Di hari
sabtu pagi yang cukup cerah, aku duduk di sebuah bangku setinggi lutut. Kursi
tersebut terbuat dari besi ringan dan beralaskan empuk berwarna hitam. Kursi
itu dilengkapi dengan sebuah alas untuk menulis, teksturnya halus karena
dilapisi triplek berwarna putih.
Aku duduk
agak di belakang, empat dari belakang dan dua dari kiri. Samping kiriku duduk
Ener, sebelah kanan Tyo, depan ada Vauzul dan belakang ada Novita –kalau nggak
salah–. Kita sedang mengikuti ujian mata kuliah Geofis saat itu.
Kurasakan
dahiku mulai berkeringat, perasaan menjadi gusar, sedang hatiku bergejolak
tajam. Setan dan malaikat tak ubah seorang penjual yang menjajahkan barang
dagangan disampingku. Semua hal menyenangkan dari kebaikan dan keburukan sudah
terbayang di benakku.
Malaikat
berkata, “Jangan kamu bertanya. Jujur itu lebih gentle –kece– dari pada
curang,”
Iblis tak
mau kalah, dengan sigap ia berbalas kata, “Kalau sedikit mah gapapa, daripada
kamu nanti dapet nilai jelek! Mau?”. Kurasakan syaraf menuntunku membelokkan mata
ke kanan dan ke kiri.
“Jangan lah
tun, di peraturan kan nggak dibolehkan bekerja sama, walau kamu sudah tidak
lagi menyontek, tapi bekerjasama dalam suatu “kejahatan” kan tidak baik juga,
masuk kategori dosa malahan.” Malaikat kembali menawarkan janji kebaikan.
Iblis
mengebiri dan mempertegas “Aduuh, nggak papa lah, kan nggak sering – sering
juga. Dari pada kamu nanti dapat D!”
Segera aku
putuskan, aku memang tak pernah lagi menyontek, tapi godaan untuk sekedar
memasang telinga berharap ada yang berbicara sedikit keras perihal jawaban tak
mampu aku elak. Sesekali mata melirik ke kanan, kiri dan samping, walau tak
bertanya jawaban secara langsung, tapi niat tetap ada.
Beberapa
waktu kemudian, nilai D muncul di kolom nilai hasil studi semester tujuh. Beberapa
hal menjadi catatan tersendiri dalam hidupku. Pertama, jika kita mau
berkeringat saat persiapan, tentu kita tak perlu berdarah-darah saat
pertandingan. Kedua, sekecil apapun, keburukan pasti akan kembali kepada
pelakunya. Ketiga, kejujuran adalah sebuah nilai yang teramat mahal, bukan
hanya karena efek terhadap pelakunya, tetapi karena sangat sukar juga
diperolehnya. Keempat, penyesalan memang menyakitkan.
Perempuan Tanpa Nominal
Bicara
kejujuran membawa ingatan saya kembali ke sebuah memori hampir empat tahun
silam. Waktu yang cukup lama untuk memahami suatu perkara, namun selamanya akan
tetap terpatri dalam sanubari. Saat itu kami sedang merayakan kelulusan ujian
nasional SMA N 3 Boyolali, sekolah masa remaja saya. Namun masih ada yang
kurang kami rasakan, saat itu, ada satu teman kami yang belum beruntung (baca:
tidak lulus) dan harus mengikuti ujian nasional susulan.
Kelas IPA II
sebagai kelas murid berpredikat 1, 2 dan 3 besar tak seramai kelas lainnya.
Kita tak mungkin bersuka ria tatkala masih ada teman yang masih tertinggal.
Semangat dan do’a terus kita berikan, walau sekadar untaian kata semangat kita
untuk dia yang masih harus berjuang lagi.
Kabar burung
yang mengemuka mengatakan, bahwa ia belum bisa lulus karena saat ujian sedang
berlangsung, saat semua teman menoleh kesemua arah, berbisik, menunggu sms
jawaban dari bocoran soal, entah mereka yang masuk kategori pemalas atau rajin
sekalipun, hal berbeda justru ia lakukan. Tak sekalipun ia bergeming
memalingkan muka dari lembar soal dan jawaban miliknya.
Ia adalah
cucu dari guru agama di SMA kami. Tangan hangat beliau-lah yang mendidiknya menjadi
pribadi yang taat, terutama taat kepada Tuhan yang maha Esa, dan semua itu
tercermin dalam ketaatannya kepada orang tua, guru, bahkan terhadap peraturan
hukum yang berlaku. Jika memang di dalam ujian dilarang bekerjasama, tak
sekalipun ia melanggarnya.
Walau semua
yang ia lakukan berbuntut panjang, ia tetap memilih jalan kejujuran, walau ia
sendirian, ia tak mengkuti semua orang, walau terkesan “aneh”. Saya saat itupun
berfikiran sama, “aneh”. Perlu sekedar pemahaman nilai kebaikan agama untuk
melakukannya. Mereka yang berani melakukannya bukan hanya membaca, namun
memahami dan menanamkannya dengan hati – hati di tiap langkah yang ia tapaki.
Sungguh
wanita “aneh” yang banyak dicari, dipuji, dan dikagumi, bukan oleh kebanyakan
manusia saat ini, tetapi oleh Dia dan manusia yang banyak berbuat kebaikan.
Ia
termasuk sebaik – baik golongan wanita. Do’a untuk dirinya, semoga menjadi jauh
lebih baik lagi saat ini, dipertemukan dengan penunjuk jalan yang baik pula,
walau sudah jarang berjumpa, namun teman selamanya teman, kalau berjumpa
Alhamdulillah, semoga kita masih bisa saling berucap “salam”, baik di surga
dunia maupun akhirat. Aamiin.
0 comments:
Post a Comment