Lagi, materi pelatihan, tentang bagaimana kita mempersiapkan suatu naskah.
Bagaimana
Mempersiapkan Suatu Naskah?
Oleh Andreas Harsono
ARITA Soenarjono, mantan wartawan TVRI
dan kini ibu rumahtangga di New York ,
pernah chatting dengan saya. Dia
mengatakan paling sulit menulis berita. Ini lebih sulit dari menulis esai,
katanya. Terutama bikin lead, susah banget.
Keluhan
Arita, saya kira, keluhan banyak orang. Bagaimana sih mempersiapkan sebuah
naskah? Bagaimana caranya bikin naskah hard-news?
Feature? Bagaimana menulis kolom opini? Atau bagaimana cara menulis buku?
Menulis
bisa diibaratkan membangun rumah. Ada
rumah bambu, dibuat sehari selesai. Ada
rumah dari batu bata dan genteng, mungkin perlu waktu sebulan. Ada juga rumah bertingkat
dari beton, butuh waktu setahun. Naskah mana yang hendak Anda bangun? Naskah
rumah bambu? Naskah rumah beton? Atau naskah gedung pencakar langit?
Banyak
naskah hanya memerlukan satu atau dua jam. Sekarang, lewat Blackberry, saya sering lihat reporter mengetik naskah dan
mengirimkan ke ruang redaksi ketika peristiwa sedang berlangsung. Mungkin hanya
15-30 menit. Wooossssshhh. Dan lima menit kemudian sudah
online. Namun, ada juga naskah yang perlu waktu lama. Wartawan Neil Shehan
menulis buku A Bright Shining Lie: John
Paul Vann and America in Vietnam (1988) selama 16 tahun!
Lantas
daerahnya di mana? Bikin apartemen di Manhattan, New York, yang penuh sesak, tempat
Arita tinggal, tentu memerlukan sikap berbeda dari bikin rumah di Namlea, yang
penduduknya cuma 109.000 orang di seluruh Pulau Buru. Jumlah penduduk Manhattan 1,6 juta orang
dengan kepadatan 27,500 orang per kilometer persegi. Logikanya, orang tak
perlu-perlu amat membangun gedung bertingkat di Namlea karena harga tanah
murah. Sebaliknya, Anda bisa dibilang gila bila membangun rumah satu tingkat di
Times Square, Manhattan !
Artinya,
Anda tak perlu bikin buku untuk suatu subjek yang tak begitu penting. Anda
cukup bikin berita pendek, bukan sebuah buku, untuk melaporkan sebuah pertemuan
pers.
Namun
mau bikin naskah apapun, entah berita pendek 30 menit atau
buku-16-tahun-pembuatannya, saya kira, seorang wartawan lebih dulu perlu bikin
riset dan perlu melakukan interview.
Riset
diperlukan agar Anda tahu apa yang sudah dikerjakan orang terhadap isu yang
hendak dikerjakan. Jangan bikin sesuatu tanpa sadar bahwa ada wartawan lain
yang sudah mengerjakannya. Apalagi sekarang sudah ada google. Minimal bisa
google dengan cepat.
Tergantung
perlu seberapa dalam, riset bisa memerlukan banyak buku, menghabiskan banyak
waktu dan membutuhkan pengendapan. Saya pribadi menghabiskan waktu tiga tahun untuk
membaca buku-buku dan dokumen-dokumen penting tentang Acheh sebelum akhirnya
merasa mengerti cukup soal Gerakan Acheh Merdeka dan Hasan di Tiro,
walinanggroe Acheh. Memahami Papua ternyata perlu waktu lebih lama lagi. Saya
perlu pengendapan enam tahun. Papua jauh berbeda—secara sejarah, kebudayaan,
politik, pergerakan, botani, zoologi dan sebagainya—dari Aceh maupun Jawa.
Sebaliknya,
suatu berita cepat juga tak memerlukan riset panjang. Tapi selalu lakukan riset
sebelum pergi liputan. Berhati-hatilah dengan pertemuan pers. Pertemuan pers
selalu dirancang agar mereka bisa membuat wartawan mengikuti arah pemberitaan
mereka. Pertemuan pers ibaratnya menyuapi
alias spoon feeding wartawan. Jangan
mau disuapi. Usahkan untuk makan sendiri. Berpikirlah secara kritis dalam pertemuan
pers. Berpikir kritis memerlukan riset
awal.
