sebuah karya investigasi
|
(hanya) ilustrasi privatisasi air
|
Dari Thames ke Ciliwung
Diplomasi air kotor, investasi air besar
Oleh Andreas Harsono
WAKIL PRESIDEN HAMZAH HAZ adalah
politikus kawakan yang tahu cara memanfaatkan media, dan lebih penting lagi,
menggunakan media untuk mencapai tujuan politisnya. Ia menunjukkan ketrampilan
itu sekali lagi pada 3 November lalu, ketika bertemu duta besar Inggris untuk
Indonesia, Richard Gozney. Tentu saja, pertemuan mereka tertutup, tapi setelah
mengantar tamunya ke luar istana Wakil Presiden di bilangan Kebon Sirih Jakarta,
Hamzah membiarkan dirinya dikerubuti wartawan.
Hamzah memasang senyum di depan kamera, kemudian mengatakan bahwa ia
dan Gozney baru saja membicarakan soal PT Thames PAM Jaya, anak perusahaan
Inggris Thames Water. Gozney minta Hamzah membantunya menaikkan tarif air di
Jakarta dalam upaya penyelamatan PT Thames PAM Jaya, yang menderita kerugian
finansial sebesar US$58 juta selama tiga tahun terakhir. Per bulannya
perusahaan itu merugi rata-rata $1.5 juta dan sangat mungkin angkat kaki dari
Jakarta. Kenaikan tarif yang dibutuhkan untuk mengatasinya sekitar 20 persen.
Petang itu, ketika Gozney masih dalam perjalanan pulang, program berita
malam di televisi sudah menyiarkan pertemuan mereka. Pagi berikutnya pernyataan
Hamzah jadi berita utama di sejumlah surat kabar Jakarta. The Jakarta Post
memasang tajuk, “Gozney Wants Water Rates Hiked.” Di London, tempat markas
Thames Water berada, surat kabar Guardian memberitakan pertemuan tersebut dari
sudut berbeda, “Jakarta Unit Drains Thames Cash.”
Thames Water adalah satu dari sejumlah pengelola air terbesar di dunia.
Sejarah konglomerat ini berawal di London pada abad ke-17. Namun bentuk
modernnya baru terwujud pada 1989, di masa pemerintahan Perdana Menteri
Margareth Thatcher, ketika Thatcher menswastakan sejumlah badan usaha milik
negara termasuk Water Authority. Thames Water, hasil privatisasi Water
Authority, kemudian melebarkan sayap dan beroperasi di berbagai tempat di
dunia. Pada 2001 sebagian besar saham Thames Water dibeli konglomerat Jerman,
RWE Group, yang bermarkas di Essen. Nama perusahaan tersebut kemudian diubah
jadi RWE Thames Water.
Satu dari banyak proyek Thames Water ada di Jakarta. Pada Juni 1997,
atau empat tahun sebelum merger Jerman-Inggris itu terjadi, Thames Water
mendapat kontrak selama 25 tahun untuk membentuk usaha modal bersama dengan
perusahaan air milik negara di Jakarta, Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM
Jaya). Saat itu Thames Water menggandeng Sigit Harjojudanto, putra sulung
Presiden Suharto.
Tapi Jakarta terlalu besar untuk dikelola satu perusahaan saja.
Presiden Suharto kemudian membagi Jakarta dengan mengikuti aliran Sungai
Ciliwung. Thames Water mendapat bagian timur Ciliwung. Lyonnaise des Eaux milik
konglomerat Prancis Suez (belakangan ganti nama menjadi Ondeo Service) kebagian
jatah di sebelah barat. Suez bekerjasama dengan Salim Group, yang ketika itu
adalah konglomerat terbesar di Indonesia. Konsorsium ini mulai bekerja pada
Februari 1998 dengan tanggung jawab utama menjaga pasokan, distribusi, dan
pembayaran air bersih buat penduduk Jakarta.
Sialnya, tiga bulan kemudian, pada Mei 1998, Presiden Suharto jatuh di
tengah-tengah krisis ekonomi di sejumlah negara Asia. Kerusuhan pecah di
berbagai tempat di Indonesia. Sejumlah organisasi politik menuntut Suharto
diadili karena korupsi. Banyak orang percaya bahwa anak-anak dan kroni Suharto
juga terlibat dalam sederet kerja sama bisnis yang dilakukan secara kotor.
Alhasil, baik Thames Water dan Suez, dua dari sekian perusahaan
internasional yang terkait dengan bisnis keluarga Suharto, terpaksa
membicarakan ulang kesepakatan mereka dengan PAM Jaya. Ekonomi Indonesia
terpuruk akibat krisis ekonomi. Rupiah terdevaluasi terhadap dollar Amerika
dari Rp 2.300 pada Juli 1997 ke lebih dari Rp 10.000 di pertengahan 1998.
Kedua konsorsium berusaha mempertahankan operasi mereka, tapi tak
seorang pun menyangka bahwa devaluasi bisa terjadi begitu liar. Pemerintah
Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jakarta terus-menerus
terlibat dalam perundingan dengan konsorsium tersebut untuk membahas kenaikan
tarif air. Singkat kata, sejak mulai beroperasi pada Februari 1998 hingga
pertemuan Hamzah dan Gozney, sudah terjadi tiga kali kenaikan tarif. Kenaikan
pertama sebesar 18 persen, disusul 25 persen pada April 2001, dan menjadi 40
persen pada terjadi April 2003. Namun tarif (water tariff) itu terhitung
rendah, secara rata-rata, bila dibanding imbalan air (water charge) yang harus
PAM Jaya bayarkan pada para pengelola air internasional tersebut.
Saat Gozney berkunjung menemui Hamzah Haz, gagasan untuk sekali lagi
menaikkan tarif air mendapatkan kecaman dari berbagai aktivis organisasi
konsumen, beberapa lembaga swadaya masyarakat, dan sejumlah partai politik.
Mereka berpendapat, baik RWE Thames Water maupun Suez gagal memperbaiki layanan
dan efisiensi, yang ditandai dengan adanya gangguan pasokan air, kualitas air
yang buruk, dan angka kebocoran air yang mencapai 45 persen. Organisasi
konsumen air, Komparta, bahkan mengajukan gugatan ke pengadilan, dengan alasan
layanan yang disediakan konsorsium ini jauh dari memuaskan.
Bagaimana situasi rumit ini bisa melibatkan Richard Gozney? Apakah ini
lantaran kedekatannya dengan sejumlah pemimpin Indonesia? Seberapa jauh
kelancarannya berbahasa Indonesia, lengkap dengan sebersit aksen ala Jakarta, dapat
membuka jalan sehingga dirinya bisa menembus struktur kekuasaan Jakarta yang
sedemikian kompleks?
Said Budiary, salah seorang asisten Hamzah Haz, dalam wawancara dengan
saya mengatakan bahwa Gozney sebelumnya telah berbicara dengan Gubernur Jakarta
Sutiyoso. Gozney minta Sutiyoso menaikkan tarif air. Namun Sutiyoso berkata
bahwa ia perlu dukungan kuat agar bisa menaikkan tarif, dengan menyebut bahwa
dukungan tersebut haruslah datang dari “yang di atas” (Said juga kolumnis
majalah Pantau).
Gozney, dengan dukungan John Trew, presiden direktur PT Thames PAM
Jaya, semula bermaksud mendekati Presiden Megawati Sukarnoputri. Namun, jadwal
Megawati agak padat. “Beliau juga sering kurang cepat bergerak,” kata Budairy.
Gozney akhirnya mendekati Hamzah.
Menurut Budiary, Hamzah sepakat mendukung kenaikan harga, tapi minta
perusahaan Inggris-Jerman itu menerapkan mekanisme subsidi silang antar mereka
yang miskin dan yang kaya. Hamzah khawatir bila kenaikan tak terjadi, RWE
Thames Water hengkang dari Indonesia. Ini tak hanya menimbulkan masalah air di
Jakarta, melainkan membuat gentar pemodal asing lain di Indonesia.
Tekanan tak cuma datang dari kubu Jerman-Inggris. Suez mengirimkan Eric
de Muyinck, presiden Ondeo untuk urusan internasional, menemui Gubernur Sutiyoso.
De Muyinck dan Michele Tay, presiden Ondeo untuk kawasan Asia, mendatangi
kantor Sutiyoso 21 Oktober lalu. Menurut Bernard Lafrogne, wakil Ondeo di
Jakarta, pesan mereka singkat saja: naikkan tarif air atau Ondeo Service angkat
kaki!
Tekanan dua arah itu berhasil. Gubernur Sutiyoso mendapat dukungan
Hamzah Haz. Ia pun mengajukan usul kenaikan air ke DPRD Jakarta pada 10
November 2003 atau seminggu setelah pertemuan Gozney-Hamzah, dengan memasang
angka 30 persen, 10 persen lebih tinggi dari angka yang diusulkan Gozney.
Proposal tersebut menjelaskan bahwa 17 persen dari kenaikan tadi akan
digunakan untuk melunasi utang PAM Jaya sebesar Rp 900 milyar ($105,88 juta)
pada konsorsium swasta, sedang sisanya yang 13 persen dipakai untuk menutupi
ongkos inflasi dan biaya operasi pihak swasta. Utang itu hasil kumulatif dari
perbedaan antara tarif air yang dibayar pelanggan dan imbalan air yang
dibayarkan PAM Jaya kepada perusahaan-perusahaan air internasional tersebut
sejak Februari 1998.
Tanpa banyak cingcong, DPRD Jakarta, yang anggotanya juga terdiri dari
politisi Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz, menyetujui proposal
tersebut pada Desember 2003. Tarif baru yang naik sebesar 30 persen akan
berlaku mulai 1 Januari 2004.
Gozney tentu saja senang. Ketika masa kerjanya selesai pada akhir
Januari lalu, ia dirayakan dengan sebuah pesta perpisahan yang amat
mengesankan! The Jakarta Post menurunkan editorial yang manis untuk Gozney.
Gozney tak hanya mampu menjelaskan duduk persoalan Perang Irak pada publik
Indonesia, antara lain dengan muncul di layar televisi, tapi juga membela
kepentingan usaha dagang Inggris di Indonesia.
KANTOR PUSAT PAM JAYA terletak di daerah Pejompongan, sebuah permukiman yang
lumayan sejuk di tengah hiruk-pikuk Jalan Penjernihan, Jakarta Pusat, yang
menuju daerah Tanah Abang. Gedungnya dua lantai dan di salah satu ruang, saya
menemui Achmad Lanti.
