Sebuah buku memoar seorang negarawan, ulama, sastrawan, dan
ayah bagi seorang Irfan Hamka, anak keempat Buya. Irfan –penulis– saat ini
berusia 70 tahun, sedang sang ayah sudah meninggal ditahun 1981 lalu. Walau
sudah tiada, karya beliau masih mampu kita rasakan sampai saat ini. Beberapa buku
Buya telah dicetak ulang dan beberapa bahkan telah diangkat kelayar kaca,
seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk.
Dia bukan hanya seorang sastrawan, dia juga seorang ulama
terhormat di tanah Minang pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Saat
dipenjara selama 2 tahun 4 bulan oleh Soekarno, ia menyelesaikan buku Tafsir Al
Qur’an Al Azhar sebanyak 30 Juz. Di kampung halamannya ia juga dikenal sebagai
seorang pesilat handal.
Dia juga seorang cendikiawan, mendapatkan gelar Doktor
Honouris dari Universitas Al Azhar Mesir, Buya juga menjadi ketua MUI pertama,
bahkan selama dua periode. Mantan petinggi partai Masyumi era orde lama ini
juga pernah menjabat sebagai pendiri dan pengasuh yayasan pesantren Indonesia –YPI–
yang melahirkan sekolah islam terpadu Al Azhar.
Nama kecil Buya –kyai/ulama dalam budaya Minang– Hamka adalah
Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau lahir disebuah desa di Maninjau, Bukittinggi
dari seorang ayah bernama Syech DR. Abdul Karim Amrullah, seorang ulama Minang
dan Ibu bernama Siti Shafiah. Beliau menghabiskan masa kecil dilingkungan
terhormat dan penuh akan nilai-nilai agama islam.
Buya muda tidak mampu menuntaskan sekolah rakyat dan
pesantren dengan baik, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca dan
belajar berbagai hal secara otodidak. Hingga ia merasa kurang akan ilmu yang
dimilikinya dan meminta izin kepada orang tua untuk menuntut ilmu ke tanah jawa
di usia yang masih muda.
Beberapa waktu setelah ia lama tinggal di jawa, seorang
utusan dari Maninjau meminta Buya untuk pulang kampung dan mengamalkan filsafat
Muhammadiyah yang telah ia dapatkan kepada masyarakat Minang. Tak berapa lama
kemudian, Buya pulang dan memutuskan untuk menikahi seorang gadis cantik nan
bersahaja bernama Siti Raham Rasul binti Rasul St. Redjo Endah, seorang ulama
Minang.
Jadilah Buya seorang anak ulama yang menikahi seorang putri
ulama Minang pula. Diusia 19 tahun ia menikah dan Siti Raham berusia 16 tahun, suatu
hal wajar di saat Belanda masih bercokol. Setelah berkeluarga, Buya muda
memutuskan menunaikan haji dan menuntut ilmu untuk beberapa waktu di Arab Saudi.
Setelah kembali, jadilah Buya seorang pandai agama, silat dan berdakwah.
Kemampuannya tersebut membawa Buya sebagai pemimpin perang
gerilya diakhir tahun 1940an. Ia mampu menghimpun kekuatan masyarakat Minang
untuk mematikan kekejaman tentara Belanda. Selama perang geriliya, Buya keluar
masuk hutan Sumatra yang masih perawan, tak jarang ia jumpai suara Harimau dan
ditempeli lintah ganas. Semua itu Buya lakukan demi satu tujuan, belanda keluar
dari bumi Indonesia.
Kabar mundurnya Belanda dan kalahnya Jepang oleh sekutu
beberapa waktu kemudian memberikan senyum lebar seorang Buya. Apa yang ia
lakukan ternyata berbuah manis, hingga akhirnya Indonesia menyatakan
kemerdekaannya. Beberapa saat kemudian, Buya mendapat surat dari Soekarno untuk
bersedia menjadi pejabat tinggi di kementerian agama RI.
Buya dan keluarga memulai babak hidup baru di Jakarta. Jiwa
negarawan Buya semakin kuat setelah masuk panggung politik pemerintahan. Ia
turut merumuskan dasar negara bersama negarawan lain seperti Adam Malik,
Soekarno, Hatta, M. Natsir, Moh Yamin, dan lainnya. Buya dan partai Masyumi
bercorak Islam berusaha memasang pondasi nilai agama dalam tata negara.
