Lagi ya, materi pelalihan jurnalistik, bagus, buat nambah ilmu kita.
Wawancara,
Wartawan, dan Ratu Kecantikan
Oleh Andreas Harsono
KALAU ANDA MENGENAL David Candow, pelatih wartawan dari Canadian Broadcasting Corporation, Anda
akan tahu bahwa seorang wartawan yang baik, kalau melakukan wawancara, bekerja
dengan mewakili rasa ingin tahu audiens. Dia harus sopan. Dia harus siap dengan
pemahaman bahan. Dia harus menggali informasi sebanyak mungkin. Dia tak bernada
menghakimi. Dia tak menunjukkan kesan sudah tahu. Bukan sok pamer. Bukan sok
pintar.
Ini penting karena wawancara adalah bagian penting
dari reportase. Dan reportase adalah bagian penting dari jurnalisme. Wawancara
yang baik akan menghasilkan banyak informasi. Wawancara yang buruk akan
menghasilkan banyak bantahan.
Sumber yang menerima pertanyaan-pertanyaan yang
buruk akan memakai waktu wawancara untuk memahami pikiran si wartawan, dan tak
jarang, membantah asumsi-asumsi si wartawan. Atau lebih jelek lagi,
meninggalkan si wartawan, tak menanggapi isi wawancara.
Anda boleh bertanya pada Candow, “Berapa jumlah
kata ideal untuk sebuah pertanyaan?”
Candow biasanya menjawab, “Satu kata saja. Dan
kata itu adalah mengapa?”
Namun, tentu saja, tak setiap pertanyaan bisa
disarikan jadi satu kata. Prinsipnya, makin panjang suatu kalimat tanya, makin
menurun kemampuan si sumber mencerna pertanyaan itu. Sebaliknya, makin pendek
pertanyaan, makin mudah si sumber memahami si wartawan. Candow memberikan
pedoman 16 kata.
Lebih banyak dari 16 kata, lebih menurun juga daya
tangkap si sumber. Dan kalimat harus
dibuat dengan pertanyaan terbuka dengan kata tanya “5W 1H” yang artinya what, when, who, where, when, how.
Pertanyaan
tertutup menghasilkan jawaban yang kurang memuaskan. Maksudnya, pertanyaan
tertutup teoritis bisa dijawab dengan jawaban “ya” atau “tidak.”
Kami
sering menyaksikan wartawan-wartawan Jakarta ,
baik televisi, radio, maupun cetak, belum menyadari teori dasar wawancara ini.
Mungkin menarik untuk tahu bagaimana kesalahan-kesalahan itu dibuat dengan
memerhatikan pertunjukan seleksi wartawan SCTV
dalam acara Menuju Layar Liputan 6.
Acara ini diadakan sejak 1997 di kampus-kampus. Namun tahun ini diselenggarakan
lewat siaran langsung. Finalnya 3 Oktober lalu.
Acaranya
diadakan layaknya pemilihan penyanyi “Indonesian Idol” atau “Akademi Fantasi Indosiar.” Ada acara catwalk.
Peserta berputar-putar di panggung. Pakaian kelas disainer. Nyanyian. Hiburan.
Lawakan. Pertanyaan disajikan oleh MC Tantowi Yahya. Lalu ada juri-juri: Okky
Asokawati (model), Pia Alisjahbana (pengusaha Femina Group), Tengku Malinda (TVRI), Karni Ilyas (SCTV) dan Darwis Triadi (fotografer). Pokoknya, kesannya wangi,
jauh dari kesan kerja keras mengejar berita yang jadi citra wartawan.
Seorang
peserta dari Padang ,
Dora Multa Sari, tampil cantik dengan busana hijau pupus. Tantowi Yahya pun
bertanya apa pendapat Dora soal korupsi di kalangan anggota parlemen. Dora menjawab bla bla
bla…
TANTOWI: All
right, wow, tepuk tangan tanda setuju membahana di studio malam ini.
Eeeh... Dora ini seorang yang penuh prestasi. Di samping sebagai presenter,
Dora ini pernah berprestasi di bidang apa?
DORA:
Saya pernah masuk 10 besar Puteri Indonesia.
Maka tepuk tangan pun membahana di studio. Dora
tersenyum manis dan melenggak-lenggok meninggalkan panggung. Cantiknya, jangan
ditanya. Singkat kata, dari 13 finalis, juri memilih lima orang “grand finalist.”