Interview
sangat vital dalam pembuatan naskah. Interview akan membuat seorang wartawan
tahu aspek-aspek kebaruan dalam suatu isu. Interview
bukan pekerjaan mudah. Saya suka dengan “Ten Tips For Better Interview”
dari International
Center for Journalists.
Interview
one-on-one berbeda dengan door-stop interview. Banyak sekali yang
boleh dan yang tak boleh dalam interview. Interview juga senantiasa harus
terbuka … kecuali dalam kasus tertentu. Wartawan yang terlatih akan biasa
membuat pertanyaan terbuka. Bukan pertanyaan tertutup, yang bisa dijawab “ya”
atau “tidak.” Pertanyaan terbuka senantiasa dibuat dengan memperhatikan 5W 1H (what, where, who, when, why, how).
Saya
juga tak mau menulis bila sumbernya tidak cukup. Narasumber tidaklah cukup bila
hanya satu orang. Sering saya merasa geli bila membaca sosok seseorang, entah
di suratkabar atau majalah, dan sumbernya hanya satu orang … ya si sosok itu
sendiri. Bagaimana si reporter bisa melihat sosok itu dari sudut lain bila dia
cuma interview orang yang di-sosok-kan?
Saya
kira, sumber satu orang hanya cocok untuk Facebook
atau Twitter!
Panjang-pendeknya
naskah juga mempengaruhi persiapan. Makin banyak bahan yang didapat, biasanya,
saya makin leluasa untuk menulis panjang. Makin sedikit bahan, sebaliknya, ya
makin pendek pula hasilnya.
Tapi,
harus ingat pula, rumah kecil juga bisa indah dan mahal. Artinya, disain
interior selalu bisa dimainkan agar sebuah rumah kecil menjadi tinggi nilainya.
Naskah pendek juga bisa bernilai tinggi karena ia dikerjakan dengan bahan-bahan
dan alat-alat yang mahal. Goenawan Mohamad menulis esai “The Death of Sukardal”
dengan indah, bertenaga walau hanya 470 kata (Tempo, Juli 1986).
Bila
sudah riset dan interview, maka
naskah sudah bisa disiapkan penulisannya. Ibaratnya, bahan-bahan dasar sudah
siap—lokasi, modal, baja, semen dan lain-lain—maka bangunan pun bisa mulai
digambar. Tentukan dulu mau dijadikan naskah piramida terbalik, naskah feature,
esai atau narasi?
Piramida
terbalik, yang menjadi masalah Arita Soenarjono, pada dasarnya adalah menaruh
sebanyak mungkin unsur 5W 1H pada alinea pertama. Apa yang terjadi, di mana,
siapa yang terlibat, bagaimana, kapan dan mengapa?
Pembaca
harus bisa mendapatkan informasi hanya dengan membaca alinea-alinea awal. Makin
ke bawah, alinea dari struktur ini makin kurang penting. Struktur naskah ini
bisa ditinggalkan pembaca—tanpa harus selesai.
Artinya,
lead atau alinea pertama bisa
merangkum isi naskah. Saya beri contoh dari lead
sebuah naskah saya “BIN Menyewa Perusahaan Lobby Washington ” (Pantau, September 2006):
Badan
Intelijen Negara (BIN) memakai yayasan sosial milik mantan presiden Abdurrahman
Wahid untuk menyewa sebuah perusahaan di Washington
DC sejak Mei 2005. Maksudnya,
mendekati tokoh-tokoh penting Kongres agar menghapus semua hambatan bantuan dan
pelatihan militer Amerika untuk Indonesia .
Sementara
untuk penulisan feature, saya biasa memperhatikan focus, angle dan outline
lebih dulu. Fokus adalah titik perhatian dari naskah itu. Ia berupa sebuah
pertanyaan, lagi-lagi, dari unsur 5W 1H.
Misalnya,
“Apa yang terjadi di Sungai Dareh pada Januari 1958?” Atau “Mengapa anak muda
membuat Sastra Minahasa?” Benedict Anderson pernah menulis sebuah feature soal
Soeharto berjudul “Petrus Dadi Ratu.” Fokus feature itu pada Presiden Soeharto.
