Tuesday 31 December 2013

Laboratorium Hidup di Pesisir Sangatta

Posted By: Unknown - 1:22 am

Share

& Comment

Bacaan Jurnalisme Investigasi

oleh farid gaban


Dengan umurnya yang 58 tahun, otot dan tulang Ado Tadulako nampak kokoh, meski kulitnya mulai keriput oleh sengatan terik matahari pantai Sangatta, Kalimantan Timur. Dia masih gesit mengendalikan sampan kecil bermotor tempel menyusuri muara dangkal Sungai Labuhan.

”Ikan dan kepiting sempat menghilang dari pantai ini,” katanya. ”Tapi, mulai berdatangan lagi setelah kami tanami pohon bakau.”

Dari mulut Sungai Labuhan, laut lepas yang biru mulai kelihatan. ”Itu sapo kami,” kata Ado. Sapo adalah kata lain untuk rumah di atas air pesisir. Sapo milik Ado seperti menara yang menjulang di tengah kebun bakau yang masih muda, seperti kebun anggur di atas air layaknya. Jika siang, Ado biasa mengunjungi sapo, membawa satu-dua dari tujuh cucunya, mengawasi budidaya ikan kerapu, dan mengamati pertumbuhan tanaman bakau berhektar-hektar. ”Perlu puluhan tahun agar pantai ini menjadi lebat kembali,” katanya.

Ado mungkin takkan bisa menikmati kembali lebatnya hutan bakau seperti ketika dia kecil. Kini menjadi salah satu penghuni tertua Dusun Teluk Lombok, Desa Sangkima, Ado ikut orangtuanya hijrah dari Mamuju, pesisir barat Sulawesi, ketika berusia 12 tahun. Pada 1960-an, banyak warga Sulawesi menyeberang Selat Makasar menuju pantai timur Kalimantan untuk menghindari konflik bersenjata antara Tentara Nasional Indonesia dan Pemberontak Kahar Muzakkar. Mereka umumnya menghuni wilayah pesisir yang pada 1987 ditetapkan menjadi bagian dari Taman Nasional Kutai.

”Waktu saya kecil, hutan bakau di pesisir ini masih rimbun,” katanya. ”Tapi kini hanya tersisa sekitar 10% saja. Hutan bakau ditebangi untuk membuka tambak udang.”

Dusun Teluk Lombok kini masuk wilayah Desa Sangkima, Kecamatan Sangatta, Kabupaten Kutai Timur. Berpenduduk 120 keluarga (atau 320 jiwa) secara keseluruhan dusun ini masuk wilayah Taman Nasional Kutai.

Penduduk awal Teluk Lombok tinggal di tepi pantai dengan mata pencaharian utama menjadi nelayan. Tapi, hilangnya hutan bakau tak hanya mengusir ikan belanak, baronang dan kerapu, tapi juga membahayakan hidup mereka. Air laut terus menggerus pantai dan memakan fondasi rumah-rumah mereka.

Abrasi telah memaksa rumah penduduk berkali-kali diangkat menjauhi bibir pantai. Setelah mengalami beberapa kali perpindahan, akhirnya penduduk memutuskan untuk benar-benar pindah menjauh dari tepi pantai, ke daerah yang ditempati sekarang, sekitar satu kilometer dari air laut.

Kerusakan hutan bakau merupakan salah satu problem lingkungan serius, tak hanya di Pesisir Sangatta, tapi juga di seluruh Kalimantan Timur, bahkan pulau-pulau lain di Indonesia.

Hutan bakau di pantai Propinsi Kalimantan Timur, yang panjang seluruhnya mencapai 1.000 km, terus menyusut tajam. Salah satu yang kerusakan terparah terjadi di kawasan Delta Mahakam, tempat hutan bakau yang tadinya seluas 150.000 hektar kini hanya tersisa sekitar 20.000 hektar saja.

Di banyak pulau lain, kerusakan serupa terjadi. Di pantai Denpasar, Bali, misalnya, hutan bakau seluas 7,5 hektar disulap menjadi kompleks pertokoan terbesar di Asia Tenggara. Di Pulau Bakung, Riau, hutan bakau yang pada 1993 seluas 18.000 hektar, kini hanya tersisa 15% saja. Di pesisir Gorontalo, Sulawesi, hutan bakau menyusut hampir separuhnya dalam kurun dua puluh tahun.

Di pesisir Aceh, kerusakan hutan bakau telah menjadi malapetaka tersendiri. Ketika tsunami besar menerjang, desa-desa tepi pantai telanjang tak memiliki pelindung, membuat korban tewas demikian banyak. Sekitar 75% hutan bakau seluas 36.000 hektar musnah dalam dua dasawarsa terakhir.

Masyarakat Teluk Lombok tahu benar pelajaran alam seperti itu. Berkat kunjungan sejumlah aktivis lingkungan dari berbagai lembaga swadaya masyarakat pada akhir 1980-an, penduduk Teluk Lombok mulai mengetahui rahasia abrasi laut: yakni hilangnya hutan bakau. Tapi, baru setelah reformasi, pada 2003, mereka mulai serius bertindak.

Kesadaran baru ini muncul setelah mereka belajar mengorganisasikan diri dan mencari jalan keluar bersama melalui pertemuan-pertemuan desa. Kegiatan mereka didukung oleh Yayasan Bina Kelola Lingkungan, atau yang lebih dikenal sebagai Bikal. Yayasan ini dibantu oleh Program Kehutanan Multipihak (Multi-stakeholders Forestry Programme - MFP), sebuah program kerjasama antara lembaga Inggris Department for International Development (DFID) dengan Departemen Kehutanan RI.

