Mengutip perkataan seorang
wartawan senior, om Farid Gaban, melalui aku facebook pribadi beberapa waktu
lalu. Sebuah status singkat sarat makna.
“Tiap mulai acara YKS, saya
dan anak saya saling pandang mana yang paling cepat nyamber remote control mengubah channel. Hampir lima jam penuh setiap
malam, TransTV menghamburkan frekuensi milik publik untuk acara yang nggak
mutu. Lima jam di prime time!”
YKS memang menggiurkan. Diisi
bintang tamu artis-artis berparas cantik dan berbadan aduhai. Pinggul bercelana
ketat berlenggak lenggok ke kanan ke kiri, ke depan dan belakang. Goyangan-nya
pun tak kalah panas. Terakhir ada goyang oplosan. Yang nampak sangat vulgar,
tak ubahnya sebuah pornoaksi murahan.
Lebih parahnya lagi, tayangan
tersebut disuguhkan selama 5 jam dan di waktu prime time. Saat dimana seseorang
sedang istirahat usai kerja, saat anak-anak kumpul bersama orang tua. Apa
jadinya jika hal tersebut ditonton oleh sejuta pasang mata anak-anak
Indonesia?. Dampak nya tentu akan merembet kemana-mana.
goyang oplosan |
Anak merupakan peniru ulung.
Apa yang mereka saksikan dengan cepat akan mereka tiru, entah itu suatu hal
yang sopan atau tidak, karena anak belum mampu untuk membedakan kedua hal
tersebut. Coba bayangkan, adik anda yang masih SD bergoyang oplosan, tangan kiri
ditempelkan di jidat, -maaf- tubuh area kemaluan dimajukan kedepan dan di
gerak-gerakkan.
Belum lagi anak-anak yang
doyan meniru lagu-lagu di YKS. Ungkapan “bukak sitik jos”. Awalnya adalah
ungkapan penonton dangdut pantura yang ingin melihat bagian tertutup dari sang
biduan. Mungkin karena mereka terpengaruh minuman keras oplosan.
Pertanyaannya. Apakah mau
adik-adik anda dirumah berperilaku seperti penonton dangdut pantura tersebut?.
Sebuah aib besar jika calon penerus bangsa kita bermoral cacat jauh dari akhlak
mulia seperti para pendiri negara.
Kita harus cerdas bermedia. Frekuensi
yang dahulu disediakan oleh menteri penerangan era orde baru kini telah
disalah artikan oleh para pelaku bisnis media. Televisi swasta hanya mementingkan
rating atas nama keuntungan finansial, dan mengabaikan aspek pendidikan yang
menjadi hak publik.
Terlihat betapa lemahnya peran
serta pemerintah dalam mengontrol media. KPI sebagai lembaga sensor dan
penjamin mutu siaran hanya berdiam diri. Entah bisu, sariawan, tidur, ataukah
ada penutup di mulutnya. Standarisasi kriteria vulgar juga harus ditinjau
ulang. Standar kita adalah budaya timur, bukan kebebasan di barat.
Masih mau nonton YKS (termasuk
program sejenisnya) ??
0 comments:
Post a Comment