Lanti seorang birokrat yang piawai bicara tentang pekerjaannya. Ia suka
membumbui isi pembicaraan dengan aneka peraturan, angka-angka, tanggal,
nama-nama dan data-data lain. Ia berkulit gelap dan sahaja dalam berbusana.
Ketika saya mengunjunginya akhir Desember lalu, Lanti kelihatan santai dan
seperti biasa menyodorkan bermacam tabel, data, dan angka, yang ia ambil dari
sejumlah laci.
Lanti adalah kepala Badan Regulator Pelayanan Air Minum Provinsi DKI
Jakarta. Nama lembaga ini cukup panjang, toh tugas utamanya sederhana saja
yakni menjadi “wasit” antara pihak swasta dan PAM Jaya. Lanti mulai menjabat
pekerjaan ini pada November 2001, beberapa bulan setelah ia pensiun dari
Departemen Pekerjaan Umum.
Saat itu Badan Regulator baru saja dibentuk. Ia harus menyeimbangkan
kepentingan publik, yang membutuhkan air bersih dengan harga murah, dan
konsorsium swasta, yang membutuhkan keuntungan finansial atas investasi mereka.
“Ini soal kepercayaan, harus membangun kepercayaan baik dari mitra
swasta maupun dari PAM Jaya,” ujarnya.
Lanti bukan wajah baru di bisnis air. Ia datang ke Jakarta pada 1968,
setelah lulus dari Institut Teknologi Bandung, lalu merintis karir sebagai
birokrat di Departemen Pekerjaan Umum, sebuah departemen yang juga menangani
masalah air di Indonesia.
“Saya sendiri tak pernah berlangganan air bersih. Jadi air sumur bagus.
Sumur pompa. Jadinya, saya tidak pernah jadi pelanggan air PAM di Jakarta.
Sekarang di rumah sendiri di (Jalan) Radio Dalam, air tanah masih bagus. Bagus
banget. Saya selalu tinggal di Kebayoran Baru.”
Lanti adalah satu dari segelintir warga Jakarta yang beruntung karena
punya sumur bagus. Sebagian besar warga kota ini tak seberuntung Lanti.
Pada 1928 pemerintah kolonial Belanda membangun sistem air bersih yang
pertama di Jakarta dengan kapasitas 600 liter per detik. Sistem ini bertujuan
melayani kebutuhan 300.000 penduduk yang sebagian besar warga Belanda. Mereka
berdiam di lingkaran elit di sebelah utara dan pusat Jakarta. Sesudah Indonesia
meraih kemerdekaan pada 1945, sistem ini pelan-pelan diperluas pada 1950-an,
meski tak dimaksudkan untuk melayani ekspansi yang terjadi begitu cepat pada
1970-an. Kualitas air menurun tajam akibat industrialisasi besar-besaran,
urbanisasi, dan ketiadaan aturan main soal polusi air.
Menurut catatan statistik, pada tahun 1991, populasi penduduk Jakarta
nyaris mencapai angka tujuh juta, tapi hanya 45 persen yang bisa menikmati air
keran. Jakarta berhasil mendirikan begitu banyak pencakar langit, tapi masih
banyak warganya yang menikmati kucuran air keran hanya di malam hari. Banyak
dari mereka, terutama yang tinggal di selatan Jakarta, memilih menggali sumur
seperti halnya keluarga Lanti, dan menggunakan pompa air berkekuatan tinggi. Di
wilayah selatan ini, seperti Kemang, Pondok Indah, atau Lebak Bulus,
pengembangan relatif lebih lambat.
Cerita tentang keterlibatan Lanti dengan privatisasi PAM Jaya berawal
tanpa rencana. Pada pertengahan 1995 ia diminta mewakili atasannya menghadiri
pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar pada saat Moochtar
memaparkan maksud pemerintah menswastakan PAM Jaya.
Paparan tersebut tak muncul sekonyong-konyong. Pada 12 Juni 1995,
Presiden Suharto mengemukakan isu privatisasi ini ke Radinal Moochtar. Suharto
menginstruksikan Moochtar agar membentuk satu tim untuk menyiapkan privatisasi
PAM Jaya dan mengikutsertakan pihak swasta. Suharto menyuruh Moochtar
menghubungi PT Kekarpola Airindo, milik Sigit Harjojudanto, dan Salim Group,
juga mitra internasional mereka, masing-masing Thames Water dan Lyonnaise des
Eaux.
Suharto memiliki kekuasaan amat besar dan ia suka bergerak cepat.
Radinal Moochtar paham hal itu. Tiga hari kemudian, Moochtar menyelenggarakan
rapat di departemennya dan menyampaikan pada rekan-rekan kerjanya perihal
instruksi Suharto. Rapat memutuskan membagi Jakarta menjadi dua zona air dengan
garis pembatas Sungai Ciliwung. Bagian barat diberikan pada Salim Group, sedang
yang di sebelah timur jadi jatah Sigit. Mereka sepakat membentuk dua tim untuk
mengurusi privatisasi ini. Tim pertama menangani peraturan tingkat nasional,
termasuk menelurkan peraturan menteri tentang privatisasi air. Tim kedua
bertugas melakukan perundingan dengan para penanam modal swasta. Lanti
tergabung dalam tim kedua.
Sigit Harjojudanto dikenal berkantong tebal dan punya reputasi sebagai
penjudi. Kerjanya kebanyakan menjadi perantara bisnis, dengan memanfaatkan
pengaruh ayahnya. Sasarannya tak lain perusahaan multinasional yang hendak
beroperasi di Indonesia.
Namun gagasan privatisasi PAM Jaya bukan murni ide Sigit maupun sang
ayah. Gagasan ini kemungkinan sudah bergulir pada awal 1990-an. Ketika itu
Jakarta tumbuh menjadi salah satu kota yang paling cepat perkembangannya di
Asia. Pada Juni 1991, pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian utang
sebesar US$92 juta dengan Bank Dunia untuk membiayai proyek perbaikan sistem
PAM Jaya selama 20 tahun dengan bunga 9.5 persen per tahun. Utang ini digabungkan
dengan pinjaman lain dari Overseas Economic Cooperation Fund (Jepang) yang
dialokasi untuk membangun instalasi air di Pulogadung, di timur Jakarta.
Thames Water memutuskan bekerja sama dengan Sigit Harjojudanto pada
1993. Sigit minta rekannya, Fachry Thaib, pengusaha asal Aceh, menangani segala
urusan dengan Thames Water.
Di Paris, gebrakan Thames Water di Jakarta memicu Lyonnaise des Eaux
milik Suez, salah satu konglomerat konstruksi terbesar di dunia, bergerak
cepat. Lyonnaise des Eaux minta Bernard Lafrogne, warga Perancis yang bekerja
di Jakarta, membuka kantor perwakilan. Lafrogne seorang insinyur kelahiran
Vietnam, yang sekolah rekayasa air di Toulouse, Perancis Selatan. Ia pertama
kali datang ke Indonesia pada 1977, sewaktu bekerja untuk sebuah proyek Bank
Dunia. Ia lancar berbahasa Indonesia dan menikahi perempuan Indonesia. Ia tahu
betul isi perut PAM Jaya, karena ia sendiri pernah bekerja sebagai konsultan di
sana.
“I was born in water and will die in the water,” kata Lafrogne pada
saya.
Lyonnaise des Eaux mendekati CEO Salim Group, Anthony Salim. Salim
tertarik tapi ingin tahu lebih dulu cara mengatasi Sigit dan Thames Water.
Lafrogne menyarankan untuk membagi kue bisnis. “Jakarta is big enough for two
companies,” katanya, seraya menambahkan bahwa layanan air di Manila dan Paris
juga dijalankan oleh dua perusahaan. Anthony Salim sepakat dan menunjuk
koleganya, Iwa Kartiwa, untuk memimpin perundingan tersebut.
Kubu Inggris dan Perancis berharap instruksi Suharto dapat melancarkan
semua proses. Kenyataannya, instruksi itu memang membuka jalan, tapi juga
menjadi titik awal sederet perundingan rumit antara konsorsium swasta itu dan
PAM Jaya.
PAM Jaya secara teknis berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum. Namun
PAM Jaya resminya dimiliki pemerintah Jakarta, sehingga para direkturnya juga
diangkat dan harus bertanggungjawab kepada gubernur.
Letnan Jenderal Surjadi Soedirdja, yang ketika itu menjabat gubernur
Jakarta, dikenal anak buahnya sebagai birokrat yang tegas dan bersih. Ia tak
pernah secara terbuka menyatakan opininya terhadap gagasan privatisasi PAM
Jaya. Meski terkesan mempertanyakan keputusan Suharto, ia justru menggunakan
segala peraturan agar privatisasi tersebut berlangsung sebaik mungkin.
Toh Surjadi harus bertanggungjawab pada atasannya, Menteri Dalam Negeri
Moh. Yogie S.M., yang lebih tunduk pada Suharto. Persoalan jadi lebih rumit,
karena utang luar negeri PAM Jaya, kebanyakan dengan Bank Dunia, ditandatangani
menteri keuangan. Alhasil PAM Jaya juga harus bertanggungjawab pada menteri
keuangan.
Bank Dunia, mendukung, bahkan lebih tepat lagi mendesak, privatisasi
PAM Jaya. Namun Akira Nishigaki, presiden Overseas Economic Cooperation Fund,
secara pribadi pernah berbicara pada Rama Boedi, yang ketika itu menjabat
presiden direktur PAM Jaya, bahwa privatisasi itu “masih terlalu pagi.”
Kebanyakan manajer PAM Jaya, termasuk Rama, juga bersikap kritis
terhadap rencana tersebut. PAM Jaya mempekerjakan sekitar 3.000 pegawai yang
cukup terorganisasi. Mereka mendesak konsorsium swasta untuk memberi fasilitas,
yang paling tidak setara dengan, yang mereka dapatkan dari PAM Jaya. Pendek
kata, perundingannya lumayan alot.
“Saya ikut rapat pertama di Hotel Sahid Jaya,” kata Achmad Lanti,
mengacu pada pertemuan antara konsorsium dan tim pemerintah pada 12-15 Juni
1996. Masing-masing delegasi membawa lima anggota. Tim pemerintah
mengikutsertakan birokrat seperti Prawoto Danoemihardjo, Lanti dan Rama Boedi.
