Buah Tin gugur di Damaskus
-fiksi
seorang bocah Syria yang merindukan keluarga
dan hangat
pangkuan sang ibu-
Rona matahari senja perlahan menghilang di ufuk barat langit Damaskus, Syria. Gemuruh suara
adzan maghrib bersahutan bak sebuah orkestra. Merdu dan menenangkan. Tiba saat
dimana rakyat Syria melepaskan segala hiruk pikuk kesibukan. Toko nampak tutup,
jual beli berhenti sejenak.
Ilustrasi: Ahmed |
Disudut masjid Ar Rahman, seorang
bocah memperhatikan segerombol karyawan sebuah toko perhiasan berjalan menuju
masjid. Di belakangnya, nampak paman Yazid, pemilik toko perhiasan, berjalan
agak cepat hendak menyusul.
“Ahmed”.
Teriak seseorang yang sangat ia kenal.
Bocah tersebut menoleh dan ia dapati sang ayah memanggilnya.
Segera ia memenuhi panggilan sang
ayah dan mendekatinya. Ia tahu, pasti ayah menyuruhnya sholat sunnah rawatib
sebelum shalat maghrib. Di usianya yang baru menginjak 5 tahun, Ahmed dididik
dengan tegas dalam hal ibadah oleh ayah-nya, Umar bin Ali.
Sesaat kemudian iqamah berkumandang, kemudian
syekh Yusuf Al Qharadhawi berdiri di tempat imam. Tubuh kecil Ahmed berdiri
diantara Ayah dan Hassan, kakak Ahmed. Mereka sering sholat berjama’ah bersama di
masjid. Sementara itu, sang ibu, Fatimah, nampak anggun di shaf perempuan.
Dalam keheningan shalat, terdengar
suara lirih salam syekh Yusuf, “Assalamu’alaikum Warahmatullah” Ahmed menoleh
kekanan dan kekiri cepat – cepat. Tangan ayah dan kakak segera ia raih dan
menciumnya sebagai wujud rasa hormat.
Ayah dan Hassan sedang berdzikir,
Ahmed mencoba mencuri kesempatan keluar masjid dan bermain bersama teman
sebaya. Baru mengangkat badan setengah berdiri, sang Ayah menoleh dan meminta
Ahmed berdo’a terlebih dahulu dan shalat sunnah dua rakaat sebagai penutup dan penyempurna
maghrib.
Ahmed lantas menengadahkan kedua tangan
dan berdo’a dengan mata melirik kearah teras masjid. Kemudian ia lanjutkan
berdiri dan sholat sesuai perintah ayah dengan cepat berganti ditiap gerakan
shalatnya. Setelah itu, barulah ayah mengizinkan
Ahmed ikut bermain, asalkan jangan terlalu berisik. Ahmed mengangguk.
Ilustrasi: Hassan |
Air mata bercucuran diwajah Umar,
hingga membasahi jenggot. Ia mengangkat kedua tangan dengan penuh kerendahan
dan penghinaan diri dihadapan Allah. Di sudut dalam masjid, Hassan nampak
khusuk melantunkan ayat suci. Dan Fatimah masih terjaga dalam sujud, berharap
ampunan atas segala dosa sebanyak buih di lautan.
Keluarga Umar memang sudah terkenal
dengan kealiman-nya. Ketika Fatimah membeli sayuran di pasar, banyak pedagang
yang memuji Umar sebagai seorang yang jujur dalam jual beli. Saat Umar pergi ke
kebun, orang lain menyebut Fatimah sebagai seorang istri yang selalu memelihara
pandangan. Pun dengan Hassan, ia salah satu murid pandai di sekolah-nya.
Ahmed beruntung berada di antara
keluarga yang sakinah. Tiap hari ada tiga manusia mulia yang menjaga dan
mengajarkan akhlak mulia kepada-nya. Tak mengherankan jika di usia mudanya ia
sudah hafal beberapa surah Al Qur’an. Dimata teman sebaya, Ahmed juga dikenal
jarang berbuat jahil.
***
Ilustrasi: Umar, Fatimah dan Ahmed |
Umar adalah seorang petani buah Tin
yang tumbuh subur di Damaskus. Tiap hari ia bekerja ke ladang untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Dari buah Tin itu pula Umar dan Fatimah mampu pergi haji ke
Baitullah. Serta membiayai sekolah Hassan dan Ahmed. Mereka hidup bahagia di
tanah Syam.
Hingga tiba dipenghujung tahun 2011, terjadi
pergolakan politik di beberapa negara jazirah
arab, tak terkecuali Syria. Di satu pihak, kaum mujahidin sunni menggelorakan
pembelotan terhadap rezim syi’ah berkuasa pimpinan Bashar Al Assad. Sementara
kaum syi’ah melontarkan dukungannya kepada Assad.
Umar seorang penganut sunni, ia
meyakini golongan yang mengikuti kaidah Al Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi, ia tak
serta merta mendukung sunni Syria dan membenci syi’ah yang berkuasa. Baginya,
beragama merupakan suatu pilihan, bukan suatu paksaan. Selama bisa bersama
kenapa harus berperang?
Jikalau salah satu golongan memang benar,
maka golongan yang menyimpang lambat laun akan kembali kejalan kebenaran, jika
yang membenarkan mampu menampilkan kebenarannya tersebut. Umar selalu berusaha
menampilkan kebenaran sunni melalui perilaku dan ritual ibadah di keseharian-nya.
Sore 12 Desember 2011, Damaskus sunyi
senyap. Tak ada suara adzan maghrib berkumandang. Listrik di sekitar masjid Ar
Rahman terputus. Jalanan nampak sepi dari lalu lintas, hanya sesekali kendaraan
lapis baja yang berpatroli. Udara dingin khas iklim gurun menemani rasa
kesunyian.
Dari kejauhan, ruko perhiasan milik
Yazid nampak miring ke arah samping. Bangunan tiga lantai tersebut hampir
roboh. Papan ruko bertulis “toko perhiasan Yazid” pecah dan terkena bercak
darah. Situasi tegang dan mencekam. Tak seorang-pun berani keluar rumah.
Bersambung*,
*penulis sedang mengerjakan laporan
kampus. hehe.
0 comments:
Post a Comment