-kronologi hilangnya kalkulator matrik seharga satu juta-
celah dedaunan. Elok sekuntum bunga merah muda melengkapi suasana bak taman asri. Bukan di taman kota. Aku hanya berada di sebuah taman diantara dua jalan yang memisahkan kampus Hukum dan FIB.
Pagi itu aku
belum sempat sarapan. Bukan jadwalku untuk makan sepagi itu. Ya, saat itu baru
pukul tujuh. Disana aku sendiri, ditemani sebuah kotak besar warna kuning
bertuliskan SOKKIA.
Di dalam-nya ada
sebuah alat ukur Total Station, kami sering menyebutnya TS. Sebuah pita ukur
warna orange aku taruh di atas kotak tersebut. Cukup lama aku menunggu. Sekira dua puluh
menit.
Tak lama
kemudian, Yessi datang dengan membawa sariroti, air minum dan beberapa makanan
ringan. Baik banget cewek medan ini. Tapi dulu dia masih tomboy, nggak seanggun
sekarang.
“akhirnya kamu dateng
yes” ucapku. Yessi merespon, “uda lama nunggu bang?”. Sedikit bohong kujawab,
“enggak kok yes, baru lima menit.” Saat itu kita berdua masih nunggu Dzaki
Adzan, Heranda dan Chaca. Tak kunjung ada kabar. Kami berusaha menelfon mereka
satu persatu.
Setengah jam
kemudian, Heranda terlihat dari arah turunan widya puraya. Mantan petinggi
angkatan tersebut datang mengendarai megapro warna hitam kesayangan-nya. Kami
berdua maklum. Dia anak semarang bawah. Harus mengatasi macet-nya pasar
Jatingaleh dan Gombel.
Heranda orang-nya
enak. Datang langsung senyum, walau telat cukup lama. Tinggal dua manusia yang
masih kita nanti kedatangan-nya. Tanpa mereka berdua, kita nggak akan bisa
ngukur, soalnya susah kalau nggak ada tenaga lokal –tenaga bantu–.
50 menit kita
menunggu, hanya ngobrol santai sampil mempersiapkan sket denah lokasi
pengukuran. Yang ditunggu akhirnya memberikan kejelasan. HP ku bergetar. Ada
sms dari Dzaki, dia otw ke lokasi. Syukur lah.
Sekarang tinggal
satu onggok manusia yang belum jelas kabar keberadaannya. Nama-nya Charisma
Parasandi Alfarizi. Nama yang indah. Namun ketahuilah, terkadang keindahan itu
melalaikan. Bahkan terkadang menipu.
Chaca |
Secara fisik dia
gampang dikenali, hampir mirip Ikow Uwais, Vino G. Bastian, Reza Rahadian dan
Mat Solar. Namun nama terakhir yang paling dominan. Mungkin kalau aku jadi
pebisnis media entertainment, satu
program unggulan yang akan kugarap adalah The Bajaj Bajuri Return. Chaca yang
akan memerankan Mat solar muda.
Singkat cerita kami memulai pengukuran
seperti biasa, Yessi nyatet, Aku, Heranda dan Dzaki bergantian pegang TS. Kita
mulai dari titik pertama di tempat kami kumpul sampai ke belakang kampus FISIP,
dan terakhir di perkampungan baskoro.
Perlahan rasa
lelah mulai terasa. Air keringat mulai menembus celah kaos Chelsea yang aku
pakai. Matahari terlihat sepenggal naik. Jarum jam di tangan kiri Yessi
menunjuk pukul 10. Chaca yang kita nanti
belum juga dateng.
Bak buah manga
dimusim rambutan. Dari balik sebuah pohon rindang, chaca yang memakai kaos
inter tiba-tiba muncul dan mengagetkan kami. Mukanya masih lusuh, belum ada
tanda telah teroles sabun pencuci muka.
Jaket dan celana
jeans-nya compang – camping seadanya. Bahkan bentuk Bajuri beneran yang baru
selesai narik terus dimarahi oneng dan di-rese-in sama ucup, masih lebih
menarik dilihat daripada chaca saat itu. Menurutku dia baru bangun. Maklum,
pola hidup-nya (tidur dini hari) berkebalikan dengan manusia normal.
“lu baru bangun
cha?”. Tanyaku mengawali.
“iya tun. Guwe capek
banget”. Jawab chaca.
Dalam hati aku
mikir, kok bisa ya pengangguran ngrasain capek. Padahal belajar enggak, punya
cewek apalagi, trus capek ngapain?. Tidak tahu. Ah sudahlah. Cukup berbasa-basinya.