Sementara tim dari PT Garuda Dipta Semesta membawa Iwa Kartiwa serta Christian
Michelon dan Bernard Lafrogne dari Lyonnaise des Eaux. Tim PT Kekarpola Airindo
mengirimkan Fachry Thaib serta John Blair, Lindsey Dawes, dan Les Crowther dari
Thames Water.
Enam puluh persen saham PT Garuda Dipta Semesta dikuasai Salim Group
dan 40 persen sisanya dimiliki Lyonnaise des Eaux. Thames Water Overseas Ltd.
Memiliki 80 persen saham PT Kekar Thames Airindo, sedang 20 persen saham
menjadi milik perusahaan Sigit, PT Kekarpola Airindo. Menurut notulensi rapat
yang saya dapatkan, pertemuan tersebut menyimpulkan:
• Mereka bersepakat bahwa penanam modal swastalah yang bertanggung
jawab menyediakan dana dan memenuhi target-target teknis;
• PAM Jaya akan memantau pencapaian target-target teknis, tujuan dan
standar pelayanan, serta membuat rekomendasi seputar penentuan tarif air;
• PAM Jaya akan berdiskusi dengan lembaga pemerintahan terkait guna
menegakkan aturan untuk menutup sumur dalam yang ada di tempat-tempat yang
terdapat saluran pipa air bersih;
• Mereka akan membagi keuntungan;
• Pemilik modal akan menggunakan aset yang ada pada PAM Jaya namun
diskusi lebih jauh perlu dilakukan untuk membahas soal pemilikan aset baru dan
sebagainya;
• Para penanam modal sepakat bahwa 100 persen pegawai operasional PAM
Jaya akan dialihkan ke tangan penanam modal, dan di akhir tahun pertama, paling
tidak 80 persen dari pegawai pihak swasta adalah pegawai yang dialihkan
tersebut. PAM Jaya saat itu memiliki 3.053 pegawai dan hanya 250 orang yang
bekerja di kantor pusat (bukan staf operasional);
• PAM Jaya akan menyediakan daftar inventarisasi barang untuk
dipertimbangkan lebih lanjut oleh penanam modal;
• Mereka belum mencapai kata sepakat seputar tempat penyelesaian kalau
timbul pertikaian. PAM Jaya memilih Jakarta sementara para penanam modal
memilih negara ketiga;
Kedua pihak menghabiskan lebih dari satu tahun untuk melakukan
perundingan. Pemerintah Jakarta mengirimkan sejumlah pejabat, termasuk di
antaranya Lanti, Danoemihardjo, juga Rama Boedi, untuk ikut serta dalam
perundingan lanjutan. Pengacara, akuntan, konsultan, insinyur, manajer dan
birokrat terlibat di dalam perundingan tersebut.
“Kita itu rapat banyak sekali sampai saya lupa jumlahnya. Pindah itu
dari hotel ke hotel,” kata Lanti.
Kontrak tersebut akhirnya ditandatangani pada 6 Juni 1997.
Masing-masing pihak membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen setebal 600
halaman yang terdiri dari sederet bagan, rumus-rumus penghitungan uang, dan
tabel-tabel. Gubernur Surjadi Soedirdja menandatangani sendiri kontrak-kontrak
tersebut. Sigit Harjojudanto juga hadir. Menurut Bernard Lafrogne dan Iwa
Kartiwa, ini kali pertama dan terakhir mereka melihat Sigit setelah tahun demi
tahun berlalu dalam proses perundingan ini.
Kontrak itu pada dasarnya berisi kesepakatan membagi laba selama 25
tahun. Pihak swasta wajib mengelola pasokan air baku sampai mengumpulkan uang
dari pelanggan PAM Jaya di seluruh Jakarta. Pihak swasta dapat memanfaatkan
aset milik PAM Jaya, mulai dari instalasi air sampai gedung perkantoran. Tapi
konsorsium swasta mesti membayar utang luar negeri PAM Jaya. Mereka juga harus
mempekerjakan 3.000 karyawan PAM Jaya.
Tanggung jawab PAM Jaya adalah memantau kinerja konsorsium swasta. PAM
Jaya memantau target teknis dan standar pelayanan, serta menyusun rekomendasi
untuk menentukan kenaikan tarif air. Bila muncul pertikaian, mereka sepakat
membawanya ke pengadilan Singapura.
Kontrak ini menekankan bahwa lima tahun pertama adalah masa paling
penting. Kontrak tersebut dapat dikaji ulang bila konsorsium swasta tak
berhasil memenuhi target mereka, terutama seputar persyaratan teknis. Pada 1997
PAM Jaya memiliki 428,764 sambungan air dan menjual 191 juta meter kubik air.
Perusahaan ini melayani sekitar 43 persen populasi penduduk Jakarta, tapi 57
persen dari air tersebut dianggap air yang tak tertagih atau kebocoran (non
revenue water).
Kontrak tersebut menggariskan bahwa selama lima tahun pertama,
konsorsium swasta harus bisa membangun 757.129 sambungan dan menjual 342 juta
meter kubik air. Cakupan pelayanan air bersih harus mencapai 70 persen dan air
yang tak tertagih harus turun ke angka 35 persen.
Target Teknis dalam Kontrak tahun 1997
|
1998
|
1999
|
2000
|
2001
|
2002
|
Jumlah Sambungan
|
470.674
|
571.776
|
653.885
|
711.003
|
757.129
|
Cakupan pelayanan air bersih
|
49%
|
57%
|
63%
|
67%
|
70%
|
Air yang tak tertagih (non revenue water)
|
50%
|
47%
|
42%
|
38%
|
35%
|
Volume penjualan (juta m3)
|
210
|
244
|
281
|
317
|
342
|
Sumber: kontrak antara PAM Jaya dan konsorsium swasta
Kontrak juga menegaskan bahwa penanaman modal swasta selama lima tahun
pertama harus mencapai Rp 732 miliar (US$318 juta dengan nilai tukar Rp 2.300
untuk satu dollar). Tarif air ditentukan DPRD Jakarta. Namun penyesuaian tarif
otomatis bisa juga terjadi setiap enam bulan, berdasarkan sebuah rumus
penghitungan yang kompleks, apabila DPRD Jakarta butuh waktu lebih lama lagi
untuk menaikkan tarif.
Bagaimana menilai kontrak yang rumit ini?
Nila Ardhianie dari Indonesian Forum on Globalization menulis makalah
yang disampaikan dalam World Water Forum di Jepang pada Maret 2003, yang
menyebutkan bahwa privatisasi tersebut tanpa tender dan menuduh Bank Dunia
berperan penting. Nila mengatakan Bank Dunia telah mengucurkan sejumlah
pinjaman untuk penanganan air di Indonesia sejak 1968, termasuk di antaranya
$92 juta pinjaman untuk PAM Jaya pada 1991. Ironisnya, ketika pinjaman tersebut
usai pada 1998, yang terjadi justru privatisasi. Manajemen aset dan manajemen
operasional dialihkan ke kedua perusahaan tersebut.
“Ini artinya PAM Jaya tak diberi kesempatan untuk menggunakan aset yang
dibangun berdasarkan pinjaman tersebut,” kata Nila.
Argumentasi Nila ada benarnya. Pada Oktober 1997 sebuah tim dari Bank
Dunia yang dipimpin ekonom Alain Locussol menerbitkan sebuah laporan berjudul
Indonesia Urban Water Supply Sector Policy Framework. Locussol merekomendasikan
sejumlah kebijakan untuk memprivatisasi sekitar 300 perusahaan air di seluruh
Indonesia. Ia mengusulkan agar pemerintah Indonesia memisahkan “pemilikan aset
dari manajemen mereka,” agar pemerintah daerah bisa memiliki aset seputar
pengelolaan air tapi tidak mengelola distribusi air.
Locussol berpendapat pemisahan semacam ini dapat mencegah “campur
tangan politik lokal” dalam manajemen air. Pemisahan juga membuka peluang bagi
swastanisasi. Ini juga memungkinkan “perusahaan pengelola” untuk membentuk
sinergi dengan perusahaan lain yang mengelola air di daerah yang berdekatan.
Laporan Locussol mengundang kritik Stephanie Fried dari Environmental
Defense Fund yang berbasis di Washington DC. Fried menulis makalah yang
mempertanyakan laporan Lucossol. “Tidak satu pun dari analisis sepanjang 54
halaman itu yang menyebut nama-nama dari pemilik konsorsium swasta tersebut,”
tulis Fried.
Locussol tak menyebutkan kenyataan bahwa PAM Jaya telah diswastakan
dengan Sigit dan Salim. “Siapa yang memiliki kedua konsorsium swasta yang
disebut-sebut terus dalam laporan Bank Dunia ini?” Fried bertanya.
Fried memaparkan bahwa PAM Jaya telah menerima pinjaman sebesar $92
juta dari Bank Dunia tapi Locussol tidak menyebut satu pun konsekuensi
finansial dan legal yang mengiringi privatisasi itu. “Kalau mengingat upaya-upaya
Bank Dunia untuk memerangi korupsi di Indonesia, mengapa tak ada analisis yang
detail tentang implikasi dari pengambilalihan sistem pasokan air bersih di
Jakarta ini dalam Implementation Completion Report –selain pernyataan bahwa
swastanisasi ini difasilitasi oleh proyek Bank Dunia dan lebih lanjut akan
merupakan pengembangan dari upaya penyediaan air bersih?”
Dari beberapa orang yang terlibat perundingan dengan pihak swasta, saya
mengetahui bahwa mereka rata-rata setuju dengan analisis Nila Ardhianie dan
Stephanie Fried. Mereka mengatakan saat perundingan berlangsung, pihak swasta
pernah minta, baik pada Sigit Harjojudanto atau Anthony Salim, untuk campur
tangan apabila ada butir-butir perundingan yang terhambat. Masalah manajemen
rekening escrow, misalnya, secara teoritis dimiliki bersama oleh konsorsium dan
PAM Jaya, tapi rekening ini justru dibuat agar sepenuhnya ada di bawah kendali
konsorsium swasta.
Achmad Lanti mengatakan Gubernur Surjadi bahkan mengancam undur diri
jika perusahaan-perusahaan internasional itu bersikeras memungut imbalan air
dari PAM Jaya dalam mata uang dollar Amerika, bukannya rupiah. Pihak konsorsium
swasta khawatir terhadap ancaman ini dan belakangan sepakat menggunakan rupiah.
