Tuesday, 31 December 2013

Wawancara, Wartawan, dan Ratu Kecantikan

Posted By: Unknown - 12:37 am

Share

& Comment

Lagi ya, materi pelalihan jurnalistik, bagus, buat nambah ilmu kita.

(hanya) ilustrasi pelaksanaan audisi

Wawancara, Wartawan, dan Ratu Kecantikan
Oleh Andreas Harsono



KALAU ANDA MENGENAL David Candow, pelatih wartawan dari Canadian Broadcasting Corporation, Anda akan tahu bahwa seorang wartawan yang baik, kalau melakukan wawancara, bekerja dengan mewakili rasa ingin tahu audiens. Dia harus sopan. Dia harus siap dengan pemahaman bahan. Dia harus menggali informasi sebanyak mungkin. Dia tak bernada menghakimi. Dia tak menunjukkan kesan sudah tahu. Bukan sok pamer. Bukan sok pintar.
Ini penting karena wawancara adalah bagian penting dari reportase. Dan reportase adalah bagian penting dari jurnalisme. Wawancara yang baik akan menghasilkan banyak informasi. Wawancara yang buruk akan menghasilkan banyak bantahan.
Sumber yang menerima pertanyaan-pertanyaan yang buruk akan memakai waktu wawancara untuk memahami pikiran si wartawan, dan tak jarang, membantah asumsi-asumsi si wartawan. Atau lebih jelek lagi, meninggalkan si wartawan, tak menanggapi isi wawancara.
Anda boleh bertanya pada Candow, “Berapa jumlah kata ideal untuk sebuah pertanyaan?”
Candow biasanya menjawab, “Satu kata saja. Dan kata itu adalah mengapa?”
Namun, tentu saja, tak setiap pertanyaan bisa disarikan jadi satu kata. Prinsipnya, makin panjang suatu kalimat tanya, makin menurun kemampuan si sumber mencerna pertanyaan itu. Sebaliknya, makin pendek pertanyaan, makin mudah si sumber memahami si wartawan. Candow memberikan pedoman 16 kata.
Lebih banyak dari 16 kata, lebih menurun juga daya tangkap si sumber. Dan kalimat harus dibuat dengan pertanyaan terbuka dengan kata tanya “5W 1H” yang artinya what, when, who, where, when, how.
Pertanyaan tertutup menghasilkan jawaban yang kurang memuaskan. Maksudnya, pertanyaan tertutup teoritis bisa dijawab dengan jawaban “ya” atau “tidak.”
Kami sering menyaksikan wartawan-wartawan Jakarta, baik televisi, radio, maupun cetak, belum menyadari teori dasar wawancara ini. Mungkin menarik untuk tahu bagaimana kesalahan-kesalahan itu dibuat dengan memerhatikan pertunjukan seleksi wartawan SCTV dalam acara Menuju Layar Liputan 6. Acara ini diadakan sejak 1997 di kampus-kampus. Namun tahun ini diselenggarakan lewat siaran langsung. Finalnya 3 Oktober lalu.
Acaranya diadakan layaknya pemilihan penyanyi “Indonesian Idol” atau “Akademi Fantasi Indosiar.” Ada acara catwalk. Peserta berputar-putar di panggung. Pakaian kelas disainer. Nyanyian. Hiburan. Lawakan. Pertanyaan disajikan oleh MC Tantowi Yahya. Lalu ada juri-juri: Okky Asokawati (model), Pia Alisjahbana (pengusaha Femina Group), Tengku Malinda (TVRI), Karni Ilyas (SCTV) dan Darwis Triadi (fotografer). Pokoknya, kesannya wangi, jauh dari kesan kerja keras mengejar berita yang jadi citra wartawan.
Seorang peserta dari Padang, Dora Multa Sari, tampil cantik dengan busana hijau pupus. Tantowi Yahya pun bertanya apa pendapat Dora soal korupsi di kalangan anggota parlemen. Dora menjawab bla bla bla…
TANTOWI: All right, wow, tepuk tangan tanda setuju membahana di studio malam ini. Eeeh... Dora ini seorang yang penuh prestasi. Di samping sebagai presenter, Dora ini pernah berprestasi di bidang apa?
DORA: Saya pernah masuk 10 besar Puteri Indonesia.
Maka tepuk tangan pun membahana di studio. Dora tersenyum manis dan melenggak-lenggok meninggalkan panggung. Cantiknya, jangan ditanya. Singkat kata, dari 13 finalis, juri memilih lima orang “grand finalist.”
Masing-masing diminta mewawancarai seorang narasumber selama 2,5 menit, dipilih berdasarkan undian, dan narasumber sengaja dipilih dari orang-orang yang biasa diwawancarai SCTV: Eep Saefulloh Fatah (komentator isu politik), Alan Budi Kusuma (pemain bulutangkis), Ulfa Dwiyanti (pelawak dan penghibur), Baby Jim Aditya (aktivis HIV/AIDS), dan Brigadir Jenderal Pranowo Dahlan (komandan kesatuan polisi anti teror).