Chaca yang uda sarapan langsung membantu
kita pegang yalon, sebuah tongkat besi yang diatasnya dipasang prisma bulat
sebagai pemantul sinar laser yang dipancarkan oleh TS. Saat itu aku yang dapat
jatah pegang alat. Dan selama Chaca pegang yalon, fokusku terpecah.
Prinsip alat TS
sederhana. Dari lensa pengamatan kita bisa melihat suatu obyek yang jaraknya
cukup jauh dengan kenampakan yang cukup jelas. Hampir mirip dengan teropong
bintang. Fungsinya adalah untuk memastikan sinar laser dari alat TS mengenai tepat
di bagian tengah prisma yalon.
Jadi, saat aku
hendak menepatkan sinar laser TS ke tengah prisa, wajah lusuh chaca selalu
kelihatan dengan jelas, mau tertawa sungkan, mau ditahan juga penyakit. Cuma bisa
senyam senyum aja. Hikmahnya, sejak saat itu aku makin menjadi orang yang
bersyukur. Karena masih ada orang lain yang bernasib kurang beruntung.
Akhirnya kita
sampai di tengah kampus FISIP, antara gedung dekanat dan gedung kuliah
mahasiswa. Matahari uda hampir di atas kepala. Dan kami belum juga sarapan.
Dengan senyum manis Yessi meminta tolong Chaca membelikan nasi untuk kami
bertiga, Heranda masih kenyang.
Kuambil dompet warna
biru gambar Chelsea di kantong celanaku. Kuambil beberapa uang. Pun dengan Yessi.
Dzaki yang masih pegang alat minta tolong ke aku. “Tun, ambilin duit di dompet
guwe.”. aku jawab, “dompet lu dimana?”. “ ada di dalem tas” kata dia. Aku tanya
lagi, “tas lu dimana jek?”.
Dzaki yang sedari
tadi sentring alat tiba-tiba berhenti. Dengan muka agak kesel menghampiriku dan
bertanya, “tas guwe mana?”. “lhaah, nggak tau lah” jawabku. Yessi inget, “Tas
kamu bukannya di tempat kita pertama kumpul tadi pagi itu ya?. Seingetku sih.”.
Dzaki agak ngomel, mungkin karena kecapek-an, dengan suara lirih ia berkata “nggak
dibawain?”.
ekspresi muka Dzaki |
“Guwe ambilin
jek, sementara pake duitku dulu, lu nembak-pegang TS- aja.” Segera aku
ngambilin tas Dzaki yang ketinggalan. Yessi dan Heranda ikut nglanjutin ngukur.
Ekspresi Dzaki berubah agak kesel, ia merasa kurang diperhatiin sama kelompok.
Suasana menjadi sunyi.
Setelah ambil tas
Dzaki, motor ku parkir di parkiran belakang gedung dekanat FISIP. Disamping
motor Heranda. Tas Dzaki aku taruh di bagian pijakan kaki, motorku metik, jadi
ada tempat cukup buat naruh tas. Menurutku
sudah aman. Lantas aku menemui mereka.
Aku lihat Chaca
belum berangkat. “lu kok belum berangkat cha”.”gw mau pake motorlu aja tun,
biar enak bawa-nya.” . Tanpa pikir panjang ku kasih kontak Yamaha ku ke dia. “lu
cepetan ya, kita uda laper banget.”. Chaca mbales, “iya ganteng”.
Chaca nyari
motorku di parkiran. Ia jumpai tas Dzaki ada disitu. Karena ingin bawa banyak
barang bawaan, ia menyingkirkan tas Dzaki dan menggeletakkan di samping motor
Heranda. Tas itu disandarkan di samping kiri motor Heranda.
Selesai beli
semua-nya, Chaca balik dan markir motor tepat di tempat semula. Segera besi standar
ia injak dan mesin motor ia matikan. Ia kunci stang motor dan mengambil seluruh
barang bawaan. Satu hal yang ia lupa, tas Dzaki tak ia taruh kembali ke tempat
semula, di pijakan kaki motorku.
Setelah makan,
istirahat, dan sholat, kita nglanjutin ngukur sampai sore. Hingga temen-temen
semua merasa kecapek-an. “uda selesai yuk tun” pinta Chaca. Dzaki yang mulai
tenang, sambil senyum khas, ia menimpali, “lu dateng aja telat, pake ngajakin
udahan segala.”.