Namun Surjadi ternyata setuju pencantuman klausul yang menyebutkan
bahwa bila terjadi kekurangan antara jumlah yang dibayar pelanggan (water
tariff) dan yang dikeluarkan konsorsium swasta (water charge), dan DPRD masih
membutuhkan waktu untuk membahas kenaikan tarif air yang baru, maka tarif tersebut
dapat naik secara otomatis.
Nila Andrianie memperkirakan privatisasi tersebut akan menimbulkan
banyak masalah, mulai dari isu-isu tenaga kerja sampai kepemilikan, “Saya
kuatir ketika masa konsesi ini berakhir, PAM Jaya tidak akan punya aset lagi karena
semua aset mereka akan habis untuk dipakai membayar utang.”
DESA KEMUSUK MUNGKIN tergolong desa kecil di
Pulau Jawa yang tak mempunyai masalah tentang air bersih serumit dan semahal
metropolitan macam Jakarta. Tapi di desa inilah, pada Juni 1921, lahir bayi
laki-laki, yang kelak akan menentukan masalah air bersih di kota Jakarta.
Suharto kecil dibesarkan dalam keluarga petani. Riwayat awal hidupnya
biasa-biasa saja. Pada awal 1940-an ia bergabung dengan sebuah organisasi
milisi sokongan Jepang. Namun Jepang kalah dalam Perang Dunia II dan Suharto
jadi gerilyawan melawan tentara kolonial Belanda, yang hendak merebut kembali
Hindia Belanda. Pada 1949 para pejuang kemerdekaan ini mendapatkan pengakuan
dunia internasional sebagai negara merdeka. Mereka mengumumkan berdirinya
Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Sukarno.
Namun Sukarno bukanlah seorang manajer yang efisien. Sukarno juga
cenderung memberi angin pada gerakan kiri. Pada tahun 1965, di puncak Perang
Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, Mayor Jenderal Suharto merebut
kekuasaan dari tangan Sukarno. Rezim militer Suharto membantai lebih dari
500.000 pendukung Sukarno. Suharto memusatkan kekuasaan di tangannya. Ia
mengundang Bank Dunia untuk membantu pembangunan Indonesia dan membuka pasar
Indonesia serta sumber daya alamnya ke tangan perusahaan-perusahaan
internasional.
Pada 1970-an Suharto menunjuk kroni-kroninya, kebanyakan pengusaha
Indonesia keturunan Tionghoa seperti Sudono Salim, pendiri Salim Group, ayah
Anthony Salim, untuk merintis pembangunan ekonomi Indonesia. Bisnis mereka
meroket seiring dengan eksploitasi cadangan minyak bumi Indonesia. Ekonomi
Indonesia tumbuh sekitar tujuh sampai delapan persen per tahun. Di akhir
1980-an, saat keenam anaknya dewasa, Suharto mulai meletakkan sederet bisnis
besar Indonesia ke tangan anak-anaknya, termasuk Sigit.
Pada zaman Suharto, perusahaan-perusahaan internasional biasanya
mengalami kesulitan menanam modal dalam jumlah besar bila belum membangun
kemitraan dengan kroni-kroni Suharto. Rekanan macam itu dibutuhkan untuk
mengatasi hambatan birokrasi. Keluarga Suharto sendiri jadi rekanan diam.
Mereka semata-mata meminjamkan pengaruh.
Suharto menjalankan pemerintahan dengan efisien. Mereka yang ada di
pihak oposisi ditekan. Pers dikontrol lewat berbagai macam perizinan. Serikat
buruh dan petani dikendalikan negara. Militer dan organisasi politik disatukan
di bawah Suharto. Tak seorang pun mampu menantang Suharto selama nyaris tiga
dekade. Sejumlah akademisi Barat menyebut Suharto memimpin Indonesia layaknya
seorang sultan Jawa. Ia pendiam, sulit ditebak, dan ahli dalam menjalankan
politik dan intrik.
Tak ada benteng yang selamanya kokoh, begitu pula pemerintah Suharto.
Pada Juli 1997, atau sebulan setelah Thames Water dan Lyonnainse des Eaux
menandatangani kontrak air, spekulan valuta asing menghajar bath Thailand
kemudian rupiah. Krisis di Asia mulai bergulir dan krisis politik merebak di
Indonesia. Huru-hara pecah di berbagai daerah seiring naiknya harga beras,
minyak goreng, gula, susu dan sebagainya. Beberapa bulan kemudian, Suharto
mengundang International Monetary Fund (IMF) untuk membantu pemerintahannya.
Tetapi anak-anak dan sanak saudaranya menampik sederetan rekomendasi
IMF, termasuk di antaranya menutup bank-bank milik mereka yang tak sehat.
Langkah ini justru memperkeruh krisis. Bambang Trihatmodjo, adik kandung Sigit,
menyilahkan Bank Andromeda miliknya ditutup tapi ia segera mendirikan Bank
Alfa. Probosutedjo, adik tiri Suharto, yang banknya juga ditutup, bersama-sama
Bambang menggugat pemerintah ke pengadilan.
Pada Oktober 1997, Suharto menunjuk Sutiyoso, mantan komandan militer
Jakarta, untuk menggantikan Gubernur Surjadi Soerdirdja. Langkah ini mencipta
suasana baru dalam lingkaran urusan air. Berbeda dengan Surjadi yang hati-hati,
Sutiyoso yang kurang berpengalaman, bersedia mengawal kepentingan keluarga
Suharto tanpa ragu. Tak lama kemudian, Menteri Dalam Negeri Yogie S.M.
meresmikan kontrak tersebut sehingga langkah pengambilalihan PAM Jaya tinggal
soal waktu.
Pada 1 Februari 1998, di tengah menajamnya tekanan politik dalam negeri
dan krisis ekonomi, kontrak air ini pun praktis dimulai. Dini hari itu, belasan
eksekutif PT Kekar Thames Airindo, baik ekspatriat maupun lokal, mendatangi
kantor-kantor PAM Jaya dan instalasi air di sebelah timur Jakarta yang ada
dalam kontrol mereka.
“Saya senang sekali. John Hurcom berkeliling hingga pagi,” kata Rhamses
Simanjuntak, seorang eksekutif PT Kekar Thames Airindo, mengacu pada atasannya
yang asal Inggris.
Sementara itu krisis ekonomi makin lama makin parah. Suharto mencoba
segala cara untuk mempertahankan diri. Menantunya yang temperamental, Letnan
Jenderal Prabowo Subianto, memerintahkan anak buahnya untuk menculik, menyiksa,
dan diduga juga membunuh sejumlah aktivis. Anak-anak Suharto menggenjot
kampanye lewat media dengan “Aku Cinta Rupiah.” Di awal Mei 1998, empat
mahasiswa Jakarta ditembak mati dalam sebuah demonstrasi di Jakarta. Peristiwa
tersebut memicu gelombang anti Suharto di seluruh negeri.
Para mahasiswa pun mulai menduduki gedung parlemen. Sejumlah politisi
menunjukkan sikap menentang Suharto. Para jurnalis pun menentukan sikap.
Beberapa petinggi di sejumlah stasiun televisi, yang dimiliki keluarga Suharto,
mengabaikan instruksi para pemilik mereka. Televisi ikut mengobarkan semangat
melawan Suharto. Karyawan PAM Jaya ikut serta dalam gelombang protes tersebut.
Parlemen minta Suharto untuk mundur. Suharto terpojok.
Akhirnya, Kamis 21 Mei 1998 di Istana Merdeka di jantung kota Jakarta,
Suharto membaca sebuah pernyataan pendek di depan kamera televisi. Ia
menyatakan bahwa dirinya mengalihkan kekuasaannya ke Wakil Presiden B.J.
Habibie. Dengan suara bersalut duka, pemimpin yang kini pucat pasi menyatakan
diri mundur saat itu juga.
Banyak orang Indonesia terkesima menyaksikan pidato Suharto. Bocah
Kemusuk yang saat itu berusia 77 tahun, telah berkuasa atas negara berpenduduk
nomor empat terbesar di dunia selama 33 tahun. B.J. Habibie, insinyur pesawat
terbang didikan Jerman, secepatnya diambil sumpah dan Suharto diam-diam undur
diri ke dalam limusin bersama Siti Hardiyanti Rukmana, putri sulungnya,
meninggalkan istana.
Di luar euforia mulai meledak. Ribuan mahasiswa, yang tengah menduduki
gedung parlemen, mencucurkan air mata gembira. Ada yang menceburkan diri ke
dalam kolam air mancur, merayakan kemenangan mereka. Peristiwa ini kemudian
bergema ke seluruh negeri kepulauan ini.
Di kantor pusat PAM Jaya, para manajernya ikut senang tapi juga cemas.
Kebakaran melalap sejumlah gedung di Jakarta. Ribuan pusat perbelanjaan, rumah,
dan bangunan kantor, terutama yang dimiliki warga Indonesia keturunan Cina,
dijarah dan dibakar. Lebih dari 2.500 orang meninggal dunia, kebanyakan para
penjarah yang terperangkap dalam bangunan yang terbakar.
“Apa yang akan terjadi bila kerusuhan jalan terus? Bayangkan kota
Jakarta tanpa air?” kenang presiden direktur PAM Jaya Rama Boedi, yang tidur di
kantor selama seminggu di tengah kerusuhan berlangsung.
Saya beberapa kali mewawancarai Rama Boedi. Dia seorang insinyur
lulusan ITB. Ia pecinta ilmu bela diri. Tubuhnya berotot dan mendapat julukan
“Rambo” –plesetan dari karakter film Hollywood yang diperankan Sylvester
Stallone. Kata “rambo” juga gabungan dari dua suku kata pertama namanya
“Ra(ma)-Boe(di).” Rambo yang satu ini mendapat telepon bertubi-tubi dari
sejumlah manajer PAM Jaya, menanyakan apa yang seharusnya mereka lakukan.
“Stok bahan kimia ini cuma cukup tiga hari. Apa harus berhenti dulu
nih?” tanya Djoni Heryanto, manajer instalasi air di Buaran, Jakarta Timur.
“Pak ini gimana?” tanya yang lain.
Tak mudah bagi Rama untuk menjawab. Kedua tangannya terbelenggu. Baru
tiga bulan yang lalu, operasi PAM Jaya dialihkan ke tangan konsorsium swasta.
