Ulasan tentang buku legendaris : Elements of Journalism
Sembilan
Elemen Jurnalisme
Sebuah buku
yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme
Oleh Andreas Harsono
The Elements of Journalism:
What Newspeople Should Know and the Public Should
Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel (April 2001)
205 halaman
Crown $20.00 (Hardcover)
HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang
sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari
Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan
terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah
Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.
Wartawan yang nyaris tanpa
cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom
Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah
suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu
suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun
di sana.
Kovach mundur ketika ditawari
jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah
kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam
dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan
bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan
menyunting lima
laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator
Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya
meningkatkan mutu jurnalisme.
Sedangkan Tom Rosentiel
adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan
jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned
Journalists –sebuah organisasi di Washington
D.C. yang kerjanya melakukan
riset dan diskusi tentang media.
Dalam buku ini BILL Kovach
dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini
didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi
dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.
Sembilan elemen ini sama
kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang
pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.
Kebenaran yang mana? Bukankan
kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama,
ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu
persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran
menurut siapa?
Bagaimana dengan bias seorang
wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang
sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa
membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?
Kovach dan Rosenstiel
menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa
yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka
berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan
kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum
dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak
sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.
Namun apa yang dianggap
kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena
tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa
salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.
Hal ini pula yang dilakukan
jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam
tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute
yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil
pertandingan bola dan sebagainya.
Selain itu kebenaran yang
diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel
mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan
memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor
polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh
pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka
pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika
ada pembaca mengirim surat
pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.
Jadi kebenaran dibentuk hari
demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes
kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi
dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.
Saya pribadi beruntung
mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship
pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari
berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam
jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!
Tapi mengetahui mana yang
benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan
elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan
loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”
Pertanyaan itu penting karena
sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah
survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga
waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.
Ini memprihatinkan karena
wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan
perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya,
tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka.
Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih
menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Mari melihat dua contoh. Pada
1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya
bahwa penduduk New York
capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya
sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan
kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear
or favor, regardless of party, sect or interests involved.”
Pada 1933 Eugene Meyer
membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu,
“Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan
mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi
kepentingan masyarakat.”
Prinsip Ochs dan Meyer
terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius
sekaligus bisnis yang menguntungkan.
Kovach dan Rosenstiel
khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media
dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis
kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah
pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga
adalah masyarakat (citizens).
Berbeda dengan kebanyakan
bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan
(customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom,
memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi,
membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun,
kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.
Adanya kepercayaan publik
inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan.
Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak
merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan
pendengarnya.
Kovach dan Rosenstiel
prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan
redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan
bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan
sebuah gaya
manajemen yang biasa disebut management by objections.
Model ini ditemukan oleh guru
manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para
manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil
mencapainya.
Manajemen model ini, menurut
Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur.
Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan
perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur
terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan
perusahaan karena dari sana
pula mereka mendapatkan bonus.
BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari
orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok,
menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu
dibaca wartawan Thai.
I Made Suarjana dari tim
pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan
buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan
pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.
Salah satu bagian penting
buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen
ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam
melakukan verifikasi.
Disiplin mampu membuat
wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna
mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan
jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Mereka berpendapat, “saudara
sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan
entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya.
Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan
pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi
juga bisa tidak.
Batas antara fiksi dan
jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi
setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace
dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang
keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana
industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan
perokok.
Kejadian itu sebuah fakta.
Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah
diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya
akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata
diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film,
Mann berpendapat itu bisa diterima.
Kovach dan Rosenstiel
mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang
kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann
membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.
Lantas bagaimana dengan
beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan
verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak
setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar
minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini
sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam
jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai
objektifitas.
Orang sering bertanya apa
objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana
dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi,
kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya
berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?
Kovach dan Rosenstiel
menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman
itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila
seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka
kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.
Ide tentang realisme ini
muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai
piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal
laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka
berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.
Namun pada awal abad XX
beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter
Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah
analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times
menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times
lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa
yang terjadi.
Lippmann menekankan,
jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat
baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru
pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.
Bylines diciptakan agar nama
setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih
baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis
senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas
yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.
Solusinya, menurut Lippmann,
wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of
unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather
than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam
kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan
metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari
pengalaman di lapangan).”
Baginya, metode jurnalisme
bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah
disiplin dalam melakukan verifikasi.
Sayang, dengan berjalannya
waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak
penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang
wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa
wartawan itu seyogyanya objektif.
Saya kira di Indonesia
juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan.
Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut
meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.
Bagaimana metode yang
objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa
kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang
berimbang (balance), fairness serta akurat.
Tapi berimbang maupun
fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi
bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang
berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan.
Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?
Kovach dan Rosenstiel
menawarkan lima
konsep dalam verifikasi:
- Jangan menambah atau
mengarang apa pun;
- Jangan menipu atau
menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
- Bersikaplah setransparan
dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
- Bersandarlah terutama pada
reportase Anda sendiri;
- Bersikaplah rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak
berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit
dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis.
Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan
sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.
Kedua, memeriksa akurasi.
David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan
yang disebutnya “accuracy checklist.”
