Ada satu hal menarik yang saya dapati saat menonton
acara motivasi Mario Teguh Golden Ways minggu malam yang lalu. Yaitu saat pengisi
acara, Mario Teguh, menyampaikan salam pembuka acara, assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakattuh, salam sejahtera, hom suasti astu.
Tiga salam yang mewakili Islam, Kristen, Katolik
serta Hindu dan Budda. Cerminan keanekaragaman religi yang dimiliki negara
sekuler yang konon subur tersebut.
Memang hanya sekedar salam, tetapi itu lah cerminan
nilai toleransi antar umat beragama yang terbedakan oleh sekat, sebagai resiko
bersatunya berbagai golongan religi dalam tubuh seekor burung garuda.
Tetapi, kadang kala sekat perbedaan tersebut saling
menggores dua hal diantaranya. Hingga menimbulkan bekas goresan ataupun bercak
warna hitam dikedua belah pihak. Entah dari sisi mana gesekan itu berasal.
Ibarat magnet kutub utara dan selatan yang saling
tarik menarik hingga akhirnya bersatu, seperti itu juga masyarakat Indonesia seharusnya,
bersatu walau memiliki kutub yang berbeda beda.
Satu hal yang pasti, ketika kedua kutub tersebut
bersatu dengan sekat sebagai medianya dan dipererat dalam balutan energi
pancasila, pasti akan terjadi pelepasan partikel lembut magnet pada ujung
masing – masing kutub. Hingga lama kelamaan ujung masing – masing kutub akan
nampak kasar dan tidak rata seperti kondisi semula.
Disinilah energi pancasila memainkan peranannya,
bagaimana ia membuat kedua belah kutub tersebut mula – mula bersatu hingga
akhirnya bisa saling merekat hingga tak terlihat bekas sambungannya dan seolah
menjadi satu kesatuan batang magnet baru.
Dengan nama baru pula ia tercipta, Indonesia, tanpa
meninggalkan pula ciri – ciri keberbedaan yang ada didalamnya. Maka sudah
semestinya energi toleransi tersebut lebih diperbesar lagi, guna meminimalkan pelepasan
partikel kedua kutub yang bersatu tersebut terbang bebas ke udara.
Karena tak selamanya burung garuda mampu mengudara
di angkasa bumi nusantara tuk menangkap lepasan partikel magnet tersebut dari
udara untuk ditata kembali ke batang bhineka tunggal ika.
“saya
generasi yang mencintai energi toleransi, tetapi saya sedang menutup mata
terhadap pluralisme”
~ada apa dengan pluralisme? Next post maybe