Ada
sebuah keanehan yang aku rasakan di natal 2013 kali ini. Bukan perihal
seremonial ibadah, tetapi bagaimana media memandang perayaan natal sesuai
kacamata jurnalisme sepemahaman mereka. Pada tanggal 25 Desember, salah satu media berita tak
hanya menyuguhkan liputan keceriaan masyarakat nasrani, pun dengan berita duka
yang kebetulan terjadi bertepatan dengan hari natal.
Salah satu-nya
ialah kasus tertambaknya seorang warga ketika berada di sebuah gereja oleh senapan polisi di salah satu kota di jawa
timur. Media tersebut menyebutkan artikel tersebut dengan kata – kata verbal kurang
lebih “seorang jemaat gereja tewas saat merayaan natal”, seolah mereka
menggiring opini masyarakat kepada apa yang saya sebut sebagai natal dan teror.
Mereka hendak menggiring
persepsi mayarakat mengenai natal yang diidentikan dengan pengamanan ketat polisi
dan aksi teror. Padahal selama pelaksanaan natal tahun ini berjalan sangat lancar.
Untuk menenangkan persepsi masyarakat, seharusnya media berperan aktif dengan
lebih berhati-hati dalam pemilihan kata. Kata yang lebih halus akan menenangkan
persepsi masyarakat.
Misalkan, “Mr.X seorang
warga desa x tewas terkena peluru nyasar saat merayakan hari natal”. Kata
tersebut dinilai lebih halus dari pada menggunakan kalimat yang mengandung kata
jemaat gereja, karena akan menjadi sangat sensitif, apalagi disertai dengan
kata bemakna aksi teror.
Media harus
lebih jeli dalam ber-jurnalisme, jangan sampai suatu pemberitaan malah
menggiring masyarakat ke dalam jurang perspektif yang salah kaprah. Selayaknya perayaan hari besar agama, biarlah Natal seperti yang masyarakat nasrani yakini, damai. Jangan
mengorbankan perasaan masyarakat hanya karena dinilai lebih atraktif atau
menarik perhatian. Berbenahlah.
0 comments:
Post a Comment