Buya adalah seorang nasionalis, namun ketika berbicara
tentang akidah –pokok– agama, ia tak mau bergeming sedikitpun. Saat menjabat
menjadi ketua MUI di periode kedua, ia membuat fatwa tegas yaitu umat islam
dilarang merayakan natal. Hal yang menimbulkan kerenggangan hubungannya dengan
presiden terpimpin Soekarno. Presiden ingin fatwa tersebut dicabut, karena ia
merasa akan mengganggu prinsip nasionalisme, namun Buya tetap bergeming dan
lebih memilih mundur dari jabatannya.
Melihat kedudukan Buya sebagai seorang negarawan, ulama, dan
sastrawan, banyak suara-suara sumbang yang memojokkan beliau semasa PKI
berkuasa di kancah perpolitikan. Melalui koran Harian Rakjat, Bintang Timur,
dan Warta Bhakti, seorang tokoh PKI, Pramoedya Ananta Toer menuduh Buya sebagai
seorang Plagiat. Hingga puncaknya Buya dipenjara tanpa peradilan oleh
pemerintah orde lama atas tuduhan terlibat dalam upaya pembunuhan presiden
Soekarno.
Dua tahun setelahnya, Buya dibebaskan oleh presiden penerima
mandat MPRS, Soeharto. MPR Sementara menentukan Soeharto sebagai presiden
terpilih melalui sidang luar biasa beberapa saat usai orde lama menunjukkan
kemunduran dan terjadi upaya kudeta paksa yang dilakukan oleh PKI. Setelah Buya
bebas, semua PKI, Lekra, koran dan segala hal berbau PKI dibubarkan sampai ke
akar oleh pemerintah orde baru.
Buya seorang pemaaf. Dijebloskan ke penjara tanpa peradilan
oleh Soekarno tak membuatnya sakit hati.
Beberapa saat sebelum wafat, Soekarno
meminta Buya bersedia menjadi imam sholat jenazah ketika ia wafat. Tokoh
nasionalis lain seperti Moh Yamin diakhir hayat juga meminta Buya untuk
menemani jasadnya ke Minang, ia takut jenazahnya di tolak oleh masyarakat adat
Minang. Dengan adanya Buya, Moh Yamin berharap masyarakat Minang mau
memaafkannya.
Cerita menarik dilakukan oleh Pram –sapaan Pramoedya–
setelah PKI dan Koran yang diasuhnya dipangkas Soeharto. Pram adalah seorang
beragama islam, begitu juga anak perempuannya. Ketika anak Pram ingin menikah
dengan seorang Kristen keturunan tionghoa, ia berkata kepada calon menantunya, “Temuilah
Buya Hamka. Sesungguhnya aku ingin anakku dinikahi oleh orang seagama. Belajarlah agama dari Buya. Karena aku percaya
Buya mampu mengislamkan kamu dengan benar.” Suatu pesan permohonan maaf dari hati Pram kepada Buya atas apa yang
dahulu ia lakukan.
Itu hanya sebagian dari beberapa kisah dan sisi lain seorang
Buya Hamka. Saya suka sejarah dan politik, maka hanya sudut pandang itulah yang
saya sampaikan. Sebenarnya masih ada banyak yang belum tertuliskan, baik Buya
sebagai seorang ayah teladan, kehidupan rumah tangga, pengalaman diujung maut,
ia seorang sufi, ilmu tassawuf, seorang diplomat, dan lain sebagainya.
Buku ini sangat cocok bagi kalian yang rindu akan sosok
negarawan yang nasionalis religius dalam berbagai aspek kehidupannya. Bahasa
yang dituliskan Irfan sangat mengalir bak bercerita dengan teman hangat. Hingga
tak terasa waktu sudah bergulir dan perut belum terisi makanan saat asyik
membacanya.
Buku ini tersedia di Gramedia seluruh Indonesia –InshaAllah–
dan diterbitkan oleh penerbit Republika. Terakhir dari saya. Selamat Membaca.
(Bisa beli sendiri atau meminjam ke saya juga bisa).
0 comments:
Post a Comment