Chaca sok bijak beralibi,
“kita ini bukan robot jek. Adakalanya untuk istirahat ketika kita mencapai di
suatu titik kepenatan.”. kita yang mendengarkan hanya bisa tertawa. Sedang terjadi
percakapan antar sesama uncatalogued men.
Akhirnya ngukur
kami cukupkan, karena waktu uda menginjak sore hari. Ketika berkemas, Dzaki
bertanya, “lha tas guwe mana?”. Aku jawab, “ada di motor gw jek, tenang.”.”owhh,
yauda”. Berlima kita berjalan ke tempat parkir.
Setibanya disana, aku dikejutkan dengan
kosongnya pijakan kaki motorku. Mana tas si Dzaki?. “Cha, tadi lu liat tas item
punyak e Dzaki di motor gw?”. Chaca, “Iya tadi ada, gw taruh disamping motor
Heranda.”. Aku, “lha ini motor Heranda di samping motor gw, nggak ada apa-apa.”
Situasi berubah panik.
Yessi coba
menengahi, “lha tadi pas kamu balik abis beli makan masih nggak?”. Dengan ekspresi
sedikit panik, takut dan nggak enak, chaca menjawab ”kagak tau gw”. Dzaki menggerutu
dan duduk diatas sebuah batu. Heranda nanya, “tu isinya apa aja jek?”. “Kalkulator
metrik sama catetan”.
Kalkulator metrik
itu harganya hampir satu juta, Dzaki cukup merasa kehilangan. Apalagi ia
membelinya dari hasil jerih payah selama satu bulan magang di BPN Jambi. Sedari
awal ngukur ia banyak cerita pengalaman magang di BPN Jambi. Dari cara ia
menyampaikan cerita, kita tahu betapa berharganya kalkulator tersebut.
Suasana agak
tenang beberapa saat. Kemudian datang seorang satpam kampus. Chaca mendekat dan
bertanya, “Pak, tadi liat tas item di samping motor megapro warna item itu
nggak pak”. Satpam menggelengkan kepala, “lha tas-nya kok nggak dibawa?” tanya
satpam. Kita hanya diam.
“Gimana jek?”tanya
Chaca. “satpam nya aja nggak tau tas lu dimana.” imbuh Chaca. Dzaki masih
terdiam dan pasang muka sedih nan kecewa. Dzaki berucap “Mau gimana lagi”.
Tanpa ada kata lagi, Dzaki langsung cabut. Di susul kita berempat. Jadilah kami
menutup survey hari itu dengan sebuah kehilangan.
Masih untung
dompet nggak ikut hilang. Dompet ternyata nggak ada di tas. Keesokan hari-nya,
kita memulai survey seperti biasa. Semua dateng agak tepat waktu, terakhir
Dzaki yang susah dihubungi, uda agak lama dia belum dateng. Kita mulai cemas.
Kita takut kalau
Dzaki ngambek. Ternyata kami salah. Dzaki berangkat walau agak telat. Muka-nya
masih cemberut dan sedikit bicara. Segala macam pendekatan kita lakukan dan
memuji-muji kepinteran Dzaki supaya merasa terhibur. Dia masih berduka karena
insiden kemaren.
Sempat aku
ngomong ke Chaca, “apa kita iuran buat ngganti ya Cha?”. Chaca ngomong, “nggak
usa sih tun”. Chaca menambahkan, sebenernya kemarin salah si Dzaki juga, kenapa
tas ia tinggal di tempat pertama kali kita kumpul. Padahal yang lain dibawa
masing-masing.
Terus aku juga,
kalau menolong cuman setengah doang. Kenapa tas Dzaki aku taruh di parkiran,
bukan di satukan dengan tas yang lain. Kalau yang lain dibawa mengikuti arah
pengukuran. Pasti lebih aman. Heranda nggak ngerti apa-apa. Yessi uda coba
membantu. Sebenernya kalau disalahkan, siapa yang salah? Dzaki, Aku, Chaca,
atau satpam?
Ini cuman
kenangan ketika praktikum survey rekayasa satu. Sebuah kecerobohan yang
berujung pada hilangnya sebuah kalkulator metrik. Sekarang, Dzaki uda jauh lebih
tenang. Kenangan buruk itu malah mengingatkan ia tentang kami. Semoga
mengingatkan ia tentang suatu kebaikan. Bukan sebaliknya. Maaf Dzaki Adzan.
2 comments:
hahahaha kenangan banget ini ceritanya
iye cha, guwe aja masih inget setiap jengkal momen yang kemaren, Fisip penuh kenangan cha, termasuk cewek inspirasi gw itu. haahaha
Post a Comment