- Apakah lead berita sudah
didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
- Apakah sudah ada orang lain
yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon,
semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan
penulisan nama dan jabatan?
- Apakah materi background
guna memahami laporan ini sudah lengkap?
- Apakah semua pihak yang ada
dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk
bicara?
- Apakah laporan itu berpihak
atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa
orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
- Apa ada yang kurang?
- Apakah semua kutipan akurat
dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah
kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?
Ketiga, jangan berasumsi.
Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat
pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University
memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran
paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran
yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan
polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.
Metode keempat, pengecekan
fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini
sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar
St. Petersburg Times, Florida ,
memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per
baris, kalimat per kalimat.
MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge ,
saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan
sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak
sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang
diwawancarai.
Kami diskusikan masalah itu.
Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman,
tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik,
misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang
ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang
karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.
“Seorang wartawan adalah
mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.
Ini sedikit menjelaskan
elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh
mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap
dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.
Kalau begitu wartawan boleh
tak netral?
Menjadi netral bukanlah
prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan
objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap
orang-orang yang mereka liput.
Jadi, semangat dan pikiran
untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun
wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya.
Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat,
dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.
“Wartawan yang menulis kolom
memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai
fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.
Menulis kolom ibaratnya,
menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan
seseorang yang tak setuju dengan saya.”
Tapi wartawan yang menulis
opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini
membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda.
Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi
menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih
dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.
Kesetiaan pada kebenaran
inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda.
Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja
walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan
komunikasi bukan hal yang sama.
Independensi ini juga yang
harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan
yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia,
keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka,
bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.
Latar belakang etnik, agama,
ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan
mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan
Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan
lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.
Bersama-sama wartawan dari
berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya,
keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat
menghasilkan liputan yang baik.
ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka
yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya
nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara
juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.
Salah satu cara pemantauan
ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana
si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan
pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik
yang sebelumnya dirahasiakan.
Sayangnya di Amerika Serikat,
saya kira juga di Indonesia ,
label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel
menceritakan bagaimana radio-radio di sana
menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi.
Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi
itu.
Salah satu konsekuensi dari
investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap
isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada
yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative
reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa
salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa
dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius.
Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan
investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak
benar-benar masuk ke dalam investigasi.
Bob Woodward dari The
Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong
mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an,
mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”
Elemen keenam adalah
jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu
banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di
mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya.
Di sana juga
disediakan cerutu serta minuman.
Logikanya, manusia itu punya
rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari
jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend
sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka
bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan
komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi,
opini pribadi, surat
pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya,
komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan
roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat.
Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting
karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi
ditegakkan.
Sekarang teknologi modern
membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun
chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga
meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan
yang potensial merusak reputasi jurnalisme.
Kovach dan Rosenstiel
berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan
“jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan
menghibur atau melakukan provokasi.
Munculnya jurnalisme semu itu
terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai.
“Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show
kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah
media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji
puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum
lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri
maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat
telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang
melakukan reportase.
Jurnalisme semu juga muncul
karena gaya
lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya
membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan
tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi.
Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga
tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan
pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.
SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami
ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan
belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh
kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre
yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.
Anjuran itu sesuai dengan
elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin
meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.”
Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi,
tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.
Memikat sekaligus relevan.
Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang.
Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan
penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka,
dan membosankan.
Padahal bukti-bukti cukup
banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga
berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang.
Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu,
tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.
Kovach dan Rosenstiel
mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu
bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.
Menulis narasi yang dalam,
sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang
dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu
adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
Di sisi lain, daya tarik
hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31
persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen
diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah
internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik.
Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.
Duet Kovach-Rosenstiel
sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di
mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas
skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka
menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.
Elemen kedelapan adalah
kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach
dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak
proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional.
Mungkin kalau di Jakarta
contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali
tidak proporsional dalam pemberitaannya.
Kovach dan Rosenstiel
mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang
yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas
pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah
bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?
Ini berbeda dengan pemain
gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang
memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari
makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah
contoh suratkabar yang proporsional.
Proporsional serta
komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana
yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama,
penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita
juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif
inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan
berita.
Masyarakat bisa tahu kalau si
wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau
si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.
SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang
redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan
pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.
“Setiap individu reporter
harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model
itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E
Network.
Menjalankan prinsip itu tak
mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap
orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau
“Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa
muncul di ruang redaksi.
Menciptakan suasana ini tak
mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana
demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan
kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil
keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau
mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati
deadline.
Membolehkan tiap individu
wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi
lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka
memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar
tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada
mereka.
Bob Woodward dari The
Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul
ketika ia menentang manajemennya.”
Pada hari pertama Nieman
Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya
selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik,
“Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi
jangan digubris. Masuk dan bicaralah.” []
Weblog
Andreas Harsono: TUhttp://www.andreasharsono.blogspot.com/UT
4 comments:
Top dah mas, terus menulis deh yaaa
Bermanfaat banget mas, makasih sharingnya
Tetep lah jat, hasil dari Momentum ni, hehe
Oke mas, turut hepi kalo Momentum memberi manfaat.hehe
Post a Comment