Pada 2003, Bikal mengajak beberapa penduduk Sangkima berkunjung ke Sulawesi Selatan untuk melihat bagaimana masayarakat sebuah desa pesisir berhasil memulihkan hutan bakaunya. Salah satu peserta dalam kunjungan itu adalah Usman, anak tertua Ado, yang setahun kemudian mewarisi bapaknya dalam mempelopori rehabilitasi hutan bakau di Sangkima.

Sepulang dari Sulawesi Selatan, Usman mulai mencari bibit dan menanam kembali bakau secara swadaya. “Semula saya dianggap orang gila,” kata Usman. Tapi, kenekadan Usman tak hanya berarti untuk pelestarian hutan bakau di desanya, melainkan juga punya nilai ekonomi. Usaha pembibitan bakau mulai menghasilkan uang. Pada awal 2004, ketika warga setempat sepakat membentuk Kelompok Tani Pangkang Lestari, Usman terpilih menjadi ketuanya. Nama Pangkang diambil dari bahasa mayoritas penduduk setempat, yang artinya “bakau”.

Pada tahun itu kelompok tani tadi dipercaya untuk menyediakan bibit guna memenuhi kebutuhan pemulihan hutan bakau di Teluk Lombok melalui Gerakan Rehabilitasi Lahan seluas 10 hektar. ”Kami bahkan menambah luas program ini dua hektar karena melihat lahan kosong yang bisa kami tanami,” kata Usman.

Semula dicemooh, kegiatan pembibitan bakau di muara Sungai Labuhan kini meluas melibatkan lebih banyak warga, perempuan dan anak-anak sepulang mereka dari sekolah. ”Seperti pasar jika musim mencari bibit,” kata Usman. ”Orang ramai datang ke sini membawa radio mereka.” Secara bisnis mereka mendapat dukungan dari Mitra Kutai, sebuah konsorsium community development yang dimotori perusahaan-perusahaan swasta di Kutai Timur.

Hadirnya kembali hutan bakau telah membangkitkan jenis usaha-usaha lain bagi masyarakat setempat. Ikan dan kepiting datang lagi ke pantai mereka. Kelompok Tani Pangkang Lestari pun mulai tertarik melakukan budidaya penggemukan kepiting dengan sistem keramba apung. Pengetahuan tentang budidaya ini diperoleh di daerah Kariangau, Balikpapan, melalui studi banding pada 2003.

Tapi, budidaya kepiting sering menyisakan produk yang cacat atau tidak lengkap bagian tubuhnya. Kepiting cacat ini tidak bisa dijual, atau harganya sangat murah. Kaum perempuan Kelompok Tani belakangan mulai belajar pula bagaimana memanfaatkan barang murah ini agar lebih bernilai. Mereka mulai membuat usaha kerupuk kepiting. Kini usaha kerupuk kepiting mereka telah mendapatkan nomor registrasi sesuai standar dinas kesehatan dan telah melalui uji keamanan pangan di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) Samarinda. Dengan kerupuk kepitingnya, pada 2005, kelompok tani ini mewakili Provinsi Kalimantan Timur dalam lomba nasional teknologi tepat guna.

Program ini memicu proses pembelajaran lebih jauh dengan melibatkan kaum perempuan anggota kelompok, dan secara tak langsung meningkatkan kesadaran kelompok perempuan untuk bisa lebih berpartisipasi dalam pengembangan usaha  keluarga dan meningkatkan kemampuan kaum perempuan dalam manajemen organisasi kelompok, serta partisipasi lebih luas di masyarakat.

”Meski hidup di dalam Taman Nasional, masyarakat setempat belajar bagaimana memanfaatkan hasil hutan bukan kayu tanpa merusak hutan,” kata Mukti Ali Azis, Direktur Pelaksana Yayasan Bikal. ”Jika ekonomi mereka membaik, godaan untuk merusak Taman Nasional mengecil.”

Usaha bisnis berkembang lebih luas lagi. Program budidaya rumput laut dimulai pada Agustus 2005, dan memicu proses belajar yang lain. Kaum perempuan kelompok tani berinisiatif untuk membuat aneka produk olahan dari rumput laut, antara lain penbuatan puding dan es rumput laut. Bersama dengan kerupuk kepiting, aneka produk rumput laut ini juga pernah dipesan oleh PT Kaltim Prima Coal dalam pelaksanaan bazaar besar setempat.

Meski secara ekonomi hasilnya belum memuaskan, Teluk Lombok telah benyak memicu inovasi dan menjadi laboratorium hidup bagi masyarakat setempat dalam mengembangkan ekonomi dan melestarikan hutannya.

“Kami ingin terus mengembangkan usaha-usaha ini,” kata Usman. Kelompok Tani Pangkang Lestari berusaha memperluas jaringan pasar untuk produk-produk unggulan kelompok, seperti kerupuk kepiting, rumput laut dan aneka produk olahan rumput laut. Bekerjasama dengan kelompok tani dari lain, mereka juga berencana membudidayakan teripang.


Belajar bersama tiada henti. Dalam usia tuanya, Ado Tadulako bisa tersenyum bangga. “Saya bisa menyaksikan masyarakat desa ini berinisiatif dan tumbuh,” katanya. ”Saya sendiri sering diundang ke beberapa daerah di Indonesia untuk berceramah tentang pelestarian hutan bakau.”

About Unknown

Program Studi Teknik Geodesi Universitas Diponegoro Semarang. Lembaga Pers Mahasiswa Momentum. Rohis Athlas dan INSANI. Sherpa Mapala. Kemendagri BEM KM Undip. Geodet Berbagi. Turun Tangan Semarang. Orang Jawa. Survei Topografi.

0 comments:

Copyright © 2013 Ghostwriter™ is a registered trademark.

Designed by Templateism. Hosted on Blogger Platform.