Petrus singkatan “penembak misterius”—sebuah upaya pembunuhan teratur yang
dilakukan militer Indonesia
pada 1983 guna membunuh orang-orang yang dianggap penjahat. “Petrus Dadi Ratu”
plesetan dari lakon wayang “Petruk Dadi Ratu.” Maknanya, ya seorang pembunuh
misterius dadi atau jadi Presiden Indonesia . Anderson
menyebut Soeharto sebagai “preman” dari Kemusuk, sebuah dusun di Yogyakarta .
Angle adalah
titik masuk. Anda harus mencari sesuatu yang segar, yang belum dikerjakan
wartawan lain, untuk masuk dalam feature Anda. Outline adalah kerangka karangan.
Alinea
awal suatu feature juga tak perlu sepadat piramida terbalik. Saya pernah
menulis suatu feature, “Panasnya Pontianak, Panasnya Politik” (Gatra, Juli 2008). Menurut beberapa
wartawan Pontianak, termasuk Nur Iskandar dari Borneo Tribune dan Andi Fahrizal dari Jurnal Nasional, naskah itu dijadikan pembicaraan seluruh warung
kopi Pontianak ketika Gatra beredar.
Warung kopi, kebanyakan dikelola orang Tionghoa, adalah media khas Pontianak . Ini ajang
diskusi berbagai kelompok, dari politikus, wartawan, birokrat sampai preman.
Mereka tersebar dari Jl. Gajah Mada hingga Jl. Tanjung Pura, dari Sungai Jawi
sampai Sungai Raya.
Alinea
pembuka feature itu sederhana saja:
Awalnya
acara tahlilan. Ia diadakan satu keluarga Melayu, di Gang Tujuhbelas No. 4.
Rumahnya tembok dan atap seng, dalam sebuah lorong, sepanjang kurang lebih 100
meter, di daerah Tanjung Pura, pusat kota Pontianak.
Ketika
Mei lalu saya mengunjunginya, lorong ini terkesan asri, jalanan semen cor.
Rumah dua lantai atau tiga lantai, ada juga yang rumah kayu. Andrew Yuen,
seorang wartawan yang dibesarkan di sini pada 1990an, mengatakan nama
“tujuhbelas” muncul karena dulu hanya ada 17 rumah.
Esai
dan narasi juga memerlukan persiapan sama dengan menulis piramida terbalik dan
feature. Bedanya, pesiapan narasi tentu lebih lama dari lainnya. Pada esai,
tentu saja, Anda perlu punya kemampuan analisis yang tajam. Anda perlu membaca
buku-buku teoritis hingga pisau analisis dibuat dengan lebih tajam.
Saya misalnya, menganjurkan
wartawan untuk baca beberapa buku klasik sebelum berkunjung ke Banda Aceh.
Misalnya, Perang di Jalan Allah: Perang
Aceh 1873-1912 oleh Alfian Ibrahim (1987), "Shock Therapy"
Restoring Order in Aceh, 1989-1993” oleh Amnesty International (1993) maupun
karya-karya Anthony Reid, Denys Lombard, M. Isa Sulaiman, Otto Syamsuddin
Ishak, Snouck Hurgronje, Tim Kell Otto dan sebagainya. Saya kira wartawan wajib
membaca tiga karya utama Hasan di Tiro: The
Case and the Cause of the National Liberation Front of Acheh-Sumatra, The Legal Status of Acheh-Sumatra Under
International Law serta biografinya The
Price of Freedoms: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro.
Kalau liputan politik di Indonesia ,
rasanya, seorang wartawan harus belajar soal pemikiran di bidang nasionalisme
lewat Benedict Anderson, Ernest Renan dan lain-lain. Saya juga ingin wartawan
belajar sejarah—bukan sejarah-sejarahan
karya “pakar sejarah Indonesia ”—dan
hasil riset bermutu.
Narasi
biasa dipakai untuk naskah panjang, mulai dari 5.000-7.500 kata. Roy Peter
Clark dari Poynter Institute, Florida ,
mengembangkan pedoman standar 5W 1H menjadi pendekatan baru. Pada narasi, “who”
berubah menjadi siapa, “what” menjadi plot atau alur narasi, “where” menjadi setting, “when” menjadi kronologi, “why”
menjadi motivasi, dan “how” menjadi narasi.
Struktur
naskah juga makin hari makin bertambah ragamnya. Seorang wartawan harus
senantiasa membaca, termasuk karya-karya rujukan, agar mampu mengikuti
perkembangan dalam teknik penulisan.
0 comments:
Post a Comment