Nama
Jumlah kata Tanya
Rata-rata
Buka Tutup
Sumber
Grace N. Louisa
31,2
1       6
Pranowo Dahlan
M. Achir
25,8
3       3
Baby Adita
Linda P. Mada
18,2
1       6
Alan Kusuma
Dora M. Sari
15,5
4       4
Ukfa Dwiyanti
Wahyu R.
19,6
3       5
Eep S. Fatah

Dari lima orang ini, semuanya bertanya dengan panjang-panjang dan tertutup. Hanya Dora yang bertanya dengan singkat karena dia harus balik menjawab pertanyaan Ulfa Dwiyanti. Dora rata-rata hanya melontarkan 15.5 kata per kalimat tanya. Namun dari delapan pertanyaan itu, lima merupakan pertanyaan tertutup. Kira-kira begini tanya-jawab antara Dora dan Ulfa:
DORA: Mbak Ulfa, saat banyak sekali talent show-talent show yang melahirkan bintang-bintang baru dalam waktu singkat, seperti mereka di karantina dalam waktu dua bulan, tiga bulan, kira-kira mereka menjadi bintang yang memiliki banyak sekali penggemar. Bagaimana Anda melihat talent show-talent show seperti ini?
ULFA: Maksudnya talent instant gitu, roger?
DORA: Talent show Mbak.
ULFA: Kalau menurut saya itu masalah faktor. Faktor keberuntungan, beruntung bisa masuk dalam waktu singkat. Seperti kamu misalnya. Gitu lho.
DORA: Tapi Mbak Ulfa, apakah menurut Mbak Ulfa mereka itu sudah cukup siap atau bagaimana?
ULFA: Itu yang saya khawatirin. Apakah kalau kamu menang apakah cukup siap di lapangan?
DORA: Ya. Baik, Mbak Ulfa itu merintis karier dari awal?
ULFA: Sepuluh tahun lebih.
DORA: Sepuluh tahun lebih?
ULFA: Mbak berapa minggu?
DORA: Terima kasih Mbak Ulfa, jika nanti saya jadi bintang nantinya. Mbak Ulfa meniti karier lama sekali. Apakah Mbak Ulfa merasa ada ketidakadilan antara yang lama meniti karier dengan saat ini?
ULFA: Bukan ketidakadilan. Nasib beruntung. Itu dia.
Dora tampaknya memang beruntung. Malam itu juri memenangkan Dora.
Namun dari perhitungan kami, para peserta rata-rata menggunakan 22 kata per pertanyaan, atau lima kata lebih banyak dari batas David Candow. Model bertanya mereka panjang-panjang dan tertutup. Ulfa Dwiyanti sendiri mempertanyakan kualitas Dora. Hanya keberuntungan saja. Tanpa kerja keras. Mereka hanya menang tampang tapi miskin pengalaman.
Tidak heran kalau banyak narasumber yang bertanya ulang. Misalnya, Wahyu Rahmawati dari Malang, dalam segenap kegugupannya, bertanya pada Eep Saefullah Fatah, “Langsung saja. Sekarang perpolitikan setelah pemilihan presiden kedua telah dibuktikan bahwa SBY menang. Pada saat ini banyak sekali nama-nama yang dicantumkan, baik itu di SCTV sendiri maupun di suratkabar, tentang calon-calon kabinet. Menurut Anda, bagaimanakah persentase pemberian nama pemunculan nama itu terhadap kabinet nanti?”
Eep tampaknya tak mengerti pertanyaan versi 44-kata Wahyu. Eep bertanya, “Maksudnya?”
RAHMAWATI: Maksudnya, seberapa kredibelkah orang-orang yang dicantumkan di televisi dalam kabinet nanti?
EEP: Sebetulnya belum ada satu pun konfirmasi dari SBY-Kalla tentang nama-nama yang beredar. Jadi saya kira, kita tidak bisa menilai seberapa kredibel mereka sebelum ada konfirmasi (Perhatikan Eep membantah asumsi Rahmawati).
RAHMAWATI: Tapi mengapa nama-nama itu harus dimunculkan. Apakah ini testing the weather dari SBY atau Anda optimis terhadap testing the weather dari SBY?
EEP: Sebetulnya ada kebutuhan memang untuk memunculkan nama sebelum pelantikan 20 Oktober dikarenakan masyarakat perlu tahu siapa yang akan menjadi pejabat publik. Tapi persoalannya, nama-nama yang muncul sekarang ini adalah nama-nama yang sebetulnya beredar begitu saja, tanpa ada konfirmasi. Itu yang jadi persoalan.