Jajaran manajer PAM Jaya ini juga cemas, karena orang Prancis dan
Inggris telah melarikan diri dari Jakarta. Sejumlah kedutaan besar
negara-negara Barat, termasuk Perancis dan Inggris, sebelumnya telah mendesak
warganya untuk meninggalkan Jakarta. Bos-bos Lyonnaise des Eaux dan Thames
Water juga tergopoh-gopoh kabur dari Jakarta, yakin bahwa mitra lokal mereka
dapat menangani pengelolaan tersebut selama mereka tidak ada. “Mereka bahkan
tidak menelepon saya,” kata Rama.
Rama memutuskan untuk mengirimkan laporan ke Gubernur Sutiyoso, pada
hari Jumat, atau sehari sesudah pengunduran diri Suharto. Sutiyoso langsung
mengeluarkan instruksi tertulis, minta Rama Boedi untuk mengambil
langkah-langkah guna mengamankan layanan air dan “apabila perlu mengambil alih
pengelolaan tersebut sepenuhnya guna mengisi kekosongan.”
Keesokan harinya Rama mengundang Iwa Kartiwa dan Fachry Thaib,
masing-masing presiden direktur PT Garuda Dipta Semesta dan PT Kekar Thames
Airindo, bersama beberapa pembantu mereka, agar datang ke markas besar PAM
Jaya.
Pertemuan tersebut mulai sekitar pukul 10 pagi dan berlangsung di
sekeliling meja bundar dalam ruang rapat PAM Jaya. Belasan petinggi dan manajer
PAM Jaya datang dalam pertemuan tersebut. Di luar ruang pertemuan, para
karyawan menggelar demonstrasi. “Situasinya tegang sekali,” kenang Efendy
Napitupulu, seorang manajer PAM Jaya, seraya berkata bahwa sejumlah orang di
dalam dan di luar ruang pertemuan diduganya membawa pistol di balik jaket
mereka.
Rama Boedi mengatakan bahwa ia memulai rapat itu dengan menyampaikan
secara singkat pada Iwa dan Fachry tentang instruksi Sutiyoso dan meminta
mereka menandatangani dokumen penyerahan kembali pengelolaan air ke tangan PAM
Jaya. Ia tak bisa menyembunyikan kekecewaannya terhadap para ekspatriat Inggris
dan Perancis. Fachry dan Iwa keberatan. Terjadi perdebatan antara Rama dan
Fachry Thaib.
“Gila ya? Mana orang-orang Anda?” tanya Rama.
“Di Singapore.”
Iwa dan Fachry mencoba sebisa mungkin agar tetap tenang. Fachry sendiri
sudah pindah sementara ke sebuah hotel bintang lima demi menghindar dari
penjarahan di bilangan tempat tinggalnya. Euforia anti-Suharto masih memanas.
Jelas bahwa Iwa dan Fachry paham posisi mereka saat itu. Merekalah kroni
Suharto yang kini jadi sasaran tembak.
Rama Boedi mencoba meredakan ketegangan dengan membawa Iwa dan Fachry
ke kantornya yang ada di sebelah ruang pertemuan. Beberapa staf inti mengikuti
Rama. Fachry dan Iwa akhirnya sepakat untuk menandatangani selembar dokumen,
yang secara resmi menyerahkan kembali pengelolaan air ke tangan PAM Jaya.
Pukul 03.05 mereka meninggalkan ruangan. Iwa, Fachry dan rekan-rekan mereka
keluar lewat pintu belakang menghindari para karyawan yang sedang
berdemonstrasi.
“Terhitung sejak Sabtu pengelolaan sudah ada di tangan saya,” kenang
Rama Boedi.
Pada hari Senin, lebih dari 3.000 karyawan PAM Jaya berkumpul di kantor
pusat PAM Jaya, mengelu-elukan Rama Boedi dan meneriakkan, “Hidup Rambo, hidup
Rambo.”
Di depan karyawannya Rama berbicara. “Lebih baik bagi kita untuk
menghentikan kerja sama dengan pihak swasta karena tak menguntungkan PAM Jaya.
Saya dengan ini membatalkan kerja sama!”
“Hidup Rambo, hidup Rambo,” seru para karyawan. Sebagian dari mereka
memandu Rama di atas pundak mereka. Mereka larut dalam suasana jatuhnya Suharto
sekaligus hilangnya perusahaan internasional yang selama ini membuat PAM Jaya
tak berdaya.
Namun euphoria ini tidak bertahan lama. Para ekspatriat Inggris dan
Prancis menganggap pengambilalihan tersebut ilegal. Dalam sebuah memo internal
Lyonnaise des Eaux, yang diberikan Lafrogne kepada saya, mereka menyebut
peristiwa tersebut sebagai “kudeta.” Para ekspatriat tersebut kembali ke
Jakarta dan menuntut PAM Jaya menaati kontrak hukum.
John Hurcom dan Bernard Lafrogne menanggap tanda tangan Iwa dan Fachry
dibuat di bawah tekanan. Artinya, pengambilalihan itu harus dibatalkan. Tapi
Hurcom dan Lafrogne juga sadar bahwa mereka harus lebih realistis. Mereka
melihat gelombang sentimen anti-Suharto muncul di mana-mana. Orang
berlomba-lomba melucuti apa pun yang ada kaitannya dengan keluarga Suharto.
Selama Suharto berkuasa, koneksi dengan Suharto dipandang sebagai aset. Kini
aset tersebut tak lagi menguntungkan. Sutiyoso menyatakan bahwa
perusahaan-perusahaan internasional itu dapat mempertahankan kontrak-kontrak
mereka asalkan lepas dari Salim Group dan Sigit Harjojudanto.
Rambo terjepit di antara bosnya dan dua raksasa internasional itu. Pada
1 Juni 1998, tepat satu minggu setelah pidato kemenangannya, Rambo tak berdaya
menandatangani sebuah dokumen yang menyatakan bahwa kedua perusahaan
internasional tersebut akan membeli saham dari kroni Suharto. Kedua perusahaan
internasional itu kemudian memang melepaskan Salim Group dan PT Kekar Pola
Airindo. Mereka juga sepakat merundingkan ulang kontrak tersebut, dengan
mengakui bahwa kontrak pertama dibuat secara tak adil. Rambo tak bisa berbuat
apa-apa.
Zainal Abidin, seorang aktivis serikat pekerja di PAM Jaya, mengatakan
pada saya bahwa para karyawan seketika itu juga kehilangan rasa hormat mereka
pada Rama. “Minggu sebelumnya kita pikir dia pahlawan. Pidatonya keras sekali,
bilang kita harus bela PAM Jaya. Banyak yang menggotong dia. Sekarang dia
kembali ke orang asing itu.”
“Pak Rama Boedi pasti frustasi sekali. Dia orang PAM Jaya sejak lulus
sekolah. Mimpinya memang jadi direktur PAM Jaya. Dia pikir dia bisa
mengembangkan PAM Jaya dan mengubahnya jadi perusahaan yang baik. Ketika
akhirnya dia jadi direktur, perusahaan diprivatisasi. Secara psikologis dia
tidak senang,” kata Lafrogne.
Lafrogne mengatakan pada saya bahwa Iwa Kartiwa orang jujur, sederhana,
dan sangat profesional. “Dia sedih sekali ketika proyek ini diambil,” kata
Lafrogne, menambahkan bahwa Salim Group pada awalnya, lepas dari segala
keuntungan berlimpah yang datang dari perusahaan-perusahaan mereka,
berkeinginan untuk memberikan sesuatu untuk masyarakat Jakarta. Anthony Salim
berpendapat layanan air bersih adalah pilihan yang ideal. Tapi kini Suharto
sudah lengser dan hidup harus jalan terus tanpa Suharto maupun ...
kroni-kroninya.
KALAU ANDA BERKENDARA sepanjang sebuah ruas
jalan Jakarta menuju batas sebelah timur, Anda harus siap berjuang menghadapi
pengemudi bis yang ugal-ugalan, metro mini yang berisik, kemacetan lalu lintas,
pengemudi motor yang seenaknya sendiri, dan perempatan jalan yang kacau balau,
agar bisa sampai ke sebuah jalan yang membentang di sepanjang sungai Kali
Malang. Perjalanan ini akan membawa Anda menuju satu dari instalasi air bersih
terbesar di Jakarta. Penduduk setempat menamainya instalasi air Buaran yang
merupakan sebuah kompeks yang luas dengan bangunan-bangunan mirip barak
militer, tanki-tanki air besar, pipa berbagai ukuran dan penjagaan keamanan.
Saya mengujungi Buaran akhir Desember lalu untuk bertemu dengan Efendy
Napitupulu dan Taufik Sandjaja, dua aktivis Serikat Pekerja Air Minum (SPAI),
bersama dengan sejumlah rekan kerjanya.
SPAI adalah yang terbesar dari empat serikat pekerja yang ada di PAM
Jaya. Mereka berkumpul di satu kantor kecil dengan dua kamar, terletak di
sebelah kios kecil yang menjajakan minuman ringan, makanan kecil, aspirin, dan
rokok. Perempuan yang menjaga kios menyajikan sebotol teh botol dingin untuk
saya. Sementara itu, para aktivis itu merokok tak putus-putus sepanjang
wawancara berlangsung. “Ini makin susah berhenti! Ada banyak masalah khan!”
keluh Napitupulu.
Napitupulu termasuk pentolan SPAI. Dia dan empat aktivis lainnya
dipecat manajemen PT Thames PAM Jaya, nama baru PT Kekar Thames Airindo,
agaknya gara-gara aktivisme mereka. Menariknya, mereka cukup berpendidikan.
Napitupulu sendiri bergelar MBA. Mereka berlima mengadukan pemecatan lewat
prosedur hukum ketenagakerjaan dan mereka menang. Mereka pun “ditransfer” dari
PT Thames PAM Jaya kembali ke PAM Jaya untuk menjalani “program pembinaan”
--artinya mereka tak diberi pekerjaan yang jelas. Masih banyak yang bernasib
serupa. Sebagian besar aktivis ini mengatakan tertunda gaji bulanannya. Di Buaran,
seorang aktivis mengatakan gajinya baru dibayar setelah 16 bulan. Salah satu
pemimpin mereka bahkan meninggal dan seorang lagi kena stroke.
Aktivis-aktivis macam inilah, Napitupulu, Taufik, dan sebagainya, yang
mengorganisasi sebagian besar aktivitas serikat pekerja sejak jatuhnya Suharto
pada Mei 1998. Mereka menggerakkan demonstrasi di jalan-jalan, bahkan
kadang-kadang sampai mengelas pintu gudang-gudang PAM Jaya, demi memprotes
konsorsium swasta. Mereka juga mendesak manajemen PAM Jaya untuk bersikap keras
dengan konsorsium. Tahun lalu lebih dari 1.000 karyawan PAM Jaya mengajukan
gugatan hukum terhadap PAM Jaya dan kedua perusahaan swasta, gara-gara
pekerjaan mereka terancam. Kasus tersebut masih ada di tangan pengadilan negeri
Jakarta Pusat.
