Kebijakan
Pemerintah mana yang tidak memiliki konsep bagus? UKT dan kenaikan harga BBM
memiliki konsep bagus, semua orang percaya akan hal itu. Akan tetapi, bagaimana
peng-implementasi-annya dalam realita hidup bangsa Indonesia? Tak sesuai dengan
rencana awal. Entah itu dimakan korupsi, kolusi maupun nepotisme. Jika konsep
kebijakan pemerintah dan peng-implementasi-an kebijakannya sama – sama tidak
bisa dijalankan, apa yang harus kita (baca: mahasiswa) lakukan?
Kenali
apa yang menjadi penyebabnya, KKN adalah puncak dari gunung permasalahan moral,
iya, demoralisasi adalah proses kemunduran yang sedang dialami kebanyakan
pejabat bangsa ini. Kalau kita ber khuznudzon –baik sangka– mungkin hanya
segelintir orang yang mengalami demoralisasi akut, akan tetapi sebagian besar
dari segelintir orang tersebut ialah orang yang memiliki kekuasaan, langsung
saja sebut mereka yang duduk di Senayan.
Mereka banyak membuat konsep kebijakan, tapi banyak pula peng-implementasiaan-nya yang jauh panggang dari api, permasalahannya pun beragam, tetapi jika ditelaah, benang merah nya ialah demoralisasi akhlak bangsa. Dan yang lebih memprihatinkan ialah terorganisasinya proses demoralisasi tersebut sehingga membentuk suatu sistem yang celakanya sistem tersebut kita gunakan dalam proses berbangsa dan bernegara.
Kita
mungkin sudah tahu bagaimana rusaknya “sistem” yang sedang berjalan di
Indonesia, salah satunya ialah sistem politik yang juga meliputi etika
berpolitik. Bagaimana mungkin partai yang didirikan karena perkembangan
tarbiyah dan berlandaskan nilai – nilai agama Islam, salah satu oknum nya atau
lebih tepatnya ketua –mas’ul– bisa terjerat kasus korupsi? Begitu kuatnya
sistem berpolitik di negeri ini, dengan mudahnya menjerumuskan orang “suci” ke
jurang kenistaan.
Lantas,
apakah kita hanya pasrah meyesali apa yang telah terjadi? Sekali kali tidak!
Kita sebagai pemuda generasi dakwah harus melakukan lebih dari apa yang akan
dilakukan oleh pemuda lainnya. Walau tak mudah, akan tetapi bukan suatu hal
yang mustahil. Ibarat mujahid yang ikut berperang tentu akan mempersiapkan diri
jauh hari sebelum berperang, dengan harapan akan memperoleh kemenangan yang
menegakkan panji – panji islam.
Mujahid
tentu akan mempersiapkan fisik, mental serta peralatan perang seperti pedang
yang tajam, pakaian perang yang cukup melindungi, kuda yang sehat, serta
perbekalan selama peperangan. Seperti itu juga lah kita seharusnya bersikap,
bersiap diri sebaik mungkin sebelum berjihad di jalan Alloh untuk memperbaiki
“sistem” berbangsa dan bernegara kita.
Dewasa
ini mentoring tumbuh kembang dan mulai menjamur dikalangan mahasiswa di
berbagai kampus di Indonesia. Mentoring tak ubahnya sebuah kelompok belajar
dimana kita saling tukar menukar ilmu –terutama ilmu agama dan akhlak– dan
pengetahuan umum antar anggota kelompok. Hal yang tidak kita dapatkan di ruang
kelas perkuliahan. Disini lah peranan mentoring sangat berharga dalam proses
pembentukan dan pembinaan nilai – nilai agama, termasuk akhlak dan moral
berkebangsaan didalamnya.
Kenapa
mahasiswa? Karena dari mereka lah akan dicetak ahli – ahli dibidang mereka
masing – masing, mereka juga lah yang bertanggung jawab terhadap kemajuan
bangsa. Akan tetapi kebanyakan dari mereka hanya memiliki keahlian di bidang
keteknisan saja, bagaimana dengan keahlian dibidang sosial dan moralnya? Maka
dibutuhkan peran besar mentoring untuk menumbuhkannya.
Seiring
berjalannya waktu, pelaksanaan mentoring tak semulus yang di harapkan. Seperti
halnya Rasulalloh SAW saat berdakwah, mentoring pun mengalami problematika
serupa. Mulai dari skill murabbi –pementor– sendiri, sampai anggota mentoring
yang mulai “kehabisan bensin” ditengah perjalanan proses mentoring. Karena
insyaAlloh kita sebagai Murabbi adalah panggilan jiwa, maka sekecil apapun
skill yang kita miliki, dengan izin dan pertolongan Alloh, hal tersebut tak
akan menjadi suatu permasalahan besar.
Tetapi,
kenyataannya, menjadi Mutarabbi tidak semua nya merupakan panggilan jiwa
seperti halnya Murabbi, itulah yang menyebabkan sedikit demi sedikit anggota
mentoring “berguguran”. Salah satu solusi yang mungkin bisa di coba adalah
dengan memperbaiki sistem mentoring yang kita lakukan. Lebih dekat lah dengan
Mutarabbi, usahakan mentoring berjalan dua arah bahkan bisa dicoba model tanya
jawab. Diharapkan, dengan terjalinnya kedekatan antara Murabbi dan Mutarabbi,
musim “berguguran” tersebut bisa dihindari.
Dan
sebagai mana adab ilmuan muslim seperti Ibnu sina dan Al khawarizmi, jangan lah
kita merasa cukup dengan ilmu yang telah kita miliki saat ini. Ingat, ketika
kita menjadi seorang Murabbi, tak ubahnya kita menjadi seorang selebriti, apa
yang kita lakukan dan apa yang kita katakan, akan didengar dan dicontoh oleh
Mutarabbi kita. Jadi, kita wajib hukumnya mencari sebanyak – banyaknya ilmu dan
pengetahuan lebih banyak lagi agar dalam bertindak kita akan semakin berhati –
hati.
“Makin banyak wawasan, makin mudah kita menulis”
Kata tersebut juga berlaku untuk mentoring, makin banyak
wawasan keagamaan kita, makin mudah pula kita untuk menjelaskan kepada
Mutarabbi. Saya pribadi rasa, ketika kita sebagai seorang Murabbi sudah
berusaha dengan ikhlas untuk menambah ilmu sebanyak mungkin, berusaha
mendekatkan diri secara personal ke masing – masing Mutarabbi, itu sudah cukup
untuk menebus janji dan amanah kita sebagai seorang Murabbi di mata Alloh SWT.
Seperti halnya Rasulalloh yang hanya menyampaikan, jika mereka tidak mau
menerima risalah Rasul yang kita sampaikan, itu sudah kembali ke-urusan masing
– masing orang terhadap Alloh, kita tidak ikut menanggung apa yang akan mereka
dapatkan.
Jadi,
mulai dari sekarang sampai seterusnya, lebih perdalami lagi ilmu keagamaan dan
wawasan kita, jika kita ingin menjadi seekor kucing, cari lah gerombolan
kucing, hindari dan hiraukan ajakan gerombolan serigala. Rangkul calon
Mutarabbi kita melalui do’a dan pendekatan personal, perbaiki terus skill kita
dalam menyampaikan sesuatu hal. Dan jangan lupa kita berdo’a untuk kita
–Murabbi– sendiri, semoga dimudahkan jalan dan didekatkan pertolongan Alloh dan
semoga kita akan tetap istiqomah di jalanNya, maka insyaAlloh kita akan
mendapatkan derajat yang lebih tinggi dihadapnNya. Hal itulah yang insyaAlloh
ingin saya pribadi lakukan.
“Supaya,
ketika nanti saya mati, saya disapa Djibril dan Izrail datang dengan muka
bahagia dan mengucapkan salam. Ketika istirahat di alam kubur pun tak akan
disempitkan oleh Alloh, Munkar dan Nankir pun tak membentak ketika bertanya
kepadaku. Dan semoga Ridwan menanti kedatangan ku dan hanya sesekali Malik
memanggil ku, itupun karena ia ingin men-suci-kan ku sebelum diriku menetap di
Firdaus, Amiin. Semoga disana aku disapa oleh Alloh, berkesempatan bertemu
dengan Rasulalloh SAW dan sahabat, walau semasa di dunia aku ditakdirkan tidak
hidup sezaman dengan mereka, berbeda 14 abad lamanya.Amiin ya Rab.” Wahyu Nur
Rohim
“Jangan
malu berdo’a kepada Alloh, walaupun kita sedang lemah iman dan berkali – kali
mengkhianati cinta dan kasihNya”