang masalah sosial.
Mungkin itu belum bisa membalas jasa
pahlawan, dan pengorbanannya pun tak sebesar bung Tomo dan arek – arek suroboyo
kala belanda hendak merebut kembali kedaulatan nusantara. Tetapi, hal kecil itu
cukup untuk mengisi kemerdekaan, ditengah lesu-nya semangat pemuda Indonesia.
“Temanku Yooman, jadilah pemuda yang
kuat, baik fikir maupun tindakan. Baik intelektual maupun spiritual. Jadilah pemuda
yang diharapkan Soekarno, yaitu pemuda yang mampu mengguncang dunia.”Penulis*.
*Penulis adalah pemilik Blog
0 comments:
Post a Comment