“Sampai lupa jumlah demonya … banyak sekali,” kata Taufik.
Aksi-aksi mereka menarik perhatian media. Taufik juga berkunjung ke
berbagai kantor media untuk memberi informasi kepada para editor.
“Saya ketemu Pak Bambang dan cerita soal PAM Jaya,” ujar Feri Watna,
seorang insinyur Buaran, mengacu pada Bambang Harymurti, pemimpin redaksi
majalah Tempo, yang pernah dua kali menurunkan laporan panjang dalam rubrik
bernama “Investigasi” tentang privatisasi PAM Jaya.
Seorang pemimpin serikat pekerja yang merasa geram bahkan pernah
mengancam Lafrogne dengan sebilah pisau. Lafrogne melaporkannya kepada polisi.
Idris Mansuri membantah bahwa ia serius melakukan tindakan tersebut. Indri
mengatakan pada saya bahwa “normal” bagi orang Betawi untuk membawa-bawa pisau
ke mana-mana. Polisi menutup kasus ini setelah Idris minta maaf.
Situasi macam inilah, yang mungkin tak nyaman, yang dihadapi RWE Thames
Water dan Ondeo Service setelah Suharto lengser. Indonesia mungkin sudah jadi
sebuah demokrasi walau chaos. Anthony Salim dan Sigit Harjojudanto tersingkir
dan serikat buruk makin punya gigi. RWE Thames Water dan Ondeo tak punya
pilihan selain merundingkan ulang kontrak pertama yang dibuat pada 1997.
Presiden B.J. Habibie sendiri tak banyak menaruh perhatian pada PAM
Jaya. Perhatian Habibie tersita oleh isu lain, termasuk Timor Timur dan
penyelenggaraan pemilihan umum. Pada 1999 Habibie mengijinkan PBB melangsungkan
referendum di bekas jajahan Portugis yang diduduki rezim Suharto sejak 1975.
Warga Timor Timur memilih merdeka. Sementara di Aceh meletus pemberontakan
bersenjata yang serius. Penduduk Papua juga menuntut kemerdekaan. Selain itu
Habibie masih harus menghadapi tuduhan sebagai orang yang melindungi Suharto
dari tangan hukum.
Pada Oktober 1999 Habibie kalah suara dari Abdurrahman Wahid dalam
pemilihan presiden. Indonesia memasuki masa demokratisasi yang jauh lebih
kompleks. Wahid berupaya keras mendorong program demokratisasi. Ia memecat
jenderal-jenderal nakal bahkan menjanjikan referendum di Aceh. Ia bicara dengan
para pemberontak melalui telepon dan mendengarkan keluhan mereka. Wahid
bertahan 20 bulan sebelum ia diberhentikan dari kursi kepresidenan pada Juli
2001. Wahid seorang cendekiawan liberal dan aktivis pro-demokrasi, tapi bukan
seorang manajer yang baik. Wakilnya, Megawati Soekarnoputri, mengambil alih
kendali. Hamzah Haz, ketika itu menjabat menteri, menjadi wakil presiden.
Apa yang bermula sebagai protes terhadap privatisasi kemudian
mengerucut menjadi persoalan gaji. Presiden Wahid memutuskan kenaikan gaji pegawai
negeri saat ia menjabat. Karyawan PAM Jaya memandang diri mereka “pegawai
negeri.” Tapi setelah mereka bekerja untuk RWE Thames Water dan Ondeo Service,
mereka sadar bahwa penghasilan mereka sekitar 30 persen lebih rendah
dibandingkan dengan gaji kolega mereka yang masih bekerja untuk PAM Jaya. “Kami
baru sadar itu ada sekitar 200 yang masih kerja di PAM Jaya lebih enak mereka,”
ujar Napitupulu.
Demonstrasi yang terus-menerus bagaimana pun juga mengganggu manajemen
konsorsium. Pada periode tersebut, kalau Anda mengunjungi kantor PAM Jaya di
mana pun, Anda akan melihat suasana kerjanya mencemaskan. Ada karyawan yang mau
bekerja dengan manajemen baru namun lebih banyak lagi yang bekerja sejauh
mereka tak melanggar hukum. Sutiyoso belakangan memecat Rama Boedi. Alasannya
tak jelas. Banyakyang menduga lantaran Rama tak mendukung privatisasi dan
diam-diam memberi angin pada para demonstran.
Pihak konsorsium juga mendapat masalah baru dengan munculnya DPRD yang
lebih bertaring. Bulan Desember 1999, Edy Waluyo, ketua DPRD Jakarta,
melayangkan surat pada Sutiyoso, menyampaikan bahwa perundingan ulang dengan
konsorsium hanya bisa dilaksanakan sampai Februari 2000, “Jika negosiasi tak
bisa selesai per 1 Februari 2000, kerja sama harus dibatalkan.”
Buru-buru Sutiyoso mendesak orang-orangnya untuk mempercepat proses
perundingan. Tim baru bergerak lebih cepat sekaligus membujuk DPRD untuk
meredam tuntutannya. Di sisi lain, Sutiyoso juga menolak permintaan konsorsium
agar ia mengusulkan kenaikan tarif air. Air adalah isu politik yang peka. Orang
bisa hidup tanpa listrik, tanpa telepon, atau tanpa jalanan mulus, tapi tanpa
air mereka akan menderita sekali. Sutiyoso enggan memancing kemarahan rakyat
selagi dirinya, sebagai kaki tangan Suharto, masih digugat banyak orang.
Pada 28 Februari 2000, ketika sudah jelas bahwa perundingan tak mungkin
tuntas, Edy Waluyo melayangkan surat lagi, memberi Sutiyoso tambahan waktu.
Ternyata perundingan berjalan jauh lebih lambat. Sutiyoso terpaksa setuju
menaikkan tarif air sebesar 35 persen pada April 2001. Perundingan kedua
ternyata sama panjangnya seperti yang pertama. Baru pada 22 Oktober 2001
kontrak kedua, ditandatangani oleh PAM Jaya dan pihak swasta.
Kedua perusahaan internasional pun berganti nama. Sembilan puluh lima
persen saham PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnaise Jaya dimiliki
perusahaan induk mereka di London dan Paris. Dua perusahaan Indonesia,
masing-masing PT Terra Metta Phora dan PT Bangun Cipta Sarana, hanya punya hak
saham lima persen. Kedua pemegang saham minoritas asal Indonesia ini adalah
sub-kontraktor dari kedua konsorsium.
Kontrak kedua mencakup 13 perubahan besar. Semula masing-masing
konsorsium swasta memiliki kontrol atas rekening escrow. Mereka dapat menarik
uang dari rekening tersebut tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan
rekening adalah untuk biaya operasi pihak swasta. Mulanya, PAM Jaya juga tak
dapat menelaah laporan keuangan pihak swasta. Kini semua itu berubah. Sebuah
badan regulator dibentuk. Ketuanya tak lain adalah Achmad Lanti, pensiunan
pegawai negeri, yang dulunya terlibat dalam perundingan pertama.
Perbedaan antara kontrak tahun 1997 dan 2001
|
Juni 1997
|
Oktober 2001
|
Sumur dalam
|
PAM Jaya bertanggung jawab menutup sumur dalam yang
banyak dipakai oleh hotel dan pabrik di Jakarta.
|
Konsorsium menutup sumur dalam bekerja sama dengan
dinas pertambangan dan energi.
|
Pembelian
|
Tender terbuka untuk pembelian di atas US$ 5 juta.
Kontraktor kecil dan mengenah PAM Jaya merasa dirugikan.
|
Tender terbuka di atas Rp 500 juta (sekitar $50,000
dengan nilai tukar saat itu).
|
Pasokan air baku
|
PAM Jaya bertindak sebagai pemasok air baku ke
konsorsium, jika PAM Jaya tak mampu melakukannya, pihak konsorsium bisa
mencari air baku dari sumber lain dan PAM Jaya harus membayar selisih harga.
|
Pihak swasta berurusan langsung dengan Perum Jasa
Tirta, PDAM, Tangerang, dan PDAM Bogor, yang biasa memasok air baku ke
Jakarta. Pihak swasta harus membayar PAM Jaya selisih harga yang dulu dibayar
PAM Jaya ke pihak swasta antara 1 Februari 1998 dan penandatanganan kontrak
baru (Oktober 2001).
|
Karyawan
|
Karyawan PAM Jaya tetap berstatus pegawai negeri
namun dipinjamkan ke konsorsium
|
Karyawan PAM Jaya jadi karyawan konsorsium .Sebuah
panel untuk mengurus sengketa perburuhan akan dibuat.
|
Supervisi
|
PAM Jaya tak bisa mengambil data dari pihak swasta,
tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi target, juga tak
jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium, hanya auditor
independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium
|
Supervisi PAM Jaya tak bisa mengambil data dari
pihak swasta, tak ada sanksi yang jelas bila pihak swasta tak memenuhi
target, juga tak jelas siap yang melakukan supervisi terhadap konsorsium,
hanya auditor independen yang bisa memeriksa keuangan konsorsium Sebuah badan
regulator dibentuk dan bersama PAM Jaya, mereka bisa memeriksa keuangan pihak
swasta, ada sanksi dan penalti bila pihak swasta tak memenuhi atau terlambat
memenuhi berbagai ketentuan.
|
Escrow account
|
Pihak swasta bisa mengambil uang dari rekening
bersama tanpa persetujuan PAM Jaya. Prioritas penggunaan escrow account ada
pada biaya operasi konsorsium
|
Pihak swasta bisa mencairkan uang dengan persetujuan
PAM Jaya dan prioritas adalah membayar utang PAM Jaya
|
Imbalan air (water charge)
|
Harga imbalan air naik otomatis tiap enam bulan
dengan persetujuan DPRD Jakarta, dan jika ada keterlambatan, selisihnya harus
dibayar PAM Jaya, dan tak ada sistem untuk mengingatkan PAM Jaya bila bakal
ada selisih
|
Tarif air direkomendasikan oleh PAM Jaya maupun
pihak swasta kepada Badan Regulator. Badan Regulator inilah yang akan
berurusan dengan DPRD Jakarta dalam menaikkan tarif air. Selisih sebelumnya
akan diaudit oleh BPKP dan pihak swasta harus membayar PAM Jaya
|
Perselisihan
|
Mekanisme tiga tingkat: musyawarah, mediasi oleh pakar,
dan pengadilan internasional di Singapura
|
Mekanisme empat tingkat: musyawarah, mediasi oleh
Badan Regulator, mediasi oleh para pakar, dan pengadilan baik di Jakarta atau
Singapura
|
Badan Regulator
|
PAM Jaya melakukan supervisi terhadap pihak swasta
|
PAM Jaya dan Badan Regulator melakukan supervisi
|
Sumber: Kontrak tahun 1997 dan 2001 antara PAM Jaya dan konsorsium
swasta.