Masing-masing diminta mewawancarai seorang
narasumber selama 2,5 menit, dipilih berdasarkan undian, dan narasumber sengaja
dipilih dari orang-orang yang biasa diwawancarai SCTV: Eep Saefulloh Fatah (komentator isu politik), Alan Budi Kusuma
(pemain bulutangkis), Ulfa Dwiyanti (pelawak dan penghibur), Baby Jim Aditya
(aktivis HIV/AIDS), dan Brigadir Jenderal Pranowo Dahlan (komandan kesatuan
polisi anti teror).
Nama
|
Jumlah kata Tanya
|
Rata-rata
Buka Tutup
|
Sumber
|
Grace N. Louisa
|
31,2
|
1 6
|
Pranowo Dahlan
|
M. Achir
|
25,8
|
3 3
|
Baby Adita
|
Linda P. Mada
|
18,2
|
1 6
|
Alan Kusuma
|
Dora M. Sari
|
15,5
|
4 4
|
Ukfa Dwiyanti
|
Wahyu R.
|
19,6
|
3 5
|
Eep S. Fatah
|
Dari lima orang ini, semuanya bertanya dengan
panjang-panjang dan tertutup. Hanya Dora yang bertanya dengan singkat karena
dia harus balik menjawab pertanyaan Ulfa Dwiyanti. Dora rata-rata hanya
melontarkan 15.5 kata per kalimat tanya. Namun dari delapan pertanyaan itu,
lima merupakan pertanyaan tertutup. Kira-kira begini tanya-jawab antara Dora
dan Ulfa:
DORA: Mbak Ulfa, saat banyak sekali talent show-talent show yang melahirkan
bintang-bintang baru dalam waktu singkat, seperti mereka di karantina dalam
waktu dua bulan, tiga bulan, kira-kira mereka menjadi bintang yang memiliki
banyak sekali penggemar. Bagaimana Anda melihat talent show-talent show seperti ini?
ULFA: Maksudnya talent instant gitu, roger?
DORA: Talent
show Mbak.
ULFA: Kalau menurut saya itu masalah faktor.
Faktor keberuntungan, beruntung bisa masuk dalam waktu singkat. Seperti kamu
misalnya. Gitu lho.
DORA: Tapi Mbak Ulfa, apakah menurut Mbak Ulfa
mereka itu sudah cukup siap atau bagaimana?
ULFA: Itu yang saya khawatirin. Apakah kalau kamu
menang apakah cukup siap di lapangan?
DORA: Ya. Baik, Mbak Ulfa itu merintis karier dari
awal?
ULFA: Sepuluh tahun lebih.
DORA: Sepuluh tahun lebih?
ULFA: Mbak berapa minggu?
DORA: Terima kasih Mbak Ulfa, jika nanti saya jadi
bintang nantinya. Mbak Ulfa meniti karier lama sekali. Apakah Mbak Ulfa merasa
ada ketidakadilan antara yang lama meniti karier dengan saat ini?
ULFA: Bukan ketidakadilan. Nasib beruntung. Itu
dia.
Dora tampaknya memang beruntung. Malam itu juri
memenangkan Dora.
Namun dari perhitungan kami, para peserta
rata-rata menggunakan 22 kata per pertanyaan, atau lima kata lebih banyak dari
batas David Candow. Model bertanya mereka panjang-panjang dan tertutup. Ulfa
Dwiyanti sendiri mempertanyakan kualitas Dora. Hanya keberuntungan saja. Tanpa
kerja keras. Mereka hanya menang tampang tapi miskin pengalaman.
Tidak heran kalau banyak narasumber yang bertanya
ulang. Misalnya, Wahyu Rahmawati dari Malang, dalam segenap kegugupannya,
bertanya pada Eep Saefullah Fatah, “Langsung saja. Sekarang perpolitikan
setelah pemilihan presiden kedua telah dibuktikan bahwa SBY menang. Pada saat
ini banyak sekali nama-nama yang dicantumkan, baik itu di SCTV sendiri maupun di suratkabar, tentang calon-calon kabinet.
Menurut Anda, bagaimanakah persentase pemberian nama pemunculan nama itu
terhadap kabinet nanti?”
Eep tampaknya tak mengerti pertanyaan versi
44-kata Wahyu. Eep bertanya, “Maksudnya?”
RAHMAWATI: Maksudnya, seberapa kredibelkah
orang-orang yang dicantumkan di televisi dalam kabinet nanti?
EEP: Sebetulnya belum ada satu pun konfirmasi dari
SBY-Kalla tentang nama-nama yang beredar. Jadi saya kira, kita tidak bisa
menilai seberapa kredibel mereka sebelum ada konfirmasi (Perhatikan Eep membantah asumsi Rahmawati).
RAHMAWATI: Tapi mengapa nama-nama itu harus
dimunculkan. Apakah ini testing the
weather dari SBY atau Anda optimis terhadap testing the weather dari SBY?
