belum sempet foto, ilustrasi aja |
Namanya
Achmad Chulaemi, dosen matakuliah Hukum Agraria. Pelajaran mengenai seperti apa
wujud pertanahan dilihat dari kacamata hukum di Indonesia. Sangat penting bagi
kami, terutama yang berkeinginan merintis karir di kantor pertanahan.
Jempol
seratus untuk dosen senior –tepatnya hampir purna tugas– satu ini. Pak Chulaemi
sangat rajin dan tepat waktu. Tak pernah sekalipun aku berangkat lebih dahulu dari
beliau. Di dalam tubuh tua-nya masih tersimpan beribu semangat muda yang masih
menggebu. Semangat ngampus yang harus kami tiru. Kami semua semangat jika
beliau mengajar.
Di semester
5 lalu aku ngambil matakuliah ini. Ruang kuliah di c.101, komplek kampus GKB
belakang. Tempat biasa anak-anak Geodesi mencuri pandang ke arah utara, dimana
anak-anak Teknik Lingkungan mondar mandir. Ya, banyak hal yang menarik dari
mereka, walau yang mereka pelajari adalah sampah.
Satu
semester itu pula aku selalu telat, kalah pagi dengan pak Chulaemi. Bapak jam
set 8 sudah standby di kampus. Masih untung, bapak orang-nya baik, dia tak
memikirkan berapa lama murid-nya telat. Baginya, yang penting dia memenuhi
kewajiban untuk menyampaikan ilmu yang ia miliki. Soal mahasiswa, itu sudah
menjadi hak mereka, apakah butuh ilmu, atau tidak.
Dari
matakuliah ini kami memperoleh informasi bagaimana sejarah hukum pertanahan,
bagaimana seorang notaris bekerja, seperti apa hak atas tanah, dan bagaimana
kondisi hukum pertanahan saat ini. Kita diperkenalkan istilah HM, HGB, HGU,
Tanah Bengkok, dan Tanah Jonggolan.
Di semester
lima aku kurang beruntung. Dari sekian usaha, hanya nilai C yang aku dapat.
Sempat aku protes dalam hati, kok bisa?. Apa mau dikata, hukum agraria menemani
pengantar ilmu hukum di kolom nilai C lembar transkrip lengkapku.
Beberapa
waktu kemudian, aku tersadar. Ternyata kemaren aku terlalu meremehkan
matakuliah ini. Ku kira soal ujian dapat mudah aku lahap. Ternyata tidak.
Bodohnya diriku. Mungkin itu suatu teguran. Sekuat apapun seseorang, akan
tersungkur dihadapan seorang yang lemah jika rasa sombong tertanam di dalam
hatinya.
Pelajaran
tersebut aku jadikan modal memperbaiki nilai di semester 6. Semester sibuk
bagiku. Empat organisasi kampus aku ikutin. Mapala jurusan, bem dan
kerohaniahan islam universitas dan naik jabatan di pers fakultas. Satu semester
belajar bagaimana memanajemen waktu.
Ternyata
memperbaiki tak seperti pertama kali mengambil matakuliah. Beda banget
suasana-nya. Harus kuliah bareng angkatan bawah. Feel belajar nggak aku
dapetin. Sebagai pelampiasan. Ketika hari kamis –jadwal hukum agraria– aku
maksimalin buat main di salah satu organisasi. Entah ngliput acara atau apalah.
Yang penting bahagia dan bermanfaat. Daripada duduk manis di belakang dan fokus
tercecer dimana-mana.
Ujian tengah
dan akhir semester sudah aku lewatin. Aku anggep semua-nya lancar. Minimal
nilai B-lah. Optimis. Yang penting uda nggak ngremehin ilmu lagi. Tinggal
nunggu hasil-nya aja gimana. Semoga memuaskan.
Kaget bukan
kepalang. Nilai di SIA tak berubah, masih C. Halaman-nya aku reload beberapa kali-pun masih tetep aja
C. Pun saat aku membuka SIA pake Mozilla. Masih C. Di laptop temen juga sama,
tetep C, di warnet juga C. Dimana-mana C.
Apa
kesalahanku? Ternyata aku nggak konsiten. Tujuan memperbaiki adalah memperdalam
ilmu dan menaikkan nilai. Jadi, sudah sewajarnya jika kita harus lebih
antusias. Tetapi, yang aku lakukan cuma biasa-biasa aja. Pemikiranku seperti
mahasiswa kebanyakan, “kalau ngulang nggak wajib dateng”. Ya seharusnya kalau
nggak dateng kenapa ambil sks-nya?. Heran.
Dua
kesalahan aku lakukan. Pertama, terlalu meremehkan matakuliah. Kedua, terjebak
dalam pemikiran “ngulang nggak wajib dateng”. Dua kesalahan yang berujung pada
dua kali nilai C. Tapi kita juga harus pinter. Ambil pelajarannya untuk
kedepan. Dari hal itu-pula, aku jadi ingin belajar bahasa Inggris.
“A for
Apple,
B for
Banana,
C for
Chulaemi”
Thanks Mr. Chulaemi.
Thanks for your lesson.
0 comments:
Post a Comment