Namun bagi karyawan PAM Jaya, kontrak kedua lebih merugikan mereka.
Kontrak ini menyatakan bahwa hanya ada “status tunggal” bagi karyawan. Mereka
harus memilih: jadi pegawai konsorsium atau menerima “golden hand shake”
–istilah halus untuk pemecatan. Dengan kata lain, kontrak kedua ini bisa
menjadi dasar pemecatan besar-besaran.
“Saya mulai curiga ketika melihat status kerja,” kata Efendy
Napitupulu.
Bernard Lafrogne mengatakan bahwa pada 1998 mereka mulai beroperasi
dengan nisbah 7,72 pekerja per 1.000 sambungan air. Pada 2001 nisbah tersebut
turun jadi 4,71 pekerja. “Jika kita lihat pada Malaysia atau Manila, sekitar
tiga orang saja sudah cukup, perusahaan akan lebih efisien.”
Taufik Sandjaja menjelaskan, jumlah pegawai telah turun dari 3.000
menjadi 2.200 pada Desember 2003, seraya menambahkan bahwa setengah dari mereka
yang memilih meninggalkan PAM Jaya terpaksa mengambil uang pesangon. Namun
1.110 dari 2.200 yang tertinggal itulah yang mengajukan gugatan hukum melawan
PAM Jaya dan konsorsium.
Dalam wawancara dengan para aktivis di kantor kecil mereka di Buaran,
saya bertanya, “Mana dari kedua operator tersebut yang lebih baik?” Ini memang
bukan pertanyaan mudah karena kedua perusahaan bekerja sama dengan erat dan
berkomunikasi secara rutin. Tapi para aktivis itu rata-rata menyatakan PT PAM
Lyonnaise Jaya lebih memahami budaya lokal daripada PT Thames PAM Jaya milik
RWE Thames Water.
Saya bertanya apa beda Thames Water dulu dengan manajemen RWE Thames
Water sesudah merger? “Ada kemajuan sejak mereka dengan RWE. Masih pola lama,
tapi mereka berusaha membentuk satu komunitas di karyawan, dikondisikan agar
mau bekerja sama dalam menunjang policy kepegawaian. Misalnya, alih status dari
karyawan PAM menjadi karyawan mereka. Buntutnya rasionalisasi. Ujung-ujungnya
rasionalisasi,” kata Taufik, yang berstatus tenaga pemasaran PT PAM Lyonnaise
Jaya.
Ponimin, aktivis SPAI yang lain, mengatakan bahwa tak banyak kebijakan
yang berubah. Itulah alasan mereka melancarkan gugatan hukum. “Ini ide kita
semua. Semua sudah kita lewati, Departemen Tenaga Kerja, Gubernur dan
sebagainya. Untuk mencari keadilan, kami masuk ke pengadilan, untuk dapat
kekuatan hukum. Dulu ada Foska PAM Jaya tapi sifatnya lobby-lobby saja. Ada
jawaban, tapi ya cuma omongan. Lalu kita bikin SPAI,” kata Ponimin.
Persoalan tak berpusar pada tarik urat leher semata. Ada juga tawaran
yang menggiurkan. Taufik menyodorkan sebuah contoh. Satu kali ia “ditawari”
memimpin bagian perburuhan PT Thames PAM Jaya.
“Saya tolak tentu,” katanya, “Itu khan namanya berkhianat?”
Dari Buaran, saya punya kesan yang campur aduk tentang Napitupulu dan
rekan-rekannya. Bagaimana pun mereka berjuang untuk sebuah cita-cita, yang
mungkin tak sepenuhnya bisa dimengerti orang, terutama mereka yang berada di
Bank Dunia atau perusahaan air, tapi saya melihat mereka banyak berkorban untuk
cita-cita mereka.
RHAMSES SIMANJUNTAK BEKERJA dari sebuah ruang yang
lapang di lantai 29 gedung Danamon Aetna di Jalan Sudirman, kawasan bisnis
paling mahal di Jakarta. Ia seorang lelaki paruh baya dengan rambut keperakan
dan badan besar. Ketika saya menemuinya Desember lalu, ia sedang bekerja dengan
laptop mungilnya di meja kerja yang tertata rapi.
“Duduk dulu. Saya selesaikan pekerjaan sedikit,” katanya.
Simanjuntak adalah salah seorang tokoh yang paling berpengaruh untuk
urusan air bersih di Jakarta. Ia direktur PT Thames PAM Jaya yang mengurusi
“external relations and communication”. Artinya, ia orang Thames Water yang
bertugas menghadapi DPRD Jakarta, pejabat PAM Jaya, orang Badan Regulator, para
aktivis, juga wartawan seperti saya. Ia satu-satunya orang Indonesia yang duduk
di dewan direksi konsorsium tersebut.
Dulu Simanjuntak seorang akuntan. Pada Agustus 1996 ia memutar haluan
yang mengubah seluruh jalan hidupnya. Ia memutuskan bergabung dengan PT
Kekarpola Thames Airindo.
“Ya, saya cuma cari pekerjaan dan bergabung di sini. Biasa saja,” kata
Simanjuntak, seraya menambahkan bahwa ia serta merta ikut mempersiapkan
privatisasi PAM Jaya. Simanjuntak banyak membantu Fachry Thaib, orang
kepercayaan Sigit, dalam melakukan perhitungan privatisasi.
Ia juga saksi mata pengambilalihan PAM Jaya pada Februari 1998, juga
saksi krisis ekonomi yang kemudian memuncak seiring kejatuhan Presiden Suharto.
Namun, Simanjuntak bisa tetap bercokol di posisinya saat orang Indonesia lain,
termasuk Fachry dan Iwa Kartiwa, harus angkat kaki dari bisnis air ini.
Efendy Napitupulu mengatakan bahwa Simanjutak menanjak dari yang
tadinya “naik Mikrolet” menjadi naik “Land Cruiser” yang mahal. Menurut Budi
Saroso, mantan rekan Simanjuntak di PT Kekar Thames Airindo, yang ikut
terpental dari perusahaan itu sesudah jatuhnya Suharto, “Rhamses tidak join
(proyek) dari awal. Dia gabung di tengah-tengah perundingan. Keahliannya
finance. Tapi dia kerja untuk Thames, tidak pada kita, karena masalah keuangan
ada pada Thames.”
Simanjuntak menerangkan panjang lebar pada saya bahwa RWE Thames Water
punya komitmen jangka panjang di Indonesia, dengan mengatakan bahwa proyek air
bersih di Jakarta ini adalah satu-satunya proyek Thames Water di Indonesia.
Mereka ingin bisnis ini berhasil. “Bahkan saat krisis ekonomi dan politik,
komitmen Thames Water tetap terjaga,” katanya. Thames Water terus
mempertahankan komitmen mereka di Jakarta sejak kontrak 1997.
Simanjuntak mengatakan, RWE Thames Water punya bisnis lain di kawasan
ini, yang dikendalikan baik dari Singapura maupun Australia, tapi nilainya
relatif kecil dibandingkan dengan modal pada PT Thames PAM Jaya. Sejak 1997
perusahaannya telah menanamkan modal sebesar Rp 434 milyar dan berencana untuk
menanamkan lebih banyak lagi sampai di atas Rp 1 trilyun pada 2007 nanti.
Ketika saya bertanya mengapa Thames Water awalnya bekerja sama dengan
Sigit Harjojudanto dan memanfaatkan pengaruh Sigit dalam perundingan, ia
langsung menepis dugaan adanya permainan. Ia mengatakan perundingan pertama itu
memang alot, “Kalau memang ada kemudahan, mengapa kita negosiasi hingga satu
tahun lebih?”
Lantas bagaimana menilai kinerja konsorsium ini? Hingga Desember 2003
atau bulan terakhir dari lima tahun pertama kontrak 25 tahun yang mereka
dapatkan, baik PT Thames PAM Jaya maupun PT PAM Lyonnainse Jaya, berhasil
melakukan konsolidasi terhadap sebagian besar jaringan PAM Jaya. Mereka secara
drastis memangkas jumlah karyawan. Mereka juga bekerja sama dengan BCA, bank
swasta terbesar Indonesia, untuk memberikan fasilitas pembayaran air pada para
pelanggan lewat ATM.
RWE Thames Water sempat menghadapi masalah yang memalukan ketika proyek
bantuan Bank Dunia mereka di kawasan kumuh, Marunda, sebelah utara Jakarta,
berantakan. Pada Juli dan Agustus 2003, sejumlah warga Marunda mengadakan
demonstrasi atas buruknya layanan air di sana. Perusahaan Inggris-Jerman ini
awalnya berniat membangun jaringan distribusi pipa ke Marunda. Namun tekanan
air yang rendah dan kurangnya daya tekan pompa membuat air mengalir pelan ke
Marunda. Buntutnya, warga Marunda protes.
Menurut data Badan Regulator, baik RWE Thames Water dan Ondeo telah
meningkatkan sambungan air dari sekitar 428,764 pada 1997 ke hampir 650,000
pada Desember 2003. Cakupan layanan air bersih pun meningkat dari 43 persen
pada 1997 menjadi 53 persen pada 2003. Penjualannya juga meningkat dari 191
juta ke 255 juta meter kubik air.
Simanjuntak mengatakan PT Thames PAM Jaya secara khusus meningkatkan
sambungan di sebelah timur Jakarta dari 268,000 pada 1997 menjadi 320,000 pada
2001 dan kemudian 336,550 pada 2003. Artinya, terjadi peningkatan sebesar 26
persen dalam waktu lima tahun pertama.
Secara umum layanan jelas lebih baik, terutama untuk daerah-daerah
kelas menengah dan elit di Jakarta seperti Pondok Indah dan Kemang, tapi
perusahaan internasional tersebut gagal memenuhi target-target teknis
sebagaimana tertera dalam kontrak tahun 1997. Volume yang terjual pada bulan
Desember 2003 adalah 255 juta meter kubik air. Padahal targetnya 342 juta.
Mereka bisa melayani 53 persen penduduk Jakarta sementara targetnya adalah 70
persen. Mereka berhasil menekan tingkat air tak tertagih menjadi 47 persen,
sedang targetnya adalah 35 persen.
Achmad Lanti dari Badan Regulator mengatakan bahwa sekitar 40.000
sampai 45.000 dari total sambungan sekitar 650.000 memiliki layanan buruk,
mulai dari tak setetes pun air mengalir sampai tekanan air yang rendah seperti
di Marunda.
“Kami dapat banyak laporan, air hanya mengalir dua atau tiga jam
sehari,” kata Lanti.
Pendek kata, dalam hal kualitas dan kuantitas, konsorsium gagal
memenuhi target. “Saya bilang pada mereka namun mereka membantah. Mereka tidak
percaya pada temuan Badan Regulator sehingga harus diundang tim pakar untuk
melakukan evaluasi,” lanjutnya.
Perbandingan antara Target dan Pencapaian
(2003)
|
Target
|
RWE Thames Water
|
Ondeo Service
|
Pencapaian
|
Jumlah sambungan
|
757,129
|
336,550
|
312,879
|
649,429
|
Cakupan pelayanan air bersih
|
70%
|
62.17%
|
44.17%
|
53.17%
|
Air tak tertagih (non revenue water)
|
35%
|
48.28%
|
45.3%
|
46.79%
|
Volume terjual (juta m3)
|
342
|
128.96
|
126.2
|
255.16
|
Sumber: Kontrak 1997 dan data dari Badan Regulator pada 2003
Pengeluaran mereka juga memicu kritik. Atjeng Sastrawidjaja dari Badan
Pemeriksa Keuangan Publik (BPKP) Jakarta menulis dalam sebuah laporan pada Mei
2000 bahwa biaya operasional dari perusahaan internasional tersebut terlalu
tinggi. Mereka menyewa kantor-kantor baru di dua gedung di kawasan bisnis
Jakarta, termasuk kantor Simanjuntak, ketimbang memanfaatkan aset PAM Jaya yang
ada. Gaji para ekspatriat pun relatif tinggi.
Sejumlah ekspartriat digaji sekitar US$100,000 atau sekitar Rp 800 juta
per tahun di luar fasilitas penunjang lainnya, termasuk mobil dan tunjangan
keluarga.
“Kita tak tahu persis jumlahnya satu per satu tapi angka $100,000 bisa
dilihat dari anggaran mereka,” kata Alizar Anwar, direktur eksekutif Badan
Regulator.
Simanjuntak membela diri dengan mengatakan bahwa sewa gedung Danamon
Aetna tersebut relatif murah akibat devaluasi rupiah, “Orang bilang kita bayar
terlalu mahal atau mobilnya terlalu mewah. Tapi kita toh harus tahu mereka ini
expatriates harus hidup sesuai dengan standar hidup mereka di negeri asalnya.”
Ketika saya menanyakan pertemuan Duta Besar Richard Gozney dengan Wakil
Presiden Hamzah Haz, Simanjuntak mengatakan bahwa ia tak banyak tahu ide
awalnya. Pertemuan itu kemungkinan besar gagasan John Trew, atasannya. Tapi
Simanjuntak menekankan logika kenaikan tersebut, “Penyesuaian itu diperlukan
untuk menutup inflasi yang membuat harga listrik, bahan kimia, dan gaji
karyawan naik, maupun investasi.”
Achmad Lanti juga mendukung kenaikan tarif karena consumer price index
(CPI) naik sebesar 156 persen dari Februari 1998 sampai Januari 2004.
Sementara, total kenaikan tarif air sebelumnya sebesar 18, 25 dan 40 persen,
masih lebih rendah dibandingkan indeks tadi. CPI adalah sebuah indeks untuk
mengukur kenaikan harga barang-barang dan layanan jasa. Angka ini juga mengukur
laju inflasi.
Walau setuju kenaikan tarif air, Lanti mempertanyakan biaya operasi
konsorsium itu. Apa benar-benar masuk akal? Ia menyebutkan bahwa sangat sulit
membangun kepercayaan dalam kerja sama yang sudah berlangsung sejak 1997 ini.
Baik PAM Jaya maupun pihak swasta saling tak percaya, bahkan untuk data dasar
sekalipun mereka sering berbeda pendapat. Lebih buruk lagi, kedua pihak,
terutama pihak konsorsium, juga tidak memercayai Badan Regulator, sampai pada
titik keduanya sepakat mengundang pihak ketiga, “tim pakar internasional” untuk
datang ke Indonesia dan menghitung semuanya.
Satu dari sejumlah pertikaian adalah soal hitung-hitungan. PAM Jaya
menyatakan total utangnya pada konsorsium sekitar Rp 600 milyar, sedangkan
Thames Water dan Ondeo mematok angka total Rp 900 milyar.
Dalam kontrak 2001, kedua pihak sepakat bila terjadi pertikaian, mereka
akan menggunakan mekanisme empat tingkat: (1) musyawarah; (2) mediasi lewat
Badan Regulator; (3) pakar internasional; (4) peradilan baik di Jakarta atau
Singapura.
Ternyata mereka tak bisa bermusyawarah. Perbedaan pendapat dengan Badan
Regulator muncul setelah lembaga itu mempertanyakan efisiensi pemakaian uang
oleh pihak swasta. Tapi laporan tersebut disanggah konsorsium. “Ya tidak
apa-apa bukan? Kita punya alasan kita sendiri,” kata Simanjuntak. Akhirnya,
mereka sepakat mengundang sebuah perusahaan Amerika untuk mengadakan penelitian
selama setahun.
Sutiyoso jarang mengungkapkan pendapatnya tentang kontroversi PAM Jaya
ini, tapi satu kali ia mengatakan pada wartawan bahwa ia menyewa konsultan dari
Singapura untuk mempelajari kontrak tersebut. Para konsultan mengatakan ada 11
butir dari kontrak tahun 2001 yang jelas-jelas menguntungkan pihak konsorsium,
“Salah satunya adalah ketentuan bahwa tarif air harus naik setiap enam bulan
sekali.”
Rama Boedi mengatakan, ia tak menentang privatisasi. Tapi seharusnya
privatisasi dipersiapkan dengan lebih baik. Menurutnya, Presiden Suharto
terlalu tergesa-gesa dan mengambil jalan pintas. Dalam perenungannya, Rama juga
menyesali mengapa kedua perusahaan raksasa itu mengambil cara bekerja sama
dengan kroni-kroni Suharto.
“Mereka perusahaan besar, mereka tak perlu menggunakan cara-cara kotor
dalam negosiasi awal itu,” kata Rama.
Namun susah juga menilai orang macam Bernard Lafrogne sebagai karakter
yang jahat. Lafrogne akrab dengan Indonesia. Ia meyakini bahwa keterlibatan
orang Indonesia adalah metode penting untuk mengelola bisnis air. Ondeo membawa
pengetahuan dan ketrampilan, sementara mitra Indonesia mereka memberikan
sentuhan lokal.
Sekarang keadaan makin sulit. Kalau mekanisme “pakar internasional” tak
bisa menyelesaikan sengketa, langkah selanjutnya adalah pengadilan. Achmad
Lanti menjelaskan kalau sampai pihak swasta angkat kaki dari Jakarta, maka
pemerintah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 3 triliun untuk mengganti
keseluruhan biaya investasi dan kerugian para investor, plus membayar 50 persen
dari keuntungan yang diproyeksikan pihak swasta sepanjang sisa masa berlakunya
kontrak.
Angka tersebut hanya perkiraan dan harus disetujui kedua pihak, PAM
Jaya dan pihak swasta, kalau memang pihak swasta harus angkat kaki. Namun
berapa pun angkanya, kelihatannya tak ada jalan keluar yang mulus untuk
sengketa air ini, dan apa pun yang terjadi, tak sulit untuk meramal bahwa yang
paling bakal dirugikan adalah seluruh warga Jakarta. Mereka akan rugi karena
pelayanan air bisa terganggu dan lebih rugi lagi karena uang merekalah yang
akan dipakai membayar petualangan ini.
Sebelum meninggalkan kantornya, saya bertanya pada Rhamses Simanjuntak,
apa yang ia senangi dari bisnis air ini.
“Semua orang butuh air. Ini komoditi yang dibutuhkan semua orang. Ini
adalah komitmen hidup saya. Saya mau pensiun di sini,” kata Simanjuntak.
Saya hanya diam, tapi setuju pada ucapannya. Bisnis air, bila dikelola
dengan modal besar dan didukung kekuatan politik yang kuat, adalah bisnis yang
menjanjikan. Tak heran kalau Simanjuntak merasa aman.*
Catatan:
Naskah ini pada awalnya adalah
liputan investigasi Andreas Harsono untuk International Consortium of
Investigative Journalists, sebuah proyek konsorsium para wartawan investigasi
sedunia yang didirikan oleh Center for Public Integrity, pada 1997. Harsono
memang salah satu dari dua orang warga Indonesia, yang jadi anggota konsorsium
tersebut. Naskah ini, yang dikerjakannya selama setahun penuh, diturunkan
bersama naskah-naskah lain yang memantau aktivitas privatisasi air di seluruh
muka bumi, mulai Amerika Latin, Eropa sampai Afrika. Liputan ICIJ ini
memenangkan sejumlah penghargaan internasional. Tahun 2003, Harsono membawanya
ke sidang Asien Haus di Jerman dan mempresentasikannya dalam judul "Water
Privatization". Beberapa bulan kemudian, pada awal 2004, ICIJ mengizinkan
majalah Pantau untuk memuatnya dalam versi bahasa
Indonesia. Pantau meminta bantuan
Gita Widya Laksmini untuk menerjemahkannya. Rencananya, naskah ini akan
diterbitkan pada Maret 2004 dalam judul "Diplomasi Air Kotor, Investasi
Air Besar". Sungguh sayang, majalah Pantau keburu berhenti terbit. Oleh Harsono, naskah kemudian dialihkan ke
majalah Gatra dan dimuat dalam salah
satu edisi bulan Mei 2004 dengan judul "Dari Thames ke Ciliwung" yang
dipecah-pecah ke dalam beberapa naskah sidebar.