RAHMAWATI: Kok bisa tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu, kenapa harus memunculkan?
EEP: Siapa yang memunculkan?
RAHMAWATI: Kata Pak Eep tadi bahwa tidak ada konfirmasi terhadap pemunculan nama-nama tersebut.
EEP: Sampai sekarang SBY dan Kalla belum mengkonfirmasikan satu pun nama.
RAHMAWATI: Dan siapakah yang memunculkan adanya nama-nama di televisi tersebut?
EEP: Media massa.
RAHMAWATI: Media massa? Jadi tidak ada konfirmasi lebih lanjut dari SBY maupun Kalla.
EEP: Belum ada sampai sekarang. Termasuk ketika kemarin SBY mengadakan ujian doktor. Ada sejumlah nama yang ikut serta hadir dan SBY mengatakan bahwa mereka bukanlah calon-calon menteri.
RAHMAWATI: Menurut Anda sendiri Pak Eep, bagaimana kredibel yang dicantumkan? Maksud saya, nama-nama yang dicantumkan ini, menurut Pak Eep, bagaimana posisinya dalam kabinet nanti? Apakah mereka cukup mampu dalam memimpin negara kita esoknya?
EEP: Belum ada nama masalahnya. Jadi kalau misalnya Anda menanyakan kredibilitas mereka, siapa mereka kita tidak tahu. Jadi ada ketidakjelasan di sini. Siapa yang Anda maksudkan?
Tanya jawab ini menghabiskan waktu 2.5 menit karena Rahmawati memakai asumsi yang salah. Tapi ini bukan monopoli Rahmawati. Wahyu Rahmawati dan kawan-kawannya semua menunjukkan kesan sok pintar, agresif, serta tak mampu mewakili audiens dalam wawancara. Grace Natalie Louisa dan Linda Puteri Mada bertanya enam pertanyaan dan hanya satu yang terbuka. Mohammad Achir bahkan bertanya 62 kata. Kesan belum tentu sama dengan esensi. Bisa saja Dora, Wahyu dan sebagainya sebenarnya rendah hati.
Karni Ilyas, direktur pemberitaan SCTV, tak setuju dengan argumentasi kami. Karni mengatakan bahwa kelima orang ini memang bukan wartawan. Mereka hanya calon wartawan. “Ketika mereka jadi juara, mereka baru jadi calon wartawan. Masa percobaan lagi. Begini saja, yang namanya Bayu Setiyono, pantas jadi wartawan atau enggak? Bayu itu juara kami 1997. Sekarang jadi pantas setelah enam tahun. Ketika jadi juara, boleh saja Anda bicara belum pantas.”
Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers dan pemenang Hadiah Magsaysay, mengatakan pada kami bahwa dia tak setuju seleksi wartawan dilakukan secara komersial (Dora Multa Sari mendapat hadiah Daihatsu Xenia) dan memanfaatkan frekuensi publik untuk keperluan internal SCTV. Beberapa wartawan lain juga tak setuju karena khawatir citra wartawan diasosiasikan dengan kinerja Dora dan kawan-kawan.
Kami juga belum melakukan analisis kemampuan Bayu Setiyono. Tapi kami ingat Bayu pernah diperlakukan sama macam gaya Ulfa ketika Bayu mewawancarai Kwik Kian Gie dari PDI Perjuangan. Kwik menyebut Bayu “jongkok.”
Tapi menarik juga kalau mulai sekarang Anda memakai prinsip David Candow untuk menghitung jumlah kata pertanyaan-pertanyaan Bayu. Atau seberapa tertutup atau terbuka pertanyaannya? Dan tentu saja, bukan hanya Bayu, tapi kalau perlu semua wartawan televisi Jakarta. Jangan-jangan Anda akan menemukan kesimpulan bahwa kualitas mereka tak jauh lebih baik dari Dora atau Rahmawati?

Jakarta, 2004

***
Naskah ini ditulis dengan joint byline bersama Esti Wahyuni.


About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

0 comments:

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.