Saya seperti
mahasiswa kebanyakan. Sedih tiap lihat televisi hanya berisikan berita kasus
korupsi yang dilakukan oleh beberapa wakil rakyat. Mereka yang seharusnya
menjadi perwakilan aspirasi, keinginan dan hak kita, malah berlaku seperti
maling yang tak berperasaan. Sudah terlampau banyak rupiah yang mereka rampas.
Saya juga
seperti mahasiswa kebanyakan. Hanya mampu mengutuk mereka dan berdiam diri,
sekedar membincang dan mencaci mereka bersama kawan sejawat. Dan bisa ditebak,
hanya berujung caci maki tak bertuan, sedang yang bersangkutan tak mungkin
mendengar. Lebih parah, hal itu tak mengubah korupsi sedikitpun.
Mulai dari
itu, sedikit waktu saya berfikir. Cukup kah hanya diam saja? Mencaci maki dan
bersumpah serapah?, tentu tidak. Perlu sedikit gerakan untuk menggeser posisi
sebuah meja, pun dengan korupsi, perlu sedikit gerakan untuk menggesernya, atau
bahkan menyingkirkan-nya.
Awalnya saya
mulai dari diri sendiri, karena ada orang bijak berkata, jika kita mampu
mengubah diri kita menjadi jauh lebih baik, maka secara bersamaan kita telah
mengubah sebuah masyarakat –negara– untuk menjadi lebih baik.
Saya memulai
dengan menghilangkan kata mencontek atau kerjasama ketika ujian. Mengurangi
kebiasaan titip absen ketika ada jadwal kuliah. Mengerjakan tugas kelompok
sesuai bagian saya. Sampai perihal waktu keberangkatan, sebisa mungkin
mendahului dosen sampai di kelas.
Namun, saya
rasa masih ada banyak hal yang kurang selama ini. Rasa-rasanya kok nggak adil
kalau hal ini hanya dilakukan oleh segelintir mahasiswa. Bagaimana bisa
mengubah sebuah negara besar jika kebaikan tak dirasakan oleh semua orang?. Aku
baru teringat,
“Kebaikan
yang tak terorganisasi, akan terkalahkan oleh kejahatan yang terorganisasi.
Walaupun kita semua tahu, bahwa kebaikan pasti akan mengalahkan kejahahatan.
Maka, sebaik-baik kebaikan adalah yang terorganisasi dengan baik.”
Sudah
saatnya kita mewadahkan kebaikan tersebut kedalam suatu wadah pergerakan yang
mampu mengajak orang untuk bersama – sama memperbaiki diri dan negara.
Bersama-sama menghilangkan hobi korupsi dari benak anak bangsa. Dan sampai saat
ini, pilihan saya jatuh kepada Turun Tangan.
Kenapa Turun
Tangan?
Turun Tangan
tak hanya mengajak kita untuk sekedar berfikir, namun mengajak kita untuk turun
langsung menghadapi berbagai masalah yang sedang dialami bangsa kita, termasuk
korupsi. Sekarang bukan saatnya kita hanya berdiam diri!
Berikut ada
beberapa poin mengenai Turun Tangan :
Non profit.
Ya, Turun tangan bersifat sukarela, tak ada iuran wajib diantara para relawan.
Donatur pun bersifat individual orang yang peduli dengan turun tangan dan nasib
bangsa, bukan institusi yang mengharapkan timbal balik dibelakangnya.
Profesional.
Komunitas Turun Tangan memiliki kantor pusat di Jakarta dan beberapa koordinator
wilayah - korwil -di tiap kota besar di Indonesia. Jadi, secara jaringan mereka
sudah profesional. Mereka juga memiliki pusat layanan informasi mandiri dan
media penyebar semangat turun tangan.
Variatif.
Kegiatan yang diadakan oleh komunitas Turun Tangan sangat beragam, kita tak
terbatas oleh isu tertentu, misal pangan, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Jadi bagi kalian yang punya bakat apapun bisa gabung ke kita, hanya saja, ada
satu syarat mutlak, kalian peduli dan mau meng-“Hadapi” apapun tantangan kita
didepan.
Bukan alat
politik. Turun Tangan memang identik dengan seorang Anies Baswedan –salah satu
peserta konvensi partai Demokrat– yang juga penggagas gerakan Indonesia
Mengajar (IM). Faktanya, Anies turut mencantumkan nama Turun Tangan.
Ini sebuah
pertanyaan besar. Sudah dari awal saya katakana dalam hati, saya akan
berpartisipasi dalam kegiatan sosial, bukan politik. “karena saya mengagumi
Anies bukan dalam kapasitas sebagai politisi, namun tokoh pendidikan”. Jawaban
yang saya cari akhirnya terjawab saat acara pembekalan relawan oleh tim Turun
Tangan pusat kepada seluruh relawan Turun Tangan Semarang di hari sabtu, 8
Februari 2014.
Mbak Juwita
–anggota Turun Tangan pusat– bercerita, jika Turun Tangan telah ada sebelum
Anies Baswedan diundang sebagai salah satu peserta konvensi. Dan Anies Baswedan
merupakan salah satu penggagasnya. Jadi, Turun Tangan bukan produk maupun alat
politik dalam rangka pencalonan Anies Baswedan.
Namun,
mengapa Anies Baswedan mencantumkan nama Turun Tangan dalam agenda promosi
integritas?. Turun Tangan menjawab, “kita
hanya mendukung orang baik, dan pak Anies merupakan orang baik. Selama pak
Anies Baswedan baik, kami akan selalu mendukungnya. Karena yang terpenting
adalah tercapainya cita-cita kita, Indonesia yang lebih baik”.
Owh gitu ya.
Sekarang saya bertanya, BAIK-nya seorang Anies Baswedan itu seperti apa?.
Ternyata banyak, yang paling saya suka diluar penggagas Indonesia Mengajar dan
Rektor termuda di Indonesia, saya lebih kagum pada sifat kejujuran Anies
Baswedan.
Sejauh ini
dia masih bebas korupsi. Lahir di dalam keluarga bersih dan berpendidikan
menjadikan Anies Baswedan seorang yang bersikap jujur. Dia juga dijadikan
sebagai ketua komite KPK saat menghadapi prahara cicak vs buaya. Tentu KPK
–lembaga anti korupsi– lebih mengtahui integritas “kebersihan” seseorang. Dan Anies Baswedan terpilih sebagai ketua,
mengepalai orang-orang hebat yang usianya jauh diatas-nya.
Dan satu hal
yang membuat saya lega. Ketika tim Turun Tangan pusat berkata, “jika Anies Baswedan
kalah. Maka Turun Tangan akan tetap ada, bukan bergantung pada hasil
perhitungan suara. Karena pada dasarnya kita mendukung orang baik, maka kita
akan tetap mendukung Anies Baswedan, selama dia menjadi orang baik.
Sekarang,
saya hanya bisa berkata,
“Saya bukan pendukung Anies Baswedan, tetapi saya
pendukung orang baik. Selama Anies Baswedan baik, maka saya akan mendukungnya.”
"Sekarang saatnya kita (T)urun (T)angan, bukan sekedar urun angan."
Semoga
bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment