Tirani
merupakan suatu model pemerintahan dimana penguasa memegang kedaulatan atas
negara yang ia perintah, sehingga hak-hak milik rakyat cenderung terabaikan.
Totaliterisme, kediktatoran, penindasan, despotisme dan dominasi merupakan
pertanda suatu tirani telah berkuasa.
Pertanyaannya,
benarkah dalam sistem kelembagaan mahasiswa di Undip telah terjadi praktek
model pemerintahan yang Tirani? Sebelumnya, satu hal yang perlu diluruskan,
sistem kelembagaan mahasiswa yang dimaksud disini ialah sistem keluarga
mahasiswa (KM) yang telah bertahun – tahun dipraktekkan oleh lembaga badan
eksekutif mahasiswa (BEM) di Universitas Diponegoro.
Sistem Keluarga Mahasiswa atau yang popular dengan sebutan KM merupakan suatu sistem kekeluargaan yang bertujuan untuk menyatukan visi dan misi antara BEM Universitas dengan BEM Fakultas yang bersinergi dengan HM –Himpunan Mahasiswa– di Jurusan. Jadi, diharapkan dalam arah pergerakan dan aktivitas keorganisasiannya memiliki satu langkah dan satu komando untuk mencapai visi bersama.
Di
Undip, Seorang Presiden dan Wakil Presiden BEM KM dipilih melalui pemilu raya
–pemira– yang diselenggarakan di tiap bulan Desember. Sedang anggota Senat
mahasiswa dipilih melalui perwakilan partai mahasiswa yang mendapatkan suara
saat pemira. Setelah anggota senat terpilih, mereka lantas menetapkan PPO –Pedoman
Pokok Organisasi– dan GBHK –Garis - Garis Besar Haluan Kerja– untuk dijadikan
pedoman kerja Badan Eksekutif Mahasiswa satu tahun periode.
Sama
seperti yang dianut oleh pemerintah, sistem demokrasi di Undip juga sejalan
dengan konsep demokrasi di negara kita. Dimana setelah Presiden dan Wakil
Presiden dilantik, segera dibentuk kabinet yang terdiri dari pentolan Fakultas maupun
partai mahasiswa yang telah memberi dukungan pada saat awal pencalonan.
Seperti
DPR, anggota Senat mahasiswa juga di isi oleh pentolan partai yang mendapat
suara saat pemira. Tak berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara demokrasi,
di Undip, parlemen –Senat– juga di dominasi oleh senator dari partai yang
mendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Laiknya fraksi Demokrat yang
menguasai parlemen dan memimpin fraksi koalisi di Senayan.
Saat
ini, konsep kebijakan otonomi daerah juga dipakai di masing – masing BEM
Fakultas. Suatu kebijakan yang mungkin dapat mematahkan apa yang disebut praktek
totaliterisme dan despotisme. Dimana dalam sistem ini masing – masing Fakultas
diberikan kebebasan mengelola Fakultas secara mandiri. Garis hubungan yang
dibuat antara BEM Universitas dan Fakultas bukanlah garis pertanggung jawaban,
melainkan hanya garis koordinasi.
Dalam
sistem KM, praktek kediktatoran tidak memungkinkan untuk dilaksanakan. Karena
keputusan tertinggi bukanlah di tangan Presiden BEM KM, akan tetapi kekuasaan
tertinggi berada di tangan Musyawarah Keluarga Mahasiswa. Yang mana, dalam
musyawarah tersebut wajib dihadiri oleh BEM, Senat, UKM dan UPK/UKK. Jadi, yang
membuat keputusan tertinggi dalam tata lembaga ialah musyawarah bersama, bukan
keputusan kepala pemerintahan.
Pertanda
Tirani selanjutnya ialah adanya suatu penindasan. Perlu kita ketahui, ketika
roda pemerintahan demokrasi berjalan, sangat rentan adanya gesekan antara
kepentingan koalisi dan oposisi. Apalagi yang berbeda paham seperti islamis dan
liberalis yang terjadi di mesir beberapa waktu ini. Ketika koalisi sangat
dominan, apalagi jika mereka dekat dengan pihak birokrasi, maka kepentingan
pihak oposisi jadi terabaikan.
Akan
tetapi, dalam praktek demokrasi praktis di Universitas yang berlambang pangeran
Diponegoro ini masih terlalu samar untuk mengetahui seberapa besar dan seperti
apa wujud kepentingan dari pihak oposisi tersebut. Yang jelas, kepentingan baik
koalisi maupu oposisi tak akan jauh dari kata kekuasaan.
Dengan
kekuasaan, mereka dapat memainkan peran yang lebih besar. Mulai dari eksistensi
bendera partai mahasiswa yang merupakan manifestasi dari karakter gerakan
ekstra kampus yang disisipkan melalui berbagai kegiatannya. Beberapa waktu
lalu, bahkan pihak berkuasa mampu mendatangkan HP, seorang tokoh yang ikut bersaing
dalam pemilihan gubernur jawa tengah saat itu. Dan kebetulan, ia juga disokong
oleh partai politik yang memiliki kesamaan karakter dengan partai mahasiswa
yang menyokong Presiden dan Wakil Presiden BEM terpilih.
Selayaknya
kritik terhadap presiden SBY yang sibuk dengan Demokrat, seharusnya seorang
Presiden BEM juga harus “melepaskan baju” dan mengabdi sepenuhnya kepada
mahasiswa. Akan tetapi, sekarang, hal tersebut seolah menjadi lumrah di dalam
sistem demokrasi yang sedang mengalami kemunduran, seperti yang dicontohkan
pemerintah di negeri ini.
Justru
yang terjadi adalah hal sebaliknya, perwakilan HM dari fakultas orange yang
ditengarai sebagai oposisi bersedia bersinergis untuk kegiatan pelantikan
lembaga dan pengawalan isu Uang Kuliah Tunggal –UKT– beberapa waktu lalu.
Sehingga, nyaris seluruh Fakultas yang mulanya terpetakkan oleh bendera partai
kini bersedia bekerja sama dengan pihak berkuasa.
Terakhir,
pertanda dari Tirani ialah unsur dominasi. Banyak aspek yang dapat didominasi,
namun, akan menarik jika dominasi tersebut dilakukan terhadap aspek keuangan
atau anggaran. Besaran anggaran tiap satu periode kepengurusan sebenarnya sudah
ditentukan oleh Rektorat, baik untuk BEM, Senat, UKM, maupun UPK/UKK. Jadi, tidaklah
bisa memainkan nominal secara sembarangan disini. Terlebih, belakangan
terungkap bahwa besaran anggaran yang diberikan oleh Rektorat tak sanggup
menutup jumlah pengeluaran diberbagai kegiatan BEM KM selama setengah periode
ini.
Satu
hal yang menjadi sorotan ialah perihal beasiswa, karena semua beasiswa baik
informasi maupun proses pendaftaran administrasi yang mengurus adalah pihak
kementrian kesejahteraan mahasiswa –KESMA–, jadi banyak kabar burung yang
mengatakan ada penyalahgunaan kewenangan disini. Baik berupa pembatasan
informasi, maupun mengutamakan beberapa pihak tertentu saat proses pendaftaran
beasiswa.
Beberapa
hal diatas saya uraikan setelah mendengarkan pendapat dari Pembantu Dekan III
FPP dan FISIP, Pak Basul dan Pak Wahyu, saat menghadiri acara workshop
kelembagaan di Hotel Le Beringin kota Salatiga, pertengahan Februari lalu.
Mereka berdua kompak menyuarakan “pembaruan” di dalam sistem tata lembaga di
Undip yang dinilainya telah mempraktekkan model Tirani. Terlebih, dari tahun ke
tahun, BEM tetap mengadopsi sistem KM, yang mereka anggap sebagai jelmaan
KAMMI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia, yang tumbuh seiringan dengan
munculnya gerakan tarbiyah yang
dimotori petinggi Partai Keadilan –sekarang PKS– yang berafiliasi dengan
Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Terakhir
dari saya, dengan 5.245 kicauan, 29 following dan 4.276 followers ( sampai 31/7
2013) saya rasa cukup banyak informasi yang dibagi oleh KESMA. Bandingkan
dengan kementerian lain, misalkan kementerian pengabdian masyarakat yang baru
berkicau sebanyak 1.606, dengan 151 following dan 450 followers dalam kurun
waktu yang sama. Dari media sosialnya pun sudah terlihat bahwa pihak KESMA
selalu mengupdate berita mengenai beasiswa, tanpa ada maksud untuk menutupi.
Mampir juga ke situs resmi mereka di http://kesmabemkmundip.wordpress.com/,
berita lengkap tentang beasiswa ada disitu, nggak percaya? coba aja tanya pada
206.523 page viewer nya.
Kabar
terkini konsep baru ketatalembagaan kita sudah dalam proses perampungan draft,
menurut hemat saya, konsep ini belum akan ditetapkan pada kepengurusan tahun
depan. Tetapi semua itu bisa berubah tergantung seberapa besar lobi kedua tokoh
yang saya sebut di atas terhadap PD III fakultas lainnya beserta Pembantu
Rektor III yang memiliki kedudukan tertinggi di bidang kemahasiswaan. Motif apa
dibalik isu perubahan sistem ketata lembagaan yang masih sehat ini?