Sebuah Renungan Islami.
Penyesalan memang menyakitkan. Itu aku rasakan setelah
menerima kenyataan pertama kali mendapat nilai D sepanjang kuliah di kampus
Geodesi Undip. Mau tak mau harus perbaikan di semester 9. Karena ada syarat
yang tidak memperbolehkan sidang skripsi sebelum semua mata kuliah wajib
diselesaikan, maka sidang hasil skripsi baru bisa aku lakukan di semester 10,
lebih dua semester dari yang telah aku perkirakan.
Sebenernya segala usaha sudah ditempuh. Dosen sudah kita
bujuk untuk memberikan remidi UAS ataupun nilai tugas. Hingga keinginan kami
disampaikan saat sidang yudisium, pihak jurusan sepakat untuk menolak
permohonan kami. Mendengar hal tersebut, lantas kami meminta maaf kepada orang
tua kami masing-masing.
Sedih. Pasti. Menyerah. Tidak. Karena masih ada 1000 jalan
menuju Roma. Masih ada kisah 1001 malam yang harus kita lewati. Jalan menuju
kesuksesan bercabang begitu banyak, walau berujung pada satu tujuan. Buntu di
salah satu jalan, melompat ke sisi yang lain. Dan setiap jalan memiliki keunikan
kisah masing-masing.
Ingat!. Kita hanya perencana, sedang Tuhan adalah penentu.
Yang menurut kita baik, belum tentu baik pula menurut-Nya. Tidak jarang, apa
yang tidak kita sukai, justru itulah yang terbaik untuk kita. Selama matahari
belum terbit dari barat dan nyawa masih menempel di kerongkongan, selama itu
pula harapan akan tetap mengalir bersandingan disetiap usaha.
Yang sempat terbersit didalam benak saya adalah, bagaimana
kalau penyesalan yang saya rasakan ini saya rasakan kembali di suatu masa ketika
harapan itu tak lagi ada. Setiap kesempatan sudah kembali kepangkuan ilahi. Hingga tak lagi tersisa, meskipun satu puing
kesempatan.
Disana tiada tempat bernaung, tidak ada lagi tempat untuk
berlari, apalagi bersembunyi, dan tak seorangpun mampu menolong kita. Sapi tak
lagi menyusui anaknya, emas permata ditanggalkan, bahkan seorang istri tak lagi
memikirkan suaminya. Semua orang sibuk terhadap urusan masing-masing.
Saat itu tak adalagi rerumputan hijau, padi menguning,
bukit, bahkan gundukan tanah pun tak ada. Semuanya datar bak sebuah lembar
kertas bercorak padang pasir yang terbentang jauh sepanjang mata memandang.
Kata orang bijak, tempat itu bernama padang mahsyar. Tempat umat manusia
pertama sampai terakhir dibangkitkan.
Nuh berkumpul dengan ummat satu bahtera, begitu pula dengan
Ibrahim, dan Yakub beserta bani Israil, hingga sebuah bendera hijau milik
Muhammad beserta ummatnya. Ketika nabi berseru kepada ummat, hanya mereka yang
di dunia mengindahkan suara panggilan (baca: Adzan) yang mampu mendengar
seruannya. Saat itulah semua yang kita lakukan didunia akan di tampakkan. Hanya
mereka yang pandai menjaga aib orang lain semasa di dunia yang akan dijaga
aibnya.
Saat itu tak ada lagi penangguhan. Kita sudah tidak ditanya
tentang dosa kita, tapi langsung dibalas setimpal tanpa sedikitpun dirugikan,
sebagaimana firmanNya dalam surah Ar-Rahman, surah ke 55. Yang kita dapati
hanya yang telah kita usahakan di dunia. Bagaimana kita harus menghadapinya? Kalau
jelek, apakah ada remidi? Jawabannya tentu tidak ada, karena di sana adalah
akhirat, air mata tak ada guna.
Jika penyesalan di dunia saja sudah menyesakkan hati. Itupun
masih ada harapan dan waktu serta kesempatan untuk memperbaikinya. Bagaimana
kalau waktu kesempatan itu sudah ditutup? Tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali
menerima apa yang telah kita usahakan. Oke kalau baik, kalau ternyata buruk?
Tentu menjadi pertanyaan besar buat kita.
Jika tidak ingin menyesalinya, maka berfikir jernih lah
mulai dari sekarang. Berfikir lah tentang kebaikan sepanjang umur singkat yang
diberikan-Nya untuk kita. Bukan menakuti, hanya memperingatkan. Bukan
mengarang, namun menyampaikan. Karena itu memang benar adanya.
Harapan masih ada! Imam Mahdi masih kita tunggu
kehadirannya, bukan untuk menindas kaum lain agama, namun hanya menegakkan
kebenaran dibumi Allah. Tak ada paksaan dalam beragama, namun kebenaran perlu
dipaksakan.
Tetap berfikir jernih! Dan begitu seterusnya!
Ingat! Berfikir jernih!
Berfikir jernih!
Jernih!
Jernih!
Jannah…
0 comments:
Post a Comment