EEP: Sebetulnya ada kebutuhan memang untuk
memunculkan nama sebelum pelantikan 20 Oktober dikarenakan masyarakat perlu
tahu siapa yang akan menjadi pejabat publik. Tapi persoalannya, nama-nama yang
muncul sekarang ini adalah nama-nama yang sebetulnya beredar begitu saja, tanpa
ada konfirmasi. Itu yang jadi persoalan.
RAHMAWATI: Kok bisa tanpa ada konfirmasi terlebih
dahulu, kenapa harus memunculkan?
EEP: Siapa yang memunculkan?
RAHMAWATI: Kata Pak Eep tadi bahwa tidak ada konfirmasi
terhadap pemunculan nama-nama tersebut.
EEP: Sampai sekarang SBY dan Kalla belum
mengkonfirmasikan satu pun nama.
RAHMAWATI: Dan siapakah yang memunculkan adanya
nama-nama di televisi tersebut?
EEP: Media massa.
RAHMAWATI: Media massa? Jadi tidak ada konfirmasi
lebih lanjut dari SBY maupun Kalla.
EEP: Belum ada sampai sekarang. Termasuk ketika
kemarin SBY mengadakan ujian doktor. Ada sejumlah nama yang ikut serta hadir
dan SBY mengatakan bahwa mereka bukanlah calon-calon menteri.
RAHMAWATI: Menurut Anda sendiri Pak Eep, bagaimana
kredibel yang dicantumkan? Maksud saya, nama-nama yang dicantumkan ini, menurut
Pak Eep, bagaimana posisinya dalam kabinet nanti? Apakah mereka cukup mampu
dalam memimpin negara kita esoknya?
EEP: Belum ada nama masalahnya. Jadi kalau
misalnya Anda menanyakan kredibilitas mereka, siapa mereka kita tidak tahu.
Jadi ada ketidakjelasan di sini. Siapa yang Anda maksudkan?
Tanya jawab ini menghabiskan waktu 2.5 menit
karena Rahmawati memakai asumsi yang salah. Tapi ini bukan monopoli Rahmawati.
Wahyu Rahmawati dan kawan-kawannya semua menunjukkan kesan sok pintar, agresif,
serta tak mampu mewakili audiens dalam wawancara. Grace Natalie Louisa dan
Linda Puteri Mada bertanya enam pertanyaan dan hanya satu yang terbuka.
Mohammad Achir bahkan bertanya 62 kata. Kesan belum tentu sama dengan esensi.
Bisa saja Dora, Wahyu dan sebagainya sebenarnya rendah hati.
Karni Ilyas, direktur pemberitaan SCTV, tak setuju dengan argumentasi
kami. Karni mengatakan bahwa kelima orang ini memang bukan wartawan. Mereka
hanya calon wartawan. “Ketika mereka jadi juara, mereka baru jadi calon
wartawan. Masa percobaan lagi. Begini saja, yang namanya Bayu Setiyono, pantas
jadi wartawan atau enggak? Bayu itu juara kami 1997. Sekarang jadi pantas
setelah enam tahun. Ketika jadi juara, boleh saja Anda bicara belum pantas.”
Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers
dan pemenang Hadiah Magsaysay, mengatakan pada kami bahwa dia tak setuju
seleksi wartawan dilakukan secara komersial (Dora Multa Sari mendapat hadiah
Daihatsu Xenia) dan memanfaatkan frekuensi publik untuk keperluan internal SCTV. Beberapa wartawan lain juga tak
setuju karena khawatir citra wartawan diasosiasikan dengan kinerja Dora dan
kawan-kawan.
Kami juga belum melakukan analisis kemampuan Bayu
Setiyono. Tapi kami ingat Bayu pernah diperlakukan sama macam gaya Ulfa ketika
Bayu mewawancarai Kwik Kian Gie dari PDI Perjuangan. Kwik menyebut Bayu
“jongkok.”
Tapi menarik juga kalau mulai sekarang Anda
memakai prinsip David Candow untuk menghitung jumlah kata pertanyaan-pertanyaan
Bayu. Atau seberapa tertutup atau terbuka pertanyaannya? Dan tentu saja, bukan
hanya Bayu, tapi kalau perlu semua wartawan televisi Jakarta. Jangan-jangan
Anda akan menemukan kesimpulan bahwa kualitas mereka tak jauh lebih baik dari
Dora atau Rahmawati?
Jakarta, 2004
***
Naskah ini ditulis dengan
joint
byline bersama Esti Wahyuni.
0